Vonis 18 Bulan untuk Pemrotes Suara Azan Dikecam 

Meiliana dan kuasa hukum langsung mengajukan banding

Jakarta, IDN Times - Warga Tanjung Balai bernama Meiliana harus menerima nasibnya tetap berada di jeruji besi. Hasil sidang di Pengadilan Negeri Medan menilai Meiliana terbukti telah menodai agama Islam. Ketua majelis hakim menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara. 

"Menyatakan terdakwa Meiliana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama 1 tahun dan 6 bulan, dikurangi masa tahanan," ujar Hakim Ketua, Wahyu Prasetyo Wibowo ketika memimpin sidang pada Selasa (21/8) kemarin. 

Hukuman itu sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yakni menuntut agar Meiliana dipenjara selama 1 tahun 6 bulan. Lalu, bagaimana sikap Meiliana dan kuasa hukumnya? 

1. Meiliana dan kuasa hukum langsung mengajukan banding

Vonis 18 Bulan untuk Pemrotes Suara Azan Dikecam IDN Times/Sukma Shakti

Mendengarkan vonis tersebut, Meiliana dan kuasa hukumnya, Rantau Sibarani tidak terima. Mereka langsung mengajukan banding atas putusan yang dinilai tidak adil tersebut.

"Kami akan ajukan banding, Yang Mulia," ujar Rantau kepada majelis hakim.

Di sisi lain, jaksa penuntut umum mengatakan akan menggunakan waktu tujuh hari untuk pikir-pikir. Sementara, Meiliana terlihat berulang kali menyeka air matanya dengan sapu tangan usai mendengar vonis yang dibacakan oleh majelis hakim.

Baca Juga: Dijerat Pasal Penodaan Agama, Sidang Vonis Ki Ngawur Permana Digelar Hari Ini

2. Protes Meiliana dianggap telah memicu pembakaran vihara dan kelenteng di Tanjung Balai

Vonis 18 Bulan untuk Pemrotes Suara Azan Dikecam (Salah satu kelenteng yang dibakar oleh massa pada tahun 2016 di Tanjung Balai) www.datanglagi.com

Majelis hakim menilai protes dari Meiliana memicu terjadinya kericuhan di enam vihara dan kelenteng di Tanjung Balai pada 29 Juli 2016. Vihara tersebut dibakar oleh beberapa orang. Polisi sudah mengamankan tujuh orang, karena diduga merupakan pelaku pembakaran dan perusakan tempat ibadah.

"Ada enam vihara dan kelenteng yang diserang beberapa ratus warga. Tapi, kebanyakan, pembakarannya dilakukan pada alat-alat persembahyangan. Bangunannya sendiri tidak terbakar habis," ujar juru bicara Polda Sumatera Utara yang ketika itu masih dijabat oleh Kombes (Pol) Rina Sari Ginting, tahun 2016 dan dikutip media.

Rina pun membantah polisi hanya tinggal diam saat melihat sekelompok orang secara membabi buta melakukan perusakan ke vihara dan kelenteng. Ia berdalih polisi ketika itu tengah mendalami kasusnya.

"Saat itu, sebetulnya sedang terjadi dialog, namun massa di luar bergerak sendiri. Mereka bergerak cepat dan kami berusaha meminta mereka tidak melakukan kekerasan. Jumlah polisi pun ketika itu sangat terbatas," katanya lagi.

Peristiwa pembakaran yang dimulai sekitar pukul 23.00 WIB, baru selesai keesokan harinya pukul 04:30 WIB. Padahal, menurut Meiliana, ia hanya meminta kepada seorang imam agar suara azannya dikecilkan, lantaran dirasa mengganggu.

Baca Juga: Pasal Penodaan Agama: Indonesia Salah Satu Terburuk di Dunia

3. Putusan hakim dikecam oleh Setara Institute

Vonis 18 Bulan untuk Pemrotes Suara Azan Dikecam IDN Times/Sukma Shakti

Ketua organisasi Setara Institute, Hendardi mengecam putusan majelis hakim tersebut. Menurut Hendardi, vonis majelis hakim menunjukkan bahwa aparat sudah tunduk pada sentimen mayoritas dan tekanan terhadap kelompok intoleran.

Kejadian pembakaran vihara itu, kata dia, dipicu berita palsu dan ujaran kebencian bernada SARA. Akibatnya, tidak hanya vihara dan kelenteng yang jadi sasaran, tetapi juga rumah Meiliana.

"Dalam pengamatan Setara Institute, dari dulu proses hukum atas Meiliana suda berjalan di luar koridor rule of law dan fair trail. Proses hukum penodaan agama dalam perkara ini sejak awal dipicu oleh sentimen SARA atas dirinya," kata Wakil Ketua Setara, Bonar Tigor Naipospos melalui keterangan tertulis.

Dugaan proses peradilan yang tidak adil ini semakin menguat ketika usai perusakan vihara dan kelenteng, ormas-ormas tertentu kemudian mendesak Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara untuk mengeluarkan fatwa bahwa Meiliana sudah melakukan penistaan agama.

"Hal ini sama persis seperti yang terjadi dalam kasus Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dan sebagian besar kasus penodaan agama di Indonesia yakni karena kombinasi tekanan massa, kelompok intoleran, dan fatwa MUI yang menjadi determinan bagi penetapannya sebagai tersangka oleh polisi," kata Bonar.

Meiliana pun akhirnya ditahan oleh polisi sejak Mei lalu. Ia pun mengatakan peristiwa serupa akan kembali berulang kalau pemerintah tidak segera merevisi Pasal Penistaan Agama dalam KUHP.

Baca Juga: Ahok Dapat Remisi Lagi, Diprediksi Bisa Bebas Murni Tahun 2019

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya