[WANSUS] Tak Semua Korban Pelanggaran HAM Berat Mau Lewat Jalur Hukum

Negara akhirnya mengakui ada 12 peristiwa pelanggaran HAM

Jakarta, IDN Times - Memasuki masa akhir kepemimpinannya, Presiden Joko "Jokowi" Widodo dianggap membuat terobosan terkait isu Hak Asasi Manusia (HAM). Mantan Gubernur DKI Jakarta itu pada 11 Januari 2023 mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat memang benar-benar terjadi di masa lalu. 

Pengakuan itu pun menimbulkan polemik lantaran masih ada kasus HAM lainnya yang juga perlu diakui negara. Selain itu, ada pula yang berpendapat pengakuan saja tidak cukup. Negara juga dituntut untuk meminta maaf. 

Ketua Tim Pelaksana Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat (TPPHAM) Masa Lalu, Makarim Wibisono, mengatakan pengakuan ini menjadi yang pertama sepanjang 77 tahun Indonesia berdiri. Negara hanya mengakui 12 kasus HAM berat itu lantaran hanya 12 kasus itu yang berkasnya telah dilimpahkan Komnas HAM ke Kejaksaan Agung. 

Menurut Makarim, langkah ini adalah titik tengah dari semua hal yang semula dipikir tidak mungkin dilakukan. Pemerintahan Jokowi memilih penyelesaian di luar jalur hukum dan fokus kepada pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat. Berdasarkan data dari Komnas HAM, ada sekitar 6.000 lebih korban pelanggaran HAM berat yang tersebar di seluruh Indonesia dan sejumlah negara. 

"Jadi, ini prosesnya non yudisial dan fokus kepada korbannya. Pusat perhatiannya bagaimana betul-betul mengatasi masalah korbannya," ungkap Makarim yang ditemui IDN Times di kediamannya di  Jagakarsa, Jakarta Selatan, awal Maret 2023.

Ia juga menggarisbawahi, fokus pemerintah di luar jalur hukum bukan berarti proses pengusutan kasusnya terhenti. Justru lantaran berkas dari 12 kasus pelanggaran HAM berat itu sudah ada di Kejaksaan Agung lebih mudah kapan pun dilimpahkan ke pengadilan. 

Makarim juga menyebut tak semua korban pelanggaran HAM bersedia memilih jalur hukum. Sebagian ada puas dengan pengakuan dari pemerintah dan bakal mendapatkan pemulihan hak. 

"Mereka tidak mau membuka itu karena bakal membuka trauma masa lalu," tutur mantan diplomat senior di Kementerian Luar Negeri itu. 

Pemerintah pun kini sudah membentuk tim untuk implementasi 11 rekomendasi dari TPPHAM. Makarim pun kembali dilibatkan di dalam implementasi rekomendasi tersebut.

Apa saja tantangan yang dihadapi TPPHAM ketika menemui korban dan mendengarkan aspirasi mereka? Apa respons Makarim ketika langkah Indonesia dipuji Dewan HAM PBB di Jenewa? Simak wawancara IDN Times selengkapnya berikut ini.

Bagaimana awal mulanya Anda ditunjuk menjadi Ketua Pelaksana TPPHAM?

Pak Menko Polhukam menelepon saya. Terus dia katakan, Pak Makarim kan dulu aktif mengenai HAM di luar negeri. Saya kan dulu ketua komisi HAM di PBB di Jenewa. 

Saya juga pernah menjadi UN special rapporteur. Saya juga menjadi perwakilan komisi HAM PBB di Darfur. Supaya masalah ini bisa diselesaikan. Pak Menko Polhukam berharap saya bisa ikut membantu dan memimpin. Apakah saya bersedia atau tidak?

Lalu, saya tanya siapa saja anggotanya, dan dijelaskan oleh Beliau. Terus kemudian tujuannya untuk menyelesaikan, saya bersedia, Pak. Karena tugas saya di negara-negara lain juga sudah selesai. Masalah pelanggaran-pelanggaran HAM di negara lain kan juga sudah selesai. 

Baca Juga: Jokowi Akui Peristiwa Mei 98-Tragedi Semanggi Pelanggaran HAM Berat

Apa makna pelanggaran HAM di negara lain dikatakan sudah selesai?

Kalau di negara lain, seperti misalnya Adolf Hitler, ada berapa juta orang yang dibunuh, kemudian kan terjadi perpecahan terhadap orang yang pro Adolf Hitler dan anti terhadap Hitler. Tapi, setelah Adolf Hitler meninggal, kan di antara proses itu, ada yang namanya cut off. 

Lalu, setelah semua selesai, dibuat lah tempat memorabilia holocaust. Sekarang, kan apakah Anda pernah dengar saya masih pro dan kontra Adolf Hitler, kan sudah tidak pernah ada. Mereka kan sudah bersatu. 

Kita kan masih terhitung bangsa yang baru. Merdeka saja baru di tahun 1945 dibandingkan negara-negara itu. Jadi, kita ada pengaruh-pengaruh dari negara yang pernah mengalami masalah. 

Tapi, di Indonesia kan, masalah itu kan terjadi antar kita, bukan antara kita dengan bangsa lain. Tentu kan harus dicari cara-cara untuk menyelesaikannya. 

Anda kerap menyebut Chile sebagai negara yang sukses menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu di negaranya. Mengapa merujuk ke sana?

Saya menyebut Chile, bukan untuk membandingkan apple to apple dengan Indonesia. Tetapi, yang saya rujuk adalah inisiatif dari presiden untuk menugaskan tim. Timnya lalu menyampaikan kepada presiden. presideen lalu mencoba menyampaikan ini kepada rakyatnya.

Apa yang terjadi pada 11 Januari 2023 di Indonesia itu kan mirip seperti Chile. Ketika Pak Presiden menyampaikan kepada rakyatnya pernah ada pelanggaran HAM di masa lalu. Kalau soal kasus-kasus HAM yang terjadi ya itu lain urusan. 

Kita kan sudah terjadi 57 tahun lalu. Kalau kasusnya sudah terang kan juga berbeda konteksnya. 

Apakah Anda sudah menduga bahwa TPPHAM bakal mendapat tentangan dari dalam negeri?

[WANSUS] Tak Semua Korban Pelanggaran HAM Berat Mau Lewat Jalur HukumDaftar 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu yang diakui oleh negara. (Dokumentasi IDN Times)

Ya, kita tahu masalah ini kan sudah lama. Ditaruh di bawah karpet dan tidak diselesaikan, didiamkan saja. Kan ini menjadi ruwet sekali. 

Kami juga pernah mendengar pada  2015, Lemhanas pernah berupaya untuk mendamaikan, tapi mendapat tentangan dari pensiunan Angkatan Darat. Itu, kami sudah tahu. Oleh sebab itu yang kami yakini kami mencoba menyelesaikan masalah kasus. Tapi, kami tidak membongkar-bongkar siapa pelakunya. 

Yudisial itu sebuah proses untuk membongkar kepada siapa pelaku dari pelanggaran HAM berat itu. Kalau ini kan prosesnya non yudisial dan itu fokus kepada korbannya. Jadi, pusat perhatiannya bagaimana betul-betul mengatasi masalah korbannya. 

Jadi, arahnya memang betul-betul memusatkan perhatian untuk mengatasi masalah korbannya. Kalau pelakunya kan sudah ada UU Nomor 26 Tahun 2000, di situ UU mengenai Pengadilan HAM, anytime bisa dilakukan seandainya ditemukan cukup bukti segala macam. Jadi, itu jalan terus. 

Ketika kami bertemu dengan Pak Amir (Komisioner Komnas HAM periode 2017-2022) juga, kami klarifikasi apakah proses non yudisial ini supaya memendam yudisial. Kata dia gak. Yang terjadi yudisial jalan terus. 

Banyak yang menyebut proses peradilan terhadap pelanggar HAM berat di kasus Paniai sekadar formalitas belaka. Bagaimana Anda menanggapinya?

Kita ditanya juga oleh pelaku (pelanggaran HAM berat di masa lalu), ditanya juga oleh korban-korban, kami kan pergi ke beberapa tempat. Kami kan juga ditanyakan itu. 

Kami katakan, itu garis (kebijakan) dari pemerintah. Kami ini kan tim yang ditunjuk oleh pemerintah yang memberikan rekomendasi ke pemerintah, apa yang sebaiknya dilakukan. Antara Anda dan saya itu sama, karena kita punya tugas untuk meyakinkan pemerintah bahwa hasil rekomendasi TPPHAM harus dilaksanakan. 

Kalau dilaksanakan, maka keragu-raguan yang ada di benak korban bisa hilang. Tapi, kalau itu hanya untuk public relations saja, gambaran image sementara, maka korban akan memiliki penafsiran yang lain. 

Baca Juga: 6.000 Orang Sudah Terverifikasi Jadi Korban Pelanggaran HAM Berat

Apakah korban yang ditemui tim PP HAM berasal dari 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu?

Korban dari semua kasus, itu ditemui. Kami juga menemui keluarganya. Kami juga menemui pendampingnya. Kami juga menemui pejabat-pejabat yang menangani masalah itu di daerah. Kami menemui berbagai pihak. 

Terus terang kerja kami agak pontang-panting. Semua korban yang kami temui, posisinya di Indonesia. Hanya ada korban dari luar negeri, tetapi kami temui di Solo. Dia insinyur dan ahli kapal. 

Kalau Habibie itu ahli pesawat terbang, maka dia ahli kapal laut. Dia menjadi korban dari peristiwa 1965-1966. Jadi, paspornya diambil dan akhirnya dia pindah ke Jerman serta menjadi warganegara di sana. 

Jadi, dia ke Solo itu karena kangen orang tua dan keluarganya, menggunakan paspor Jerman. Dia menceritakan bahwa orang-orang yang senasib dengan dia banyak sekali di Eropa. 

Maka itu salah satu rekomendasi kami kepada Bapak Presiden yakni bagi para exile ini. 

Siapa yang akan menemui para exile ini di luar negeri?

[WANSUS] Tak Semua Korban Pelanggaran HAM Berat Mau Lewat Jalur HukumMenteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD bersama TPP HAM untuk menerima rekomendasi pada Kamis, 29 Desember 2022. (IDN Times/Santi Dewi)

Katanya presiden memberi tugas kepada tiga menteri. Pertama ada Pak Menko Polhukam, kedua Menkum HAM dan ketiga Menlu. 

Apakah semua korban welcome saat ditemui TPPHAM?

Ada yang welcome, ada yang tidak welcome. Karena mereka kan sering kali ditemui oleh beberapa tim lain dan dijanjikan hal yang sama. Jadi, mereka sudah pesimistis. 

Tapi, ada juga yang welcome ketika kami memperkenalkan diri. Kami katakan bukan bagian dari pemerintah, tetapi ditunjuk oleh pemerintah. Kemudian, kami kasih tahu siapa-siapa tahu di antara kami. Ya, ada yang menyambut dan tidak menyambut.

Ada juga yang tidak mau berbicara dengan kita. Tapi, setelah kami lobi, akhirnya mereka mau berbicara. 

Apa saja aspirasinya ketika para korban ditemui? Apakah dengan pengakuan dari pemerintah saja dianggap cukup?

Temuan pada intinya bahwa mereka itu adalah korban, sudah bertahun-tahun sendiri menghadapi itu. Perhatian dari pemerintah daerah kan kurang. Karena apa? Karena kan kasusnya tidak pernah diakui oleh pemerintah. 

Gak pernah ada statement bahwa ada pembunuhan terhadap dukun santet, atau Petrus (Penembakan Misterius). Padahal, korbannya sudah mencapai ratusan orang. Tapi, kalau itu bisa ada statement dan pengakuan, orang-orang yang menjadi korban kan bisa bicara sama Pemda, pejabat terkait. 

Jadi, saya menemui berbagai korban yang ada di Palu, Talangsari, mereka pada umumnya menginginkan kasus yang dialami oleh mereka diakui oleh negara. Makanya, kami memberikan rekomendasi salah satunya pengakuan itu. 

Bagaimana menjawab pertanyaan dari keluarga korban yang juga menuntut permintaan maaf resmi dari pemerintah?

Ya, kita kan melihat kasus ini gak pernah diomongkan sama sekali, gak pernah dibantu. Malah ada itu anak korban peristiwa di Talangsari, ketika mau kawin, pejabat setempat gak bersedia mengeluarkan surat kawin. Itu karena dianggap seperti seolah-olah keluarga radikal. 

Jadi, mereka ingin agar ini diakui oleh negara dan kemudian bagaimana memulihkan hak-hak dia yang jadi korban itu. Saya bisa bilang ini common denominator, pengakuan dari negara tersebut.

Apa signifikansi dan dampak yang dirasakan oleh keluarga korban setelah negara mengakui ada 12 peristiwa HAM berat di masa lalu?

[WANSUS] Tak Semua Korban Pelanggaran HAM Berat Mau Lewat Jalur HukumAktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan ke-538 di depan Istana Merdeka pada Mei 2018 lalu. Jakarta, (ANTARA FOTO/Fanny Octavianus)

Pertama, korban dianggap seperti masyarakat pada umumnya. Karena mereka kan kena stigma bahwa berasal dari keluarga yang tidak benar. Jadi, dengan adanya pengakuan demikian akan membantu. 

Apalagi nanti, kami akan melakukan yang namanya re-sosialisasi korban, di mana masyarakat yang tadinya terpisah karena peristiwa HAM berat di masa lalu, bisa disatukan. Misalnya ada acara di kabupaten atau kumpul-kumpul ya dia diundang juga. Kalau sekarang kan tidak diundang sama sekali, seolah-olah sudah out dari kelompok masyarakat. 

Bahwa mereka juga punya hak sebagai warga negara. Harus diberikan kesempatan kan untuk melakukan itu. Hak konstitusi juga harus dipulihkan dan diberikan santunan. 

Bayangkan karena tersandera masa lalu, mereka tidak bisa menempuh pendidikan di sekolah negeri, tidak bisa jadi PNS, tentara. Itu kan contoh nyata mereka memang korban dari pelanggaran HAM berat masa lalu.

Baca Juga: Pelaku HAM Berat Paniai Divonis Bebas, Mahfud: Tak Bisa Ikut Campur

Bagaimana keluarga korban bertahan melawan stigma sebelum ada pengakuan dari negara?

Wah, itu miris banget. Saya kan menemui para korban langsung. Ada yang dia bekerja dengan memelihara sapi milik orang lain. 

Jadi, rata-rata orang yang saya temui, hidupnya di bawah (garis kemiskinan). Tapi, kan korban pelanggaran HAM kan tidak terbatas pada 12 peristiwa itu saja. 

Ada juga korban kerusuhan Mei 1998, misalnya berhasil bertahan dari tindak pemerkosaan, justru memilih tidak ingin diekspos. Akhirnya mereka banyak yang berhasil bangkit dan membentuk keluarga. Anak-anaknya akhirnya sukses. 

Mereka tidak mau membuka itu karena bakal membuka trauma masa lalu. Jadi, memang banyak sekali perbedaan-perbedaan terhadap sikap korban. 

Kita lihat kasus Petrus. Petrus kan dulu adalah tindakan untuk mengamankan dari kriminalitas. Terjadi pembunuhan-pembunuhan preman-preman. 

Kadang-kadang anak atau cucu (korban Petrus) malah ikut kena stigma. Jadi, macam-macam aspirasinya. 

Artinya, tidak semua korban mau kasus pelanggaran HAM berat ini diselesaikan melalui jalur hukum?

Karena kalau diselesaikan melalui jalur hukum, identitas para korban terpaksa harus dibuka di ruang pengadilan. 

Mengapa pemerintah di era yang lalu sulit untuk mengakui pelanggaran HAM berat? Apakah karena dianggap aib?

Pertama, cara melihat menghadapi masalah itu, belum ada pendekatan yang pas dan serius. Jadi, dulu misalnya Pak SBY pernah mengadakan lalu ada reaksi dari dalam negeri, dan kemudian mundur. 

Pendekatan ketika itu kan bagaimana caranya membawa peristiwa ini ke pengadilan HAM di Indonesia. Maka, UU mengenai pengadilan HAM kan dibentuk di era Pak SBY. 

Kalau di era Pak Jokowi kan fokus pendekatannya ke non yudisial, yaitu bagaimana ke korbannya. Kami tidak menyentuh ke pelaku, tapi kami fokus pada korbannya. 

Jadi, ini memiliki dampak yang berbeda. Kalau dulu ingin pendekatan melalui jalur yudisial kan tidak pernah menghasilkan hal yang kongkrit. 

Di dalamnya usul kami, yaitu bagaimana menyusun hukum yang efektif, antara lain mencoba ratifikasi UU internasional dan mencoba mempelajari supaya UU nomor 26 tahun 2000 bisa diperbaiki. Agar tidak perlu bolak-balik. Karena prosedurnya dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung.

Lalu, kalau sudah di Kejaksaan Agung, berkasnya dikembalikan lagi. Atau kalau sudah di pengadilan, terdakwa malah dibebaskan karena adanya perbedaan hukum acara. Makanya, kami mengusulkan bagaimana perbaikan UU nomor 26 tahun 2000. 

Kalau sistem hukumnya rapi, keinginannya agar tidak terulang kembali ya itu bisa terwujud. Tapi, kalau misalnya tidak ingin peristiwa pelanggaran HAM berat terulang kembali tapi sistem hukumnya gak rapi, gak akan efektif. 

Langkah pengakuan dari negara diapresiasi Dewan HAM PBB. Apakah Indonesia kini dianggap semakin maju dalam menghadapi isu pelanggaran HAM?

Dewan HAM PBB kan melihat usaha-usaha itu kan tidak pernah ada titik terang. Jadi, seakan-akan impunitas jalan terus. Jadi, dengan adanya kasus ini dibuka, lalu ada usaha-usaha untuk memulihkan hak korban, dianggap mendorong terjadinya proses tidak ada lagi impunitas itu. 

Dewan HAM PBB melihat tindakan yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia adalah suatu perubahan besar dan melihat akan ada tindak lanjut. Jadi, tidak akan berhenti di pengakuan dari negara saja. 

Baca Juga: 11 Rekomendasi Timsus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu ke Jokowi

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya