Somasi Pejabat ke Rakyat Dinilai Semakin Melemahkan Demokrasi

Pejabat lebih baik buka ruang dialog daripada beri somasi

Jakarta, IDN Times - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengusulkan pejabat publik yang dikritik publik membuka ruang dialog untuk menjernihkan masalah ketimbang melayangkan somasi. Dengan dialog, diharapkan bisa ada titik temu mengenai perbedaan data dari kedua pihak.

Pernyataan Titi tersebut menyangkut somasi yang dilayangkan Kepala Staf Presiden, Moeldoko, dan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Keduanya merasa nama baiknya telah dicemarkan karena laporan yang disampaikan ke publik mengenai dugaan adanya konflik kepentingan.

Moeldoko diduga ikut diuntungkan dari peredaran obat Ivermectin yang diproduksi oleh PT Harsen Laboratories, sedangkan Luhut disebut-sebut ikut bermain dalam ekstraksi tambang emas di Papua. 

Moeldoko melayangkan somasi terhadap Indonesia Corruption Watch (ICW). Sedangkan, Luhut menyampaikan somasi kepada Haris Azhar dan Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti. 

"Demokrasi itu kan mengenai dialog sehingga tidak perlu melibatkan upaya-upaya hukum pejabat versus rakyat, dan pejabat versus masyarakat sipil," ujar Titi ketika dihubungi pada Jumat (3/9/2021). 

Ia menilai dampaknya akan lebih buruk bagi perkembangan demokrasi di Indonesia bila masyarakat sipil dibungkam dan ketakutan saat menjalani fungsi pengawasan.

"Ini kan malah semakin melemahkan kinerja demokrasi kita," tutur dia lagi. 

Apakah pejabat publik tersebut bersedia untuk diajak berdialog?

1. Luhut tolak tawaran Haris Azhar untuk jadi bintang tamu di podcast-nya

Somasi Pejabat ke Rakyat Dinilai Semakin Melemahkan DemokrasiDirektur Eksekutif Lokataru Haris Azhar (ANTARA FOTO/Reno Esnir)

Sementara, Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar mengaku telah mengusulkan, melalui kuasa hukum Luhut, agar mantan Menkopolhukam itu bersedia hadir di program podcast-nya. Tujuannya, untuk mengklarifikasi dan mengadu data dengan yang dimiliki oleh sembilan organisasi masyarakat sipil. 

Tawaran itu termasuk di dalam poin jawaban somasi Haris kepada kuasa hukum Luhut, Juniver Girsang.

"Saya bukan orang yang berat ucapkan minta maaf, saya akan ucapkan itu. Tetapi, saya juga akan meminta agar pihak lain mengakui kebenaran bila memang ada kebenaran tersebut. Maka, di surat kami kepada kuasa hukum kenapa Pak Luhut tidak datang ke podcast saya. Bukan malah meminta agar video podcast itu di-take down," ujar Haris ketika berbicara di program Rosi yang tayang di Kompas TV pada Kamis, 2 September 2021. 

Haris menepis ingin mendulang keuntungan finansial dengan membuat podcast bersama Luhut. Sebab, sistem monetisasi di program tersebut bisa di-nonaktifkan. 

Tawaran Haris itu ditolak mentah-mentah oleh kuasa hukum Luhut. Mereka merasa disudutkan melalui video sebelumnya yang berjudul "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya! Jenderal BIN Juga Ada!"

"Saya tidak mau menguntungkan Haris Azhar lebih banyak lagi," kata Juniver di program yang sama. 

Sedangkan, secara terpisah, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (SITH) Jentera, Bivitri Susanti, menyarankan agar Luhut ikut membuat video klarifikasi bagi publik di YouTube. "Silakan paparkan data bila memang ada di chanel yang sama," kata Bivitri yang dihubungi hari ini. 

Baca Juga: Moeldoko dan Politikus PDIP dalam Pusaran Ivermectin Obat COVID-19

2. Analis politik sarankan Moeldoko dan Luhut jawab kritik masyarakat sipil dengan hak jawab

Somasi Pejabat ke Rakyat Dinilai Semakin Melemahkan DemokrasiDirektur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin (IDN Times/Rochmanudin)

Pengamat isu politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin, menilai alih-alih berpolemik di ruang publik, sebaiknya Luhut dan Moeldoko menggunakan hak jawab. Fungsi kontrol yang dilakukan masyarakat sipil dan rakyat seharusnya dijaga dalam alam demokrasi. Ia menduga somasi ini karena ingin menutupi perkara lainnya. 

"Karena pejabat publik ini kan kasusnya banyak. Kalau satu (kasus) terungkap dengan data yang kuat akan menyeret kasus-kasus lain bermunculan," ujar Ujang yang dihubungi oleh IDN Times pada Jumat (2/9/2021). 

Ia mengatakan yang dilakukan kedua pejabat publik itu diduga ingin menakut-nakuti supaya masyarakat sipil yang disomasi tak lagi bersikap kritis.

"Bila ini sukses, maka rakyat akan semakin takut (bersuara). LSM saja diperlakukan seperti itu, apalagi masyarakat biasa. Kan itu lessons learned yang sedang ditunjukkan," katanya. 

3. Presiden Jokowi harus ingatkan anak buahnya agar tak perlu reaktif mendengar kritik

Somasi Pejabat ke Rakyat Dinilai Semakin Melemahkan DemokrasiANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Ujang pun menyarankan agar Presiden Joko "Jokowi" Widodo menegur para pembantunya agar tidak perlu reaktif dalam menanggapi kritik. Sebab, somasi yang dilayangkan Moeldoko dan Luhut justru semakin menguatkan persepsi pemerintahan saat ini antikritik. 

"Kenegarawan Jokowi ditunggu, sehingga masalah ini tidak berlarut-larut. Apalagi isu ini tidak produktif," kata Ujang. 

Sebab, bila ada instruksi dari presiden, permasalahan semacam ini bisa cepat tuntas. Pada dasarnya presiden adalah atasan tertinggi bagi para pejabat publik itu.

"Kecuali kalau ada pejabat atau menteri yang bandel," tuturnya. 

Baca Juga: Fakta Somasi Luhut ke Haris Azhar soal Tuduhan Main Tambang di Papua

Topik:

  • Jihad Akbar

Berita Terkini Lainnya