[WANSUS] Artidjo Alkostar: Rakyat Terhina Lihat Koruptor Tertawa

Artidjo Alkostar meninggal dunia Minggu, 28 Februari 2021

Jakarta, IDN Times - Kabar duka datang pada Minggu (28/2/2021) siang. Artidjo Alkostar dikabarkan meninggal dunia di Kemayoran, Jakarta. Kabar duka tersebut dikonfirmasi oleh anggota Dewan Pengawas Komisi KPK Syamsuddin Haris.

Kepergian Artidjo meninggalkan duka mendalam, khususnya dalam dunia penegakan hukum di Indonesia. Di Pengujung hidupnya, Artidjo masih mengemban tugas sebagai anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun jauh sebelum bergabung dengan KPK, Artidjo merupakan seorang hakim agung di Mahkamah Agung yang paling membuat ngeri para koruptor. 

Bahkan kabar pensiunnya Artidjo Alkostar saja pada 2019 lalu menjadi angin segar bagi terpidana kasus korupsi. Mereka mulai berbondong-bondong mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung agar kasusnya ditelisik kembali, dengan harapan bisa divonis bebas. 

Salah satu terpidana yang mengakui mengajukan PK karena Artidjo sudah pensiun yakni advokat senior Otto Cornelis Kaligis. Pada Senin, 25 Maret 2019, OC Kaligis dan kuasa hukumnya mendatangi Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat untuk mendaftarkan surat PK-nya. Padahal, hukuman Kaligis sudah disunat dari 10 tahun menjadi 7 tahun. Tapi, OC Kaligis menilai putusan yang dibuat Artidjo sebagai wakil Tuhan tidak adil. 

"Begini, Artidjo (Alkostar) kan sudah tidak ada. Artidjo kan tidak pernah mau melihat fakta hukum dan artinya mengenai UU yang berlaku," kata dia. 

Bagaimana respons Artidjo? IDN Times berkesempatan mewawancarai Artidjo pada Rabu, 20 Maret 2019. Artidjo yang bertugas sebagai hakim agung selama 18 tahun itu mengaku tidak kecewa mengetahui ada banyak terpidana kasus korupsi yang memanfaatkan peluang, lantaran ia tidak lagi berkantor di Mahkamah Agung.

"Oh, gak, saya gak kecewa. Kan sudah tidak memiliki kewenangan apa-apa lagi," kata Artidjo kepada IDN Times yang mewawancarainya secara khusus di sebuah hotel di Jakarta.

Artidjo lahir 22 Mei 1948. Kepada IDN Times saat itu ia mengaku usai pensiun akan melakukan aktivitas yang sudah lama ingin dilakukannya, yakni kembali menjadi orang desa, mengurus beberapa ekor kambing dan warung milik orangtuanya di daerah Sumenep, Madura. Namun, ia tetap mengajar di kampung halamannya di Yogyakarta. 

Artidjo sendiri saat itu berada di Jakarta lantaran diundang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberikan pandangan mengenai revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Wacana soal revisi UU ini sudah digaungkan sejak 2011, namun tidak juga terealisasi. 

KPK menginginkan 24 poin yang disepakati di dalam UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) bisa diadopsi ke UU di Indonesia, termasuk soal memperdagangkan pengaruh. Sayangnya, poin tersebut tidak ikut dimasukkan. 

Dalam pandangan Artidjo, hal itu lantaran ada begitu banyak orang yang merasa dirugikan apabila memperdagangkan pengaruh dimasukkan ke dalam revisi UU Tipikor. 

"Absennya poin itu tidak dibahas, itu sikap politik dari orang-orang yang punya posisi strategis untuk diperjualbelikan," kata dia. 

Lalu, menurut Artidjo, apa hukuman sosial yang pas bagi koruptor? Berikut wawancara khusus IDN Times dengan Artidjo.

1. Apa kesibukan Anda usai pensiun sebagai hakim agung?

[WANSUS] Artidjo Alkostar: Rakyat Terhina Lihat Koruptor Tertawa(Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar) ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Iya, saya punya kambing kan di Situbondo. Kembali ke habitatnya (sambil tertawa). Jadi, orang desa. Kadang-kadang di Situbondo, kadang-kadang di Madura. Punya warung di Sumenep. Warung di Sumenep punya orangtua. 

Saya juga masih menularkan ilmu dengan mengajar. Ya, itu kan positif dan bukan mengejar jabatan. 

Baca Juga: 5 Fakta Hakim Agung Artidjo Alkostar, Si Spesialis Perberat Hukuman

2. Dalam pandangan Anda, memperdagangkan pengaruh sudah seberapa merajalela?

Saya kira umumnya, kenapa poin soal memperdagangkan pengaruh tidak dimasukkan karena itu kan menyangkut orang-orang yang punya jabatan, posisi strategis. Mirip seperti dagang daging sapi. 

Absennya poin itu tidak dibahas, itu sikap politik dari orang-orang yang punya posisi strategis untuk diperjualbelikan. Kalau sampai poin itu dimasukkan ke dalam revisi UU Tipikor, maka akan merasa dirugikan. 

3. Apakah dengan memasukkan poin memperdagangkan pengaruh ke revisi UU Tipikor, bisa mencegah parpol melakukannya?

Pertama, paling tidak itu bisa memberikan sinyal, hukum itu kan sesuatu yang harusnya dijadikan sinyal maka dilakukan. 

Kedua, ada sanksinya sehingga tidak ada keraguan lagi. Selama ini kan penegak hukum merasa ragu-ragu. Selama ini malah dimasukkan ke tindak pidana suap. 

4. Menurut Anda, apa sanksi yang pas untuk kasus memperdagangkan pengaruh?

Penjara. Karena perbuatan itu sangat berbahaya. Itu adalah menyangkut orang yang tidak amanah, orang yang telah diberikan jabatan oleh negara dan rakyat, tapi lalu diperdagangkan. 

5. Anda yakin perdagangan pengaruh ini bisa diberantas di Indonesia? Kan sudah merajalela?

[WANSUS] Artidjo Alkostar: Rakyat Terhina Lihat Koruptor Tertawa(Profil Artidjo Alkostar) IDN Times/Sukma Shakti

Memang, makanya itu tidak dimasukkan ke dalam revisi UU Tipikor. Artinya, kan ada kendala. Kendalanya apa? Pertama, kendala struktural, jadi yang punya jabatan-jabatan tidak ingin poin itu masuk. 

Kedua, adalah budaya. Seolah-olah perbuatan memperdagangkan pengaruh adalah sesuatu yang biasa. Karena orang sudah berjasa maka harus ada imbal baliknya. Imbal balik itu bisa berupa uang atau hal yang lain. 

6. Apakah penegak hukum di Indonesia sudah berpikir soal memburu aset koruptor selain memenjarakan mereka?

Saya kira dalam formulasi UU-nya sudah jelas. Itu yang diperoleh, uang pengganti seharusnya senilai dengan sebanyak-banyaknya uang yang diperoleh dan bukan yang dinikmati. 

Jadi, dengan demikian meskipun harta warisan nenek moyang, tapi ketika yang dikembalikan ke negara nominalnya belum cukup, maka harta itu juga harus dijual. Tidak hanya cukup yang dikorupsi saja. 

Misalnya, korupsi Rp2 miliar, tapi harta yang ada saat ini kurang Rp1 juta lagi untuk dikembalikan. Nah, harta yang dimiliki oleh nenek moyangnya turut dijual. 

7. Kenyataannya banyak koruptor yang enggan membayar uang pengganti. Bahkan ada kasus terpidana bayar uang pengganti dengan mencicil. Bagaimana membuat mereka agar langsung membayar lunas uang pengganti?

Penegak hukum seharusnya bisa bersikap lebih tegas dengan memberi batas waktu, sampai kapan. 

8. Apakah menurut Anda, koruptor sudah kapok korupsi? Sebab, ketika dikalungkan rompi oranye dan diborgol masih bisa tersenyum.

Itu adalah satu bentuk penghinaan kepada rakyat dengan tersenyum. Dia sudah mencuri uang rakyat, sehingga ia beranggapan seolah-olah biasa dan tidak merasa malu. Toh, mereka juga berpikir: 'ah, banyak juga kok yang korup'. 

Lalu, motivasi dia ini semula coba-coba, setelah tertangkap lalu membuat alasan macam-macam. Ada yang mengaku ini musibah, dijebak dan lain-lain. Dalam banyak kasus, banyak koruptor seperti seorang bupati yang sempat percaya diri tidak bersalah, tapi saat di pengadilan mengaku bersalah dan menangis juga. 

Berarti, tingkah laku itu dibuat-buat dengan cengengesan. 

9. Hukum sosial yang pantas untuk koruptor itu apa?

Artinya, hukum kita belum berdampak ke preferensi umum tapi preferensi khusus saja. Padahal, tujuannya kan supaya orang tidak mengulangi perbuatannya. Hanya ada 1 atau 2 orang yang mengulangi. 

Kalau publik justru berpandangan hukum masih bisa dipermainkan, bisa diatur, bisa didekati penegak hukumnya. Selama ada uang dan kuasa. 

10. Tadi Anda sempat mengatakan Indonesia kekurangan role model anti korupsi. Bisa jelaskan hal ini?

[WANSUS] Artidjo Alkostar: Rakyat Terhina Lihat Koruptor Tertawa(Mantan hakim agung Artidjo Alkostar) Istimewa

Seharusnya role model itu kan menjadi tokoh panutan. Misalnya kalau di Malaysia ada Mahathir Muhammad. Itu di Indonesia belum ada tokoh yang seperti itu. Dulu yang dijadikan role model adalah Bung Hatta. 

11. Setelah Anda pensiun, para koruptor ramai-ramai mengajukan PK. Artinya, yang mereka takuti adalah Artidjo Alkostar bukan hukumnya?

Artinya itu belum menjadi sistem, baru melihat ke sosok personal. Saya memang mengharapkan itu menjadi budaya yang melembaga. 

12. Anda kecewa melihat mereka mengajukan Peninjauan Kembali?

Oh, gak (merasa kecewa). Saya kan tidak memiliki kewenangan lagi. Saya tidak berhak untuk kecewa, karena itu sudah jadi tugas penegak hukum. 

Sepanjang saya lihat, Mahkamah Agung masih berhati-hati dalam memutus PK yang kasusnya diputus oleh saya. Jarang lah hakim agungnya kemudian membebaskan. 

Baca Juga: Cerita Artidjo Alkostar Tolak Tawaran Uang Suap dari Pengusaha

Topik:

  • Sunariyah
  • Bayu Aditya Suryanto
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya