600 Hari Berlalu, Wadah Pegawai Tetap Tagih TGPF Kasus Novel ke Jokowi

Jokowi pernah berjanji akan tuntaskan kasus Novel Baswedan

Jakarta, IDN Times - Pada 1 Agustus 2017 lalu, Presiden Joko "Jokowi" Widodo menulis di akun media sosialnya akan menuntaskan kasus teror yang menimpa penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Namun, satu tahun setelah cuitan itu ditulis, tidak ada perkembangan signifikan dalam pengusutan kasusnya. 

Bahkan, kini ketika Jokowi ditagih soal komitmennya itu, orang-orang yang berada di lingkar terdekatnya justru mempertanyakan mengapa semua hal ditanyakan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Pernyataan terbaru disampaikan oleh Kepala Staf Presiden, Moeldoko pada (2/11) di Istana Kepresidenan Bogor. 

"Jangan semua ke Presiden. Kan masing-masing punya otoritas yang mesti diberesin di lingkungan kerjanya," ujar Moeldoko kepada media. 

Otoritas yang dimaksud mantan Panglima TNI itu yakni Polri. Sebab, teror air keras terhadap Novel masuk ke ranah tindak pidana umum. 

Kini, 600 hari berlalu sejak Novel Baswedan disiram air keras oleh dua pelaku yang tidak dikenal. Namun, toh pengusutan kasusnya masih tidak pernah mengalami perkembangan. Organisasi Wadah Pegawai (WP) pun tak lelah mengingatkan kembali Jokowi akan komitmennya tersebut. Apalagi semakin lama kasusnya berlalu, maka kemungkinan untuk diungkap semakin kecil. 

Lalu, apa yang diharapkan oleh WP?

1. Wadah Pegawai menilai berbagai protes dan aspirasi tidak didengar oleh Jokowi

600 Hari Berlalu, Wadah Pegawai Tetap Tagih TGPF Kasus Novel ke JokowiANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Menurut Ketua Wadah Pegawai (WP), Yudi Purnomo, pihaknya sudah berupaya untuk menyampaikan aspirasi kepada Jokowi agar dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang independen. Namun, Jokowi memilih masih mempercayakan penanganan kasus itu kepada institusi Polri. 

"Kami sudah menyampaikan mulai dari protes masyarakat hingga keluarga Novel mengirimkan surat, tapi hingga hari ini aspirasi itu tidak didengar oleh Jokowi. Seolah-olah aspirasi rakyat tidak didengar," ujar Yudi melalui keterangan tertulis pada Minggu (2/11). 

Ia menyebut publik dan keluarga besar KPK sudah putus harapan untuk mencari keadilan, karena hingga saat ini mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut seakan-akan tidak memiliki kuasa apa pun untuk membongkar siapa pelaku yang meneror Novel. Padahal, Jokowi adalah panglima tertinggi di mata hukum. 

"Belum lagi berbagai pihak yang dekat dengan Presiden selalu berupaya mengalihkan  tanggung jawab tersebut (penuntasan kasus Novel) bukan ada pada Presiden. Sehingga bagi rakyat terkesan jelas bahwa Presiden menghindar," kata dia. 

Baca Juga: KPK: Kalau Bukan ke Presiden, Lalu Kepada Siapa Lagi Novel Berharap?

2. Novel Baswedan menilai teror yang menimpa dirinya memang sengaja tidak diungkap

600 Hari Berlalu, Wadah Pegawai Tetap Tagih TGPF Kasus Novel ke Jokowi(600 hari Novel Baswedan diteror air keras) www.twitter.com/@kpk_ri

Sementara, Novel Baswedan sudah sejak awal menduga kasus teror yang menimpa dirinya tidak akan diungkap. Instingnya sebagai penyidik senior di KPK dan polisi, menyebut untuk menuntaskan sebuah kasus, maka idealnya hal tesebut harus diungkap pada periode 90 hari. Lewat dari itu, maka penegak hukum sulit mencari barang bukti, apalagi menangkap pelaku. 

Kini setelah 600 hari, dugaannya itu seolah menjadi kenyataan. Jangankan menangkap aktor intelektual, identitas pelaku lapangan saja belum berhasil dilakukan oleh polisi. 

"Jadi, saya anggap kasus ini memang sengaja ditutup-tutupi," ujar Novel ketika berbicara di gedung KPK pada Kamis (1/11) lalu dalam diskusi bertajuk "Sebelah Mata HAM" di gedung KPK. 

Padahal, dengan mengungkap pelaku teror terhadap penyidik KPK, itu merupakan perlindungan terbaik yang diberikan oleh pemerintah bagi pejuang pemberantasan korupsi. Kalau kasusnya saja tidak diungkap, teror yang sama dapat menimpa juga ke penyidik KPK lainnya. 

3. Wadah Pegawai pesimistis era pemerintahan Jokowi akan mengungkap teror terhadap Novel

600 Hari Berlalu, Wadah Pegawai Tetap Tagih TGPF Kasus Novel ke Jokowi(Novel Baswedan mengaku sudah pesimistis kasusnya diungkap) www.twitter.com/@amnestyindo

Kalau melihat timeline Pilpres 2019, maka waktu efektif yang tersisa bagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla berkuasa hanya tersisa sekitar empat bulan. Wadah Pegawai pun semakin pesimistis pengungkapan kasus Novel masuk ke dalam agenda pemerintah. 

"Padahal penyerangan terhadap aparatur negara saat tengah menangani berbagai mega skandal berpeluang besar terjadi kembali, namun malah tidak ada perlindungan hukum yang diberikan," kata Yudi. 

Sementara, pimpinan KPK sempat membantah tidak memberikan perlindungan hukum kepada pegawainya, termasuk Novel. Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata justru mengatakan pihaknya berupaya untuk mencegah agar teror yang menimpa Novel tidak terjadi ke penyidik lainnya. 

"Ketika berada di lapangan lalu mendapatkan ancaman, maka segera hubungi KPK dan kami akan lakukan koordinasi. Berbagai upaya itu sedang kami lakukan untuk melindungi pegawai KPK," kata Alex pada (1/11) lalu. 

Namun, dalam pandangan Novel, pimpinan KPK justru terlihat mulai berkompromi dan tidak lagi memperjuangkan agar TGPF kasusnya segera dibentuk. 

"(Inisiatif TGPF) sempat disampaikan di awal dua pekan (usai disiram air keras). Tapi kemudian tidak diperjuangkan lagi oleh pimpinan," kata mantan Kasatreskrim di Polres Bengkulu itu di hari yang sama.

4. Lima pimpinan KPK dinilai pengecut karena kurang pro aktif dalam pengusutan kasus Novel

600 Hari Berlalu, Wadah Pegawai Tetap Tagih TGPF Kasus Novel ke Jokowi(Ketua KPK, Agus Rahardjo ) ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Sementara, peneliti pusat studi konstitusi di Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai pimpinan KPK juga berperan dalam molornya penanganan kasus Novel Baswedan. Sebab, tidak ada satu pun dari lima pimpinan itu yang aktif dan tampil ke depan untuk membela pegawainya yang telah disiram air keras pada 11 April 2017 lalu. 

"Dalam konteks Novel, pimpinan periode yang sekarang bisa dikatakan pimpinan paling pengecut, karena seharusnya kalau bawahannya sudah dianiaya begitu, pimpinan justru harus tampil ke depan dan melakukan tindakan yang produktif," ujar Feri ketika ditemui IDN Times pada (16/11) lalu. 

Tetapi, alih-alih melakukan hal produktif, lima pimpinan justru malah melakukan tindakan politik dan menyampaikan kalimat yang sifatnya formalitas. Padahal, KPK juga bisa mengusut kasus Novel dengan menggunakan celah pasal 21 UU Tipikor. 

"Karena kan bisa diduga kuat, Novel disiram air keras karena terkait kasus yang sedang ia tangani, jadi sama saja menghalang-halangi proses penyidikan yang tengah ditangani KPK," kata dia. 

Lalu, apakah diamnya pimpinan karena mereka khawatir akan dikriminalisasi oleh polisi? Mengingat Novel bolak-balik menyampaikan ke publik kalau ada dugaan keterlibatan jenderal polisi di dalam kasus terornya. 

"Saya yakin pimpinan bukan takut kepada polisi, tapi ke pelaku yang menyerang Novel. Saya yakin sebenarnya polisi mau bekerja sama," tuturnya lagi. 

5. Istana bantah tak peduli terhadap penanganan kasus Novel Baswedan

600 Hari Berlalu, Wadah Pegawai Tetap Tagih TGPF Kasus Novel ke JokowiANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf

Sementara, tudingan dari Novel bahwa Jokowi tidak peduli terhadap penanganan kasusnya dibantah keras oleh staf khusus bidang komunikasi, Johan Budi. Menurut mantan petinggi KPK itu, Jokowi sudah dua kali memanggil Kapolri, Jenderal (Pol) Tito Karnavian dan menanyakan perkembangan kasus Novel. Pertama, ketika Tito melapor dan menyampaikan perkembangan dari penyelidikan kasus ini.

"Kedua, sebelum Lebaran. Waktu itu, memang ada desakan untuk membentuk TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) independen. Tapi, ketika itu kan Presiden mengatakan harus menanyakan dulu kepada Kapolri, apakah mereka masih sanggup atau tidak menuntaskan kasusnya," ujar Johan kepada IDN Times melalui telepon pada Kamis (2/8) lalu. 

Selain itu sejak awal Novel diteror, Jokowi langsung memerintahkan agar pengobatannya langsung ditangani dokter kepresidenan. Johan sendiri mengaku mendapat instruksi itu dari Presiden saat ia menjenguk Novel di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading pada 2017.

Proses pengobatan dan pembiayaannya terus dilanjutkan hingga Novel harus diboyong ke Singapura, walaupun pembiayaan itu kemudian dihentikan pada 2018.

Perkara Polri belum bisa menemukan pelaku penyerangan terhadap Novel, Johan menyebut hal itu bisa saja karena kasus tersebut sulit dipecahkan. Menurut dia, Polri perlu diberi ruang untuk tetap bekerja menuntaskan kasus tersebut, sebelum dipersepsikanmacam-macam.

"Kan masing-masing kasus berbeda tingkat kesulitannya," kata dia. 

Baca Juga: Dianggap Tak Serius Tangani Kasus Novel Baswedan, Begini Reaksi Istana

Topik:

Berita Terkini Lainnya