Warga Nilai Presiden Tak Perlu Tanya DPR Saat Tunjuk Panglima TNI

Sejumlah anggota DPR sudah endorse calon tertentu Panglima

Jakarta, IDN Times - Lembaga survei Indikator Politik Indonesia (IPI) pada Rabu, 13 Oktober 2021 merilis temuannya bahwa mayoritas responden warga dan kaum elite menilai dalam penunjukkan Panglima TNI, presiden dapat menggunakan hak prerogatifnya dan tak perlu berkonsultasi ke DPR. Untuk responden dari kaum elite, jumlah responden yang menilai presiden tak perlu bertanya ke DPR mencapai 56,5 persen. Sedangkan, responden warga biasa yang sepakat dengan kaum elite mencapai 46,4 persen. 

Di sisi lain, kaum elite yang menilai presiden tak punya hak prerogatif dalam penunjukkan Panglima TNI mencapai 39,6 persen. Sedangkan, responden warga biasa yang sepakat dengan kaum elite mencapai 42,2 persen. 

Hasil survei ini bersamaan dengan momen pergantian Panglima baru TNI. Presiden Joko "Jokowi" Widodo diharapkan DPR telah menunjuk Panglima baru TNI sebelum 9 November 2021. Tujuannya agar komisi I DPR dapat memiliki waktu yang cukup untuk melakukan uji kepatutan dan kelayakan. 

Presiden Jokowi diketahui tidak memiliki pakem rotasi dalam penunjukkan Panglima TNI. Maka, ada tiga kandidat yang dipertimbangkan untuk mengganti Marsekal TNI Hadi Tjahjanto. Mereka adalah Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo, Kepala Staft TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono. 

Sayangnya, meski penunjukkan Panglima TNI adalah hak prerogatif presiden, tetapi sejumlah anggota DPR diketahui kerap melempar pernyataan bernada dukungan bagi kandidat tertentu. Mengapa penunjukkan Panglima TNI tahun ini sangat riuh?

Baca Juga: 60 Perwira Tinggi TNI Dapat Kenaikan Pangkat, Ini Daftarnya

1. Anggota komisi I DPR mendahului presiden dengan sebut Panglima TNI selanjutnya adalah Andika Perkasa

Warga Nilai Presiden Tak Perlu Tanya DPR Saat Tunjuk Panglima TNIKepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Andika Perkasa (kanan) ketika menghadiri puncak Latihan Antar Kecabangan TNI AD Kartika Yuda tahun 2020 di Sumatera Selatan (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto akan memasuki masa pensiun pada 30 November 2021. Namun, Presiden Jokowi belum mengirimkan surat ke DPR soal pengganti Hadi.

Meski demikian, sejumlah anggota DPR sudah mendahului presiden dengan melempar pernyataan bernada dukungan terhadap Jenderal TNI Andika Perkasa. Hal itu pun diprotes oleh sejumlah pihak, termasuk analis di bidang militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi.

Ia meminta agar anggota DPR  tidak perlu 'genit' dengan melontarkan pernyataan yang mendukung salah satu kandidat Panglima TNI. Pemilihan Panglima TNI menjadi hak prerogatif presiden. Sikap anggota DPR berikutnya hanya tinggal menyetujui atau menolak dengan usulan nama yang disodorkan oleh Presiden Jokowi. 

"Sikap presiden baru akan diketahui (memilih siapa) setelah suratnya diterima oleh DPR. Nah, DPR bisa bersikap setelah itu, siapapun namanya (yang diusulkan)," ujar Fahmi melalui keterangan tertulis pada Kamis, 9 September 2021. 

Fahmi mengaku bingung di tengah upaya untuk membangun TNI yang profesional dan postur pertahanan, mengapa suara politikus lebih santer terdengar. Ia tak menampik bahwa pengangkatan Panglima TNI turut melibatkan proses politik sebab harus dilakukan dengan persetujuan anggota komisi I. 

"Tetapi, DPR hanya perlu bersikap setuju atau tidak pada usulan presiden. Bukan malah terus menerus mendorong-dorong nama tertentu untuk diusulkan. Justru, aksi dukung mendukung yang dipublikasikan ini menyebabkan suasana menjadi kurang sehat," kata dia. 

Baca Juga: Mensesneg Pratikno Sambangi Mabes TNI AD, Tanda Andika Jadi Panglima?

2. Khairul Fahmi duga ada kepentingan transaksional di balik endorse calon Panglima TNI

Warga Nilai Presiden Tak Perlu Tanya DPR Saat Tunjuk Panglima TNIPeneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi (Dokumentasi Istimewa)

Kepada IDN Times, Fahmi mengatakan di balik aksi endorse ini justru menciptakan persepsi ke publik seolah ada persaingan di antara matra di TNI. Justru dikhawatirkan bakal calon Panglima TNI ini kemudian menggunakan instrumen atau kekuatan politik tertentu untuk memperkuat peluangnya dipilih oleh Presiden Jokowi. Adanya komunikasi politik di antara bakal calon Panglima TNI dengan politikus malah dikhawatirkan bisa membuka negosiasi politik. 

 "Sulit membayangkan hal itu (negosiasi politik) akan bisa terbebas dari komitmen-komitmen transaksional bahkan kontraktual," ujarnya. 

"Apalagi hubungan militer dan politikus itu kan resiprokal, timbal balik. Saling menggoda," lanjutnya. 

Selain itu, sulit bagi institusi TNI untuk bisa bergerak secara adil dan mengambil jarak dengan kekuatan politik, bila pucuk pimpinannya dulu getol didukung. "Sulit membayangkan kekuatan-kekuatan politik pendukung itu tidak tertarik melibatkan TNI dalam 'mengamankan' kepentingannya," ungkapnya. 

3. Lembaga TNI tak boleh lagi dipolitisasi

Warga Nilai Presiden Tak Perlu Tanya DPR Saat Tunjuk Panglima TNIPengamat bidang militer dan hankam dari Universitas Indonesia, Connie Rahakundini Bakrie ketika berbicara di program "Ngobrol Seru" (Tangkapan layar YouTube IDN Times)

Senada dengan Fahmi, analis militer dan pertahanan, Connie Rahakundini Bakrie pun sepakat seharusnya pemilihan Panglima TNI tidak perlu dicampuri oleh keterlibatan sipil. Ia menyentil sejumlah politikus yang melakukan endorse agar Andika yang terpilih sebagai Panglima TNI.

Menurut Connie, saat ini sudah banyak lembaga dan kementerian yang dipolitisasi. Ia tak menginginkan lembaga TNI juga diperlakukan demikian.

"Makanya sejak awal saya sudah mengimbau anggota DPR dan MPR untuk melakukan revisi di dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 mengenai TNI, terutama tentang pergantian Panglima TNI," kata perempuan yang meraih gelar doktor dari Universitas Indonesia (UI) ketika dihubungi, 6 September 2021 lalu. 

Ia menambahkan, Panglima TNI yang diangkat harus demi kebaikan organisasi TNI itu sendiri. Artinya, sudah tidak boleh lagi ada gerakan-gerakan senyap sehingga proses pemilihan sebaik apapun menjadi tidak lagi relevan.

Dulu, proses pemilihan Panglima TNI melibatkan Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) TNI. Namun, proses tersebut tak lagi terjadi. Pemilihan Panglima TNI sepenuhnya tergantung presiden. 

Tetapi, Connie menilai, lantaran ada aksi endorse yang dilakukan oleh sejumlah politikus, seolah-olah menimbulkan persepsi ada persaingan antar calon Panglima TNI. 

"Yang perang adalah sipil-sipilnya atau parpol-parpol di baliknya yang ingin calonnya jadi (Panglima TNI)," tutur dia. 

Connie mengaku mendengar sejumlah ketua umum parpol mengajak salah satu kepala staf TNI untuk makan malam. Bahkan, ia pun ikut diajak tetapi menolak. 

"Ini kan jatuhnya sudah semacam kampanye dan saya tidak mengalami dalam pemilihan Panglima TNI yang lalu," kata Connie. 

Ketika dikonfirmasi apakah kepala staf TNI yang dimaksud berasal dari TNI AL, Connie membantahnya. Dugaan menguat kepala staf yang diundang merupakan Andika Perkasa. 

Ia menduga, Andika di-endorse oleh sejumlah politikus karena ada jabatan lain yang ia bidik usai duduk sebagai Panglima TNI. "Bila hal itu sudah diketahui oleh DPR, lalu untuk apa dipilih atau diberhentikan sesuai dengan mekanisme di dalam UU Nomor 34 Tahun 2004," ujarnya. 

Baca Juga: Anggota DPR Tak Perlu Endorse Nama Tertentu Agar Jadi Panglima TNI

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya