Tiga Kejanggalan Vonis Banding Kasus Meliana Versi ICJR

Kuasa hukum Meliana berencana mengajukan kasasi

Jakarta, IDN Times - Putusan dari Pengadilan Tinggi Medan yang tetap menyatakan Meliana bersalah mengecewakan berbagai pihak, termasuk organisasi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Terlebih ICJR pernah mengirimkan dokumen Amicus Curiae untuk memaparkan fakta-fakta hukum yang ada. 

"ICJR menyesalkan penolakan banding oleh Majelis Hakim PT Medan ini," ujar Direktur Eksekutif ICJR, Anggara Suwahju melalui keterangan tertulis pada Jumat (26/10). 

Menurut Anggara, banyak kejanggalan dari putusan PT Medan tersebut. Salah satunya, Meliana dalam pandangan mereka, belum terbukti secara sengaja telah menodai agama Islam sesuai dengan pasal yang didakwakan yaitu pasal 156A huruf a KUHP Pidana. Pasal itu sendiri berbunyi: "dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."

Unsur dengan sengaja itu, kata dia, merupakan kesengajaan dengan tujuan, sehingga niat untuk melakukan harus nyata-nyata ditujukan untuk perbuatan tersebut. Lalu, apa lagi yang dinilai janggal oleh ICJR?

1. Alat bukti yang digunakan di dalam sidang Meliana sangat lemah

Tiga Kejanggalan Vonis Banding Kasus Meliana Versi ICJR(Ilustrasi vonis hakim) Pixabay

Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Medan pada Kamis kemarin justru menguatkan vonis di pengadilan tingkat pertama yakni pidana penjara 1 tahun dan 6 bulan. Namun, menurut Anggara, majelis hakim di PT tidak melakukan pembuktian secara ketat untuk menentukan pelanggaran hukum yang terjadi di kasus Meliana. 

Salah satu contohnya, kata Anggara, majelis hakim masih tetap mendasarkan alat bukti kepada dokumen fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). 

"KUHAP sendiri mengenal adanya lima alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dalam pandangan ICJR, kedudukan fatwa MUI tidak dapat dimasukan ke dalam salah satu kategori dari alat bukti tersebut," kata Anggara di dalam keterangan tertulisnya. 

Lagipula, fatwa MUI hanya bersifat mengikat bagi kelompok tertentu saja dan bukan peraturan mengikat seperti UU. Alih-alih mengajukan bukti berupa dokumen fatwa MUI, seharusnya majelis hakim mendengarkan keterangan dari ahli bahasa. 

"Ahli ini dapat mempelajari ilmu bahasa dan mengetahui dari suatu pernyataan verbal," kata dia. 

Baca Juga: Bebas dari KPK, Hakim yang Tangani Kasus Meliana Batal Dapat Promosi

2. Saksi yang didengarkan keterangan ternyata tidak menyaksikan langsung Meliana menodai agama

Tiga Kejanggalan Vonis Banding Kasus Meliana Versi ICJRANTARA FOTO/Septianda Perdana

Kalimat yang dianggap telah menodai agama Islam dan disampaikan oleh Meliana, menurut tetangganya, yakni keluhan perempuan berusia 44 tahun tersebut soal pengeras suara azan. Berdasarkan keterangan saksi bernama Kasini atau yang akrab disapa Kak Uo, Meliana mengatakan kalimat: "kok besar sekali di masjid itu? Dulu gak begitu. Kak, tolong bilang sama uak itu, kecilkan suara masjid itu, kak. Sakit kupingku, ribut." 

Namun, justru saksi yang didengarkan keterangannya bukan menyaksikan sendiri Meliana telah menodai agama Islam. Seharusnya saksi semacam ini dikualifikasikan oleh majelis hakim "hearsay". 

"Dalam prinsip hukum pidana, seharusnya kesaksian semacam itu tidak dapat diterima sebagai alat bukti. Sebab, di dalam KUHAP saksi didefinisikan sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri," kata Anggara. 

3. Pernyataan yang disampaikan oleh Meliana tidak termasuk kalimat yang memicu permusuhan

Tiga Kejanggalan Vonis Banding Kasus Meliana Versi ICJRMeliana dan pengacaranya (Facebook/Ranto Sibarani)

Dalam pandangan ICJR, kalimat "kok besar sekali di masjid itu? Dulu gak begitu. Kak, tolong bilang sama uak itu, kecilkan suara masjid itu, kak. Sakit kupingku, ribut", tidak termasuk pernyataan yang dengan sengaja dimunculkan untuk rasa permusuhan terhadap suatu agama di Indonesia. 

"Dalam konteks penafsiran pasal 156A, seharusnya dibuktikan Meliana memiliki niat menyebarkan kebencian terkait suatu agama tertentu," kata Anggara. 

Oleh sebab itu, ICJR, merekomendasikan Mahkamah Agung yang selanjutnya memeriksa perkara ini, untuk membatalkan putusan PN Medan dan PT Medan. 

"Sebab, jelas majelis hakim tidak menerapkan hukum dengan tepat dalam kasus ini," tutur dia. 

Baca Juga: Kasus Meliana, Amnesty Internasional Petisi Jokowi untuk Turun Tangan

Topik:

Berita Terkini Lainnya