Wakil Ketua MPR: Indikator Kematian Jangan Dihapus, Tapi Diperbaiki

Pemerintah berdalih data kematian dari daerah tak real time

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua MPR dari fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan menyesalkan kebijakan pemerintah yang memilih untuk menghapus angka kematian dari indikator penentuan level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Meski penghapusan angka kematian itu bersifat sementara, tetapi dampaknya fatal. Ia pun mendesak pemerintah agar segera memperbaiki data kematian bukan malah menghapusnya. 

"Bila masalahnya ada di angka kematian yang tidak update maka seharusnya kualitas datanya yang ditingkatkan, bukan data kematiannya yang tidak digunakan sebagai indikator dalam menentukan level dari PPKM," ungkap Syarief dalam keterangan tertulis pada Jumat (13/8/2021). 

Ia kemudian mengacu kepada data dari Satgas Penanganan COVID-19 pada Selasa, 10 Agustus 2021 lalu. Di hari pertama perpanjangan PPKM level 4, angka kematian harian mencapai 2.048 kasus sehingga total kematian akibat COVID-19 di Indonesia mencapai 110.619. 

Sementara, kasus harian positif di hari yang sama mencapai 32.081 dari 99.387 orang yang dites. Angka tersebut, menurut Syarief yang dijadikan acuan dalam menentukan level PPKM di seluruh area di Indonesia. Data itu, kata Syarief, juga bisa dijadikan petunjuk untuk membenahi penanganan pandemik di wilayah yang memiliki kasus harian dan kematian yang tinggi. 

"Dari angka kematian, kita dapat mengetahui seberapa besar dampak dari penyebaran COVID-19 di daerah-daerah. Sehingga, kita bisa mengambil sikap untuk melakukan berbagai pembatasan sesuai dengan perkembangan angka kematian dan positif harian," tutur dia lagi. 

Lalu, apa langkah Kementerian Kesehatan setelah dikritik banyak pihak menghapus angka kematian dari indikator penentuan level dalam PPKM?

Baca Juga: Deretan Proyek Besar Anies di Tengah Pandemik COVID-19

1. Langkah pemerintah hilangkan angka kematian tanda tak mampu kendalikan pandemik COVID-19

Wakil Ketua MPR: Indikator Kematian Jangan Dihapus, Tapi DiperbaikiIlustrasi Tes Usap/PCR Test. IDN Times/Hana Adi Perdana

Lebih lanjut, pria yang pernah menjabat sebagai Menteri Koperasi dan UMKM itu mengatakan langkah pemerintah yang menghapus justru menandakan ketidakmampuan mereka dalam mengatasi pandemik COVID-19. Selain itu, pemerintah pusat juga dinilai  kurang mampu membangun komunikasi dengan daerah, dan tidak memiliki sistem database satu pintu terkait COVID-19 di daerah. "Alhasil, data kematian tidak jadi tidak update," kata Syarief. 

Ia juga mengingatkan pemerintah agar juga menggenjot tes COVID-19. Sebab, jumlah orang yang dites setiap harinya juga menjadi indikator penting bagi kebijakan pelonggaran atau pembatasan selanjutnya.

Ia pun menyentil pemerintah jumlah orang yang dites jangan dikurangi. Pernyataan itu disampaikan oleh Syarief sebab data pada jumlah orang yang dites pada 9 Agustus 2021 lalu malah menurun drastis, di bawah 100 ribu orang. 

"Padahal, kita perlu memperbanyak testing untuk bisa memutus laju penyebaran dan melokalisir COVID-19 sehingga tidak terus menerus menyebar dari satu wilayah ke wilayah lainnya," kata pria yang juga menjabat sebagai anggota Majelis Tinggi partai berlambang bintang mercy itu. 

Ia menambahkan pemerintah pernah sesumbar berkeinginan untuk menggenjot tes hingga 500 ribu orang per hari. Namun, angka itu tidak pernah tercapai. 

Baca Juga: Alasan Pemerintah Hapus Data Kematian dari Indikator Penanganan COVID

2. Kemenkes minta langsung data dari semua rumah sakit di daerah

Wakil Ketua MPR: Indikator Kematian Jangan Dihapus, Tapi DiperbaikiIlustrasi tenaga medis. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Sementara, Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi pernah menjelaskan angka kematian dikeluarkan dari indikator penentuan level PPKM lantaran bukan data real time. Juru bicara Kemenko Marves, Jodi Mahardi menepis angka kematian bukan dihapus, tetapi tidak dipakai sementara waktu. 

Menurut Jodi, data yang diterima oleh pemerintah pusat dari daerah merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu terakhir. Akibatnya, menjadi distorsi atau bias dalam penilaian penurunan atau memperketat level pada PPKM.

Meski tanpa data yang komplit itu, pemerintah malah memutuskan untuk menurunkan status PPKM dari level 4 ke level 3 pada 26 kabupaten atau kota. Menko Luhut malah mengklaim penurunan tersebut sebagai bentuk perbaikan penanganan COVID-19. 

Kementerian Kesehatan kemudian mengambil langkah intervensi. Caranya, rumah sakit di daerah harus langsung melaporkan data ke pemerintah pusat secara real time. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Siti Nadia Tarmizi mengatakan dengan begitu, maka data tersebut tidak lagi harus melalui proses verifikasi berjenjang di daerah. 

"Dengan intervensi ini, jadi datanya langsung terlapor di data pusat. Tidak ada proses verifikasi ulang di kabupaten/kota dan provinsi," kata Nadia ketika dihubungi pada Jumat (13/8/2021). 

Dengan cara ini, diharapkan tidak ada lagi perbedaan data antara pemerintah pusat dan daerah. 

3. Lapor Covid-19 pernah melaporkan gap akumulasi angka kematian mencapai 20 ribu

Wakil Ketua MPR: Indikator Kematian Jangan Dihapus, Tapi DiperbaikiSuasana Makam Jenazah Pasien COVID-19 di TPU Rorotan pada Senin (26/7/2020). (IDN Times/Uni Lubis)

Sementara, organisasi pemantau wabah, Lapor Covid-19 pernah melaporkan temuan mereka pada Juli 2021 lalu. Analis data Lapor Covid-19 Said Fariz Hibban mengatakan ada selisih angka kematian antara pemerintah pusat dan daerah mencapai 20 ribu. 

Berdasarkan data Lapor Covid-19 per 21 Juli 2021 lalu, akumulasi kematian mencapai 98.014 jiwa. Sedangkan, data akumulasi kematian yang dilaporkan oleh Kemenkes pada tanggal yang sama hanya 77.583 individu. 

“Jadi di sini gap-nya agak lebar, sekitar 20 ribu kasus lebih,” kata Said dalam jumpa pers pada akhir Juli lalu.

Salah satu inisiator Lapor Covid-19 Ahmad Arif mengatakan hal ini juga terlihat dari selisih data antara pemakaman dengan protokol COVID-19 dengan data kasus konfirmasi di daerah. Ia mencontohkan Pemprov Malang, Jawa Timur pada 19 Juli 2021 lalu melaporkan tidak ada satu pun kasus kematian. Sementara, data pemakaman menunjukkan di hari yang sama ada 26 orang yang dimakamkan dengan protokol COVID-19. Sebanyak, sembilan orang di antaranya meninggal saat menjalani isolasi mandiri di rumah.

Arif menilai hal ini juga disebabkan oleh definisi kematian terkait COVID-19 yang “diutak-atik” dalam pencatatan data.

“Padahal mengacu pada definisi Badan Kesehatan Dunia WHO sudah jelas, yang meninggal dengan kondisi klinis COVID-19 walaupun belum terkonfirmasi positif oleh tes PCR seharusnya dicatat juga. Kecuali ada penyebab lain yang lebih jelas seperti kecelakaan,” ungkap Arif dalam jumpa pers yang sama. 

Baca Juga: [BREAKING] Angka Kematian Akibat COVID-19 di RI Tembus 100 Ribu

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya