Terdakwa Kasus e-KTP Andi Narogong Tak Menyesal Membantu KPK

Dalam putusan banding, hukuman bagi Andi malah ditambah menjadi 11 tahun

Jakarta, IDN Times - Terdakwa kasus mega korupsi KTP Elektronik, Andi Agustinus harus menelan pil pahit karena majelis hakim di tingkat banding malah memperberat vonisnya yang semula 8 tahun menjadi 11 tahun. Dalam putusan yang dibacakan pada (3/4), majelis hakim yang diketuai oleh Daniel Dalle Pairunan juga menghukum Andi untuk membayar uang pengganti senilai USD 2,5 juta atau setara Rp 34 miliar serta Rp 1,1 miliar. 

Hukuman yang lebih berat itu terjadi karena majelis hakim mencabut status justice collaborator bagi Andi. Padahal, dengan adanya status JC tersebut, hukuman bagi Andi justru menjadi lebih ringan. 

Lembaga anti rasuah menilai informasi yang disampaikan oleh Andi sangat bermanfaat untuk membongkar keterlibatan pihak lain dalam kasus mega korupsi tersebut. Salah satunya mantan Ketua DPR, Setya Novanto. Menyesalkah Andi karena telah membantu KPK, namun ternyata informasi yang ia sampaikan justru tidak menjamin ia mendapatkan keringanan hukuman?

1. Tim kuasa hukum kecewa dengan putusan banding majelis hakim 

Terdakwa Kasus e-KTP Andi Narogong Tak Menyesal Membantu KPKANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

Menurut kuasa hukum Andi, Samsul Huda yang dihubungi IDN Times melalui pesan pendek mengakui kecewa dengan putusan banding tersebut. Apalagi di dalam putusan banding itu, kliennya malah dinyatakan sebagai pelaku utama dan tetap memiliki peranan yang dominan dalam perencanaan proyek KTP Elektronik. 

"Tentu saja kami kecewa dengan putusan banding tersebut. Kami menilai pertimbangan majelis hakim sama sekali berbeda dan tidak sesuai dengan fakta sidang yang sebenarnya," kata Samsul pada Minggu (23/4). 

Dengan adanya putusan tersebut, Samsul memastikan kalau kliennya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. 

"Kami pasti akan mengajukan kasasi," katanya lagi. 

Baca juga: Jadi Justice Collaborator KPK, Ini 4 Keuntungan yang Didapat Koruptor

2. Tidak menyesal telah memberikan informasi bagi KPK

Terdakwa Kasus e-KTP Andi Narogong Tak Menyesal Membantu KPKANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Putusan yang lebih berat bagi Andi ini justru menjadi salah satu pukulan yang cukup telak. Apalagi dua terdakwa lainnya yakni Irman dan Sugiharto malah dihukum lebih berat di tingkat Mahkamah Agung. Masing-masing dari mereka dihukum 15 tahun oleh Ketua Majelis Hakim Artidjo Alkostar. 

Lalu, menyesalkah Andi telah membuka informasi bagi KPK sementara hal itu tidak berpengaruh bagi hukumannya? 

Samsul menyebut, kliennya sama sekali gak menyesal telah membantu KPK. 

"Andi sama sekali tidak menyesal, karena yang bersangkutan sudah berkomitmen untuk membantu KPK membuka perkara ini dengan terang. Kami berharap majelis hakim akan mengoreksi putusan tersebut dan membatalkan putusan banding," katanya. 

3. Pengadilan seharusnya tidak bisa membatalkan begitu saja justice collaborator 

Terdakwa Kasus e-KTP Andi Narogong Tak Menyesal Membantu KPKIDN Times/Sukma Shakti

Menurut Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju seharusnya pengadilan tidak bisa membatalkan begitu saja status justice collaborator yang sudah dikabulkan oleh KPK. Apalagi yang mengetahui proses perjalanan kasus secara detail adalah JPU. 

"Sementara, masing-masing lembaga saat ini merasa berwenang untuk menentukan apakah seseorang itu menjadi justice collaborator atau whistle blower," ujar Anggara kepada IDN Times melalui telepon pada Kamis pekan lalu. 

Menurutnya, aturan soal siapa yang berwenang untuk menentukan justice collaborator atau whistle blower seharusnya ditentukan secara jelas. Apalagi dicabutnya status JC bagi tiga terdakwa dapat menciptakan preseden buruk bagi tersangka kasus korupsi lainnya. Mereka jadi segan untuk membongkar keterlibatan pihak lain dalam kasus korupsi.

"Ketika seseorang dikabulkan status JC nya maka itu juga sepaket dengan program perlindungan yang diberikan bagi dia. Karena untuk mau membuka keterlibatan pihak lain kan gak mudah. Nah, sekarang kalau tiba-tiba status JC nya dicabut, lalu program perlindungan yang sudah diberikan kepada yang bersangkutan bagaimana kelanjutan nasibnya?," tanya Anggara.

Aturan mengenai penetapan JC tertuang di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 4 tahun 2011 dan pasal 10 ayat (2) UU nomor 13 tahun 2006 mengenai perlindungan saksi dan korban. Khusus di pasal itu berbunyi "Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak bisa dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat meringankan pidana yang akan dijatuhkan terhadapnya."

Kalau seorang terdakwa dikabulkan status JC nya, maka ia berhak mendapat pemotongan masa tahanan dan pembebasan bersyarat. 

Baca juga: Hukuman Terdakwa e-KTP Andi Narogong Diperberat Menjadi 11 Tahun

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya