Survei LSI: KPK Lebih Dipercaya Berantas Korupsi Ketimbang Polisi

Sementara, Ombudsman dianggap tidak dapat diandalkan

Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi institusi yang dipercaya oleh publik untuk berada di garda terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi. Hasil Survei Nasional: Tren Persepsi Publik tentang Korupsi di Indonesia pada 2018 yang dirilis pada Senin (10/12) di area Jakarta Pusat, menunjukkan 85 persen responden menilai lembaga antirasuah sebagai institusi terpercaya dalam memberantas korupsi. Hanya 4 persen saja yang mengaku tidak percaya KPK mampu memberantas korupsi. 

Tingkat kepercayaan itu jauh lebih tinggi dari Presiden yang justru merupakan komandan dari pemberantasan korupsi. Dari survei itu, 84 persen responden yang percaya Presiden juga memiliki tanggung jawab untuk memberantas korupsi. Sementara, hanya 76 persen responden yang menilai upaya pemberantasan yang dilakukan oleh Presiden tergolong efektif. 

Persepsi lebih rendah ditunjukkan publik kepada institusi Polri. Sebanyak 54 persen responden mengaku tahu Polri juga melakukan upaya pemberantasan korupsi. Sebanyak 66 persen responden mengaku kinerja Polri dalam menumpas rasuah efektif. 

Di dalam survei itu ditemukan pula hasil sebanyak 75 persen responden LSI menilai, KPK yang paling bertanggung jawab untuk mengatasi korupsi. Sementara, hasil survei tahun 2017, menunjukkan hanya 63 persen responden yang berpendapat demikian. Artinya, harapan publik ke lembaga antirasuah semakin tinggi. 

Padahal, sebagai institusi, KPK tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup untuk memberantas semua tindak kejahatan korupsi di Tanah Air. Sebagai informasi, survei ini dilakukan pada periode 8-24 Oktober dan melibatkan 2.000 responden yang dipilih secara acak menggunakan metode multistage random sampling. Dari sampel responden itu, diprediksi terdapat toleransi kesalahan survei sekitar 2,2 persen. 

Lalu, dalam pandangan pengamat, apa yang menyebabkan KPK terus dipercaya oleh publik? 

1. KPK dinilai bekerja karena terus terekspos media melakukan operasi tangkap tangan

Survei LSI: KPK Lebih Dipercaya Berantas Korupsi Ketimbang PolisiANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo, salah satu penyebab tingginya tingkat kepercayaan publik ke KPK, dipicu seringnya lembaga antirasuah itu menggelar Operasi Tangkap Tangan (OTT). Upaya penindakan ini kerap mendapat sorotan lebih luas dibandingkan upaya pencegahan. 

Adnan mengatakan, operasi senyap tersebut semakin intens dilakukan pada 2018. Pada satu sisi, kerap melakukan operasi senyap adalah sesuatu yang baik. 

"Karena itu lah yang seharusnya dilakukan oleh KPK. Publik melihatnya hanya KPK yang mengerjakan hal itu. Tapi, berbicara efektivitas pemberantasan korupsi, kuncinya tidak hanya ada di langkah penindakan tapi juga pencegahan," ujar Adnan menjawab pertanyaan IDN Times, Seninsiang di area Jakarta Pusat. 

Oleh sebab itu, Adnan menyarankan agar dibangun jembatan pengetahuan agar publik mengetahui pemberantasan korupsi tidak hanya butuh penindakan, namun juga pencegahan. 

Baca Juga: Deretan Kepala Daerah yang Terjaring OTT KPK Sepanjang 2018

2. Kata ICW soal tingginya tingkat kepercayaan publik ke polisi

Survei LSI: KPK Lebih Dipercaya Berantas Korupsi Ketimbang PolisiGaris polisi (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

Sementara, di dalam survei yang rilis oleh LSI juga menunjukkan 75 persen responden menyatakan, polisi juga dipercaya sebagai institusi penegakan hukum. Namun, dalam pandangan Adnan, hal itu tidak tepat sepenuhnya. 

Menurut Adnan, kesan publik terhadap polisi membaik bukan karena mereka telah memperbaiki kinerja dalam hal penegakan hukum. Publik menilai polisi telah bekerja untuk isu menangkal hoaks dan melakukan pelayanan publik seperti pengurusan SIM dan STNK. 

"Itu memang memberikan ruang agar polisi dapat membangun citranya lebih baik. Hal itu sangat paradoks ketika orang berurusan dengan polisi," kata dia. 

Ia menjelaskan, publik akan semakin mempercayai penegak hukum kalau mereka memiliki kredibilitas dan integritas. Kalau mereka tidak memiliki hal tersebut, maka hukum akan dijadikan barang dagangan. 

"Jangan juga sampai ada keyakinan yang dimiliki oleh pengacara ketika sedang menangani sebuah perkara, ia bisa meyakinkan kliennya apakah ingin kasusnya diselesaikan di depan, tengah atau di belakang. Ini kan artinya semua lini bisa dinegosiasikan," katanya lagi. 

3. KPK memiliki tanggung jawab mengawasi APBN Rp2.200 triliun dengan SDM yang terbatas

Survei LSI: KPK Lebih Dipercaya Berantas Korupsi Ketimbang PolisiANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengaku bahagia karena publik masih mempercayakan institusinya untuk memberantas korupsi. Padahal, situasi yang dialami oleh KPK saat ini tidak ideal. Mereka hanya memiliki sekitar 1.557 pegawai termasuk penyidik. Jumlah anggarannya pun hanya diberikan Rp800 miliar dari Rp1,2 triliun yang diajukan pada 2018. 

"Tapi, kita tetap happy  dan tidak mengeluh ketika anggaran dipotong. Kami masih memiliki inovasi-inovasi lah. Padahal, yang diawasi oleh KPK  yakni sebuah negara yang memiliki anggaran Rp2.200 triliun dari Aceh hingga Papua," kata Saut menjawab pertanyaan IDN Times

Salah satu inovasi yang disarankan ke dia yakni mengurangi pengusutan kasus di daerah dan lebih ditingkatkan untuk operasi senyap. Lalu, apa yang akan dilakukan oleh KPK agar tetap dipercaya oleh publik?

"Hukum atau buktikan sebanyak mungkin yang bisa dibuktikan sesuai kewenangan KPK tanpa pilih besar atau kecil (kasusnya). Yang (kasus) kecil saja perlu ditindak, apalagi kasus (besar) tentunya. Kedua, melakukan sharing values, norma dan pengetahuan dengan penegak hukum lainnya. Ketiga, lakukan inovasi untuk pencegahan dengan berbagai pendekatan," kata pria yang pernah menjadi staf ahli di Badan Intelijen Nasional (BIN) itu. 

4. Dalam tiga tahun terakhir, persepsi trend korupsi di Indonesia menurun

Survei LSI: KPK Lebih Dipercaya Berantas Korupsi Ketimbang Polisi(Ilustrasi anti korupsi) Corruption Watch

Dalam survei yang dirilis oleh LSI, menggambarkan di tahun ini persepsi publik terhadap tingkat korupsi mengalami kenaikan. Ada 52 persen responden yang berpendapat demikian. Namun, uniknya bila dibandingkan dengan trend sejak 2016 lalu, trendnya justru mengalami penurunan. 

Tahun 2016, sebanyak 70 persen responden menilai tingkat korupsi di Indonesia meningkat. Di tahun 2017, angka responden itu turun menjadi 55 persen dan tahun ini kembali turun ke angka 52 persen. Artinya, publik tahu perilaku korupsi tetap ada di Indonesia. Namun, sudah ada lembaga yang mengatasi perilaku korup itu. 

Di dalam survei LSI menunjukkan, KPK yang masih dipercaya publik untuk memberantas korupsi dibandingkan polisi dan jaksa. Sayangnya dengan personel di KPK yang terbatas, lembaga antirasuah itu juga tidak bisa mengembangkan ide untuk membuka kantor perwakilan di daerah. 

Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan, konsep itu bisa saja terealisasi, namun terhambat keberadaan Muspida. 

"Muspida ini berbahaya. Di zaman Orde Baru, Muspida digunakan untuk menjaga stabilitas. Kalau sekarang fungsi check and balances itu dilanjutkan kembali, maka Muspida itu tidak bisa dilanjutkan keberadaannya," kata dia. 

Di sisi lain, ujar Adnan, perlu dipikirkan skenario apakah untuk upaya penindakan korupsi dipusatkan saja ke KPK. Sebab, toh merujuk ke survei itu, lembaga antirasuah jauh lebih dipercaya oleh publik. 

"Sementara, kalau dari upaya pencegahan korupsi menjadi tanggung jawab semua pihak," katanya. 

5. Ombudsman lembaga tangguh namun tidak dipercaya oleh masyarakat

Survei LSI: KPK Lebih Dipercaya Berantas Korupsi Ketimbang PolisiIDN Times/Vanny El Rahman

Fenomena lain yang unik dari temuan survei LSI yakni Ombudsman berada di posisi buncit dari tingkat kepercayaan publik. Hanya 48 persen responden yang menyatakan Ombudsman dapat dipercaya oleh publik, padahal lembaga itu mengurusi kepentingan publik, terutama apabila ditemukan maladministrasi. 

Lalu, apa yang menyebabkan lembaga itu malah mendapat kepercayaan yang rendah dari publik?

"Karena selama ini kinerja lembaga tersebut belum dirasakan oleh masyarakat. Padahal, Ombudsman adalah satu-satunya lembaga yang langsung bersentuhan dengan publik. Mengapa? Karena mereka yang mengawasi mengenai kualitas pelayanan publik," kata Adnan Topan. 

Layanan publik itu, kata dia, dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satu contoh peristiwa di mana Ombudsman bisa lebih berperan yakni di dalam kasus KTP elektronik. 

"Ombudsman sesungguhnya bisa muncul dan memastikan layanan pembuatan KTP elektronik benar-benar berjalan dengan lancar. Apakah mereka masih menemukan maladministrasi?" kata dia. 

Kalau mereka menyaksikan ada indikasi perbuatan korupsi maka Ombudsman bisa berkoordinasi dengan KPK. "Ini lho celah (pembuatan e-KTP) masih ada di sini menurut evaluasi kami," tutur dia.

Baca Juga: Ombudsman Kembali Tuding Novel Tidak Kooperatif untuk Ungkap Kasusnya

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya