Vonis Mati Bagi Koruptor Sudah Ada di UU Tipikor, Untuk Apa Direvisi?

Hukuman itu diatur di pasal 2 ayat 2 UU nomor 31 tahun 1999

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengaku setuju bila napi kasus korupsi dijatuhi vonis hukuman mati. Pernyataan itu ia sampaikan ketika menjawab pertanyaan dari salah satu siswa kelas XII jurusan Tata Boga SMK Negeri 57, Jakarta pada Senin (9/12). Hari ini merupakan puncak peringatan Hari Antikorupsi Sedunia dan pada tahun 2019 dipusatkan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Menurut mantan Gubernur DKI Jakarta itu vonis mati bagi koruptor itu bisa saja diberlakukan apabila masyarakat memang menginginkannya. 

"Ya, bisa saja (jadi inisiatif pemerintah), kalau jadi kehendak masyarakat," ujar Jokowi di SMK 57 Jakarta Selatan pada pagi tadi. 

Bahkan, Jokowi juga membuka peluang pemerintah bisa melakukan revisi terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kepada DPR. Tujuannya agar vonis itu dimasukan ke dalam undang-undang.

Padahal, di dalam UU Tipikor vonis itu sudah diatur. Hal itu tertulis di dalam UU nomor 31 tahun 1999 pasal 2 ayat 2. Di pasal itu tertulis "dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan." 

Lalu, apa komentar Ketua KPK, Agus Rahardjo mengenai wacana yang dilempar oleh presiden bahwa koruptor bisa dihukum mati?

1. Ketua KPK mengatakan ada syarat khusus sebelum bisa menjatuhkan hukuman mati bagi koruptor

Vonis Mati Bagi Koruptor Sudah Ada di UU Tipikor, Untuk Apa Direvisi?(Ketua KPK Agus Rahardjo ) ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Ketika dikonfirmasi ke Ketua KPK Agus Rahardjo, ia mengatakan hukuman mati sesungguhnya sudah diatur di dalam UU Tipikor. Namun, sejauh ini belum ada satu pun napi kasus korupsi yang dijatuhi vonis tersebut. Hukuman paling berat bagi tersangka kasus korupsi adalah seumur hidup dan dijatuhkan ke mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar. 

"Ya, memang di dalam undang-undangnya sudah ada kan? Tinggal penerapannya saja yang kita lihat," kata Agus di gedung KPK. 

Mantan Kepala LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah) itu mengatakan tidak mudah menerapkan vonis mati bagi napi kasus korupsi. Ada syarat khusus di dalam UU Tipikor yang harus dipenuhi baru kemudian vonis tersebut bisa dijatuhkan. 

"Kan ada syarat khusus yang harus diterapkan. Jadi, syaratnya sudah memenuhi atau belum? Kalau suatu saat memenuhi ya diterapkan saja," kata dia lagi. 

Syarat yang dimaksud Agus di dalam undang-undang itu yakni apabila pelaku mencuri dana atau bantuan bencana nasional. Komisi antirasuah sesungguhnya sempat mempertimbangkan untuk menerapkan pasal hukuman mati kepada salah satu tersangka kasus korupsi sistem penyediaan air minum (SPAM) tahun anggaran 2017-2018 di Kementerian PUPR. Sebab, tersangka itu korup di proyek penyediaan air minum di daerah bencana, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. 

Baca Juga: Jokowi Setuju Hukum Mati Koruptor Jika Masyarakat Berkehendak

2. Peneliti ICW menyebut hukuman mati bagi koruptor tidak menimbulkan efek jera

Vonis Mati Bagi Koruptor Sudah Ada di UU Tipikor, Untuk Apa Direvisi?IDN Times/Fariz Fardianto

Sementara, menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S. Langkun, penerapan hukuman mati terbukti tidak membuat jera pelaku kasus korupsi. Ia mencontohkan Tiongkok yang telah memberlakukan hukuman mati bagi pelaku kasus korupsi, ternyata Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tidak jauh berbeda dari Indonesia. 

Berdasarkan survei yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) tahun 2018, Tiongkok berada di posisi 87 dan merosot 10 peringkat. Sedangkan, Indonesia ada di peringkat 89. 

"Artinya, hukuman mati tidak seefektif yang dibayangkan. Jadi, kalau dalam bayangan saya bagaimana koruptor tidak dihukum mati, tetapi bagaimana hukumannya diperberat dan tidak lagi permissif. Bukan malah presiden kemudian teriak-teriak mengenai hukuman mati," kata Tama ketika ditemui oleh IDN Times di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (9/12). 

Ia juga mengatakan dengan sanksi yang diperberat, lalu grasi tidak dikabulkan dan memperkuat KPK, justru akan membuat koruptor jera korupsi. 

3. Harta dan aset napi koruptor yang dihasilkan dari perbuatan korupsi harus dirampas oleh negara

Vonis Mati Bagi Koruptor Sudah Ada di UU Tipikor, Untuk Apa Direvisi?(Peneliti ICW Tama S. Langkun) IDN Times/Santi Dewi

Cara lain yang efektif untuk membuat jera koruptor yakni dengan mengembalikan kerugian keuangan negara seefektif mungkin. Caranya, dengan merampas semua harta kekayaan dan aset yang diperoleh tersangka kasus korupsi dengan berbuat korup. 

"Kalau sekarang kan sanksinya penjara lima tahun, dua tahun tiga bulan. Hukumannya kan gak berat," kata dia. 

Tama juga menjelaskan bahwa sesungguhnya dulu yang didorong untuk direvisi adalah undang-undang tindak pidana korupsi, bukan UU KPK. Sebab, undang-undang tipikor lebih prioritas untuk dibenahi isinya. 

"Kenapa urgent? Ada banyak hal yang perlu diselaraskan misalnya pasal 2 dengan pasal 3. Pasal 5 dengan pasal 11, catatan ketika diimplementasikan dan menjadi review dunia internasional," kata dia. 

Namun, yang menjadi kepedulian bagi ICW bukan mengenai implementasi hukuman mati bagi koruptor, melainkan hukumannya diperberat. Caranya, kata Tama, dengan vonisnya ditambah dan hartanya dirampas.

Gimana, menurut pendapat kalian, guys?

Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App. Unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb

Baca Juga: KPK Harap Polisi Bekerja Optimal Ungkap Penganiaya Pegawai KPK

Topik:

Berita Terkini Lainnya