Yasonna Ingin Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura Segera Diratifikasi

Salah satu buron yang ingin dibidik yakni kasus BLBI

Jakarta, IDN Times - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan pemerintah terus berkomunikasi dengan DPR agar perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura bisa segera diratifikasi. Perjanjian itu sudah dinegosiasikan dengan Negeri Singa selama 24 tahun.

Salah satu faktor yang menghalangi perjanjian itu diratifikasi oleh anggota DPR lantaran Singapura menggandengkan kesepakatan tersebut dengan perjanjian di bidang pertahanan dan keamanan (DCA). 

"Pemerintah akan mendorong percepatan proses ratifikasi. Kami percaya seluruh pihak akan memiliki pandangan yang sama," ungkap Yasonna ketika menghadiri rapat kerja dengan Komisi III di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (2/2/2022), yang disiarkan kanal YouTube DPR RI.

Ia menambahkan perjanjian yang diteken di Bintan, Riau, pada 25 Januari 2022, itu memiliki manfaat yang besar bagi Indonesia untuk mengejar pelaku tindak pidana. Salah satunya adalah pelaku kejahatan kerah putih seperti korupsi. 

Menteri yang merupakan politikus PDI Perjuangan itu juga menyebut selama ini upaya pemerintah untuk memboyong buronan ke Singapura kerap kandas, karena ketiadaan perjanjian bilateral. Yasonna mengatakan perjanjian ekstradisi pada dasarnya mengatur tata cara penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan. 

Perjanjian itu juga mengatur bentuk tindak kejahatan yang dapat dimasukan ke dalam kesepakatan ekstradisi. Sesuai hasil kesepakatan Indonesia dan Negeri Singa, ada 31 tindak pidana yang ditulis di sana. Termasuk di dalamnya tindak pidana pencucian uang (TPPU), tindak pidana pendanaan terorisme dan korupsi. 

Ia sempat menyinggung kasus yang ingin dibidik dengan adanya perjanjian ekstradisi itu adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Yasonna mengatakan aparat penegak hukum dapat memanfaatkan perjanjian ekstradisi untuk mengejar obligor dan debitur yang mengalihkan aset jaminan BLBI. 

Tetapi, benarkah dengan perjanjian ekstradisi benar-benar bisa membidik obligor pengemplang dana BLBI?

1. Yasonna yakin bisa memburu pelaku tindak kejahatan masa lalu karena ekstradisi berlaku surut 18 tahun

Yasonna Ingin Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura Segera DiratifikasiMenteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ketika menggelar rapat kerja dengan komisi III pada Rabu, 2 Februari 2022 (Tangkapan layar YouTube Komisi III)

Yasonna menambahkan pelaku tindak kejahatan yang terjadi di masa lalu, termasuk pengemplang BLBI masih bisa diboyong dengan perjanjian ekstradisi. Sebab, perjanjian ekstradisi itu bersifat retroaktif atau berlaku surut 18 tahun. Sebelumnya, kesepakatan tersebut berlaku surut 15 tahun. 

"Jika perjanjian ekstradisi ini selesai diratifikasi dan disahkan menjadi undang-undang, maka penegak hukum dapat langsung memanfaatkan mekanisme ini untuk mengejar pelaku tindak pidana," kata Yasonna. 

Ia mengatakan pemerintah pusat akan memberikan upaya terbaik untuk membantu menangani permohonan yang disampaikan. 

"Pemerintah tentunya memiliki berbagai pertimbangan dan telah melakukan inventarisasi kepentingan dalam melakukan negosiasi untuk mengubah masa retroaktif menjadi 18 tahun," tutur dia. 

Ia mengatakan, meski perjanjian ekstradisi ditandatangani dengan dua kesepakatan lain yakni pelayanan ruang navigasi udara (FIR) dan DCA, tetapi kesepakatan tersebut dinegosiasikan masing-masing. Proses ratifikasinya pun, kata dia, akan dilakukan terpisah. 

Pernyataan Yasonna itu berbeda dengan yang disampaikan Perdana Singapura Menteri Lee Hsien Loong kepada media Singapura. Dalam pemberian keterangan pers pada 25 Januari 2022 lalu, Lee menyebut ketiga kesepakatan itu dijadikan satu alias bundle

Baca Juga: Ahli: Ekstradisi dengan Singapura Tak Ampuh untuk Boyong Koruptor BLBI

2. Kejaksaan Agung akan gunakan perjanjian ekstradisi untuk buru 247 buronan

Yasonna Ingin Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura Segera DiratifikasiIlustrasi gedung Kejaksaan Agung RI (Istimewa)

Sementara, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, mengatakan perjanjian ekstradisi yang diteken Indonesia dan Singapura bakal memudahkan instansinya dalam memburu buronan. Kejagung saat ini memiliki daftar berisi 247 buronan yang hendak diburu, sebagian di antaranya diduga berada di Singapura.

Febri menyebut buronan itu melakukan berbagai tindak pidana kejahatan, termasuk korupsi. "DPO (Daftar Pencarian Orang) di Jampidsus ada 247 buronan. Jadi, DPO itu ada juga (yang menyangkut) perkara pajak, hingga pabean. Jadi, bukan hanya tindak pidana korupsi saja," kata Febrie seperti dikutip dari kantor berita ANTARA.

Meski begitu, Kejagung belum bisa memprediksi berapa banyak buronan dari 247 DPO itu yang bersembunyi di Singapura. "Umpanya (mereka bersembunyi) di Singapura, sama sini (Pemerintah Indonesia) belum terindikasi. Namanya DPO kan pasti (bersembunyi) di satu tempat," tutur dia lagi.

Meski sebagian orang, perjanjian ekstradisi bukan kartu ajaib untuk bisa memulangkan semua buronan, Febrie menyebut dengan adanya kesepakatan itu bisa memudahkan pihaknya masuk ke Negeri Singa. 

"Jadi, lebih mudah bagi kami untuk bekerja sama dengan pihak Singapura," ujarnya.

3. Perjanjian ekstradisi hanya bisa boyong pelaku tindak kejahatan pada periode 2004 hingga 2022

Yasonna Ingin Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura Segera DiratifikasiPakar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Guru besar hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, menjelaskan perjanjian ekstradisi yang diteken Pemerintah RI dengan Singapura pada 25 Januari 2022 tidak punya taji untuk memboyong pulang tersangka kasus pengemplang dana BLBI. Hal itu lantaran kesepakatan tersebut hanya bisa berlaku surut atau retroaktif hingga 18 tahun. Artinya, pelaku tindak kejahatan yang buron dan bisa dibawa pulang yang terjadi pada periode 2004 hingga 2022. 

Hikmahanto menegaskan perjanjian ekstradisi dengan Singapura lebih efektif seandainya diratifikasi pada 2007 lalu di Bali. Sebab, pemerintah bisa memboyong semua buron yang melakukan tindak kejahatan mulai dari tahun 1992 hingga 2007. Ini berarti, tersangka pengempang dana BLBI yang buron di Negeri Singa pun masih bisa diboyong balik ke Tanah Air.

"Ketika 2007 lalu , kenapa dibuat retroaktif 15 tahun karena fokusnya buat BLBI. Supaya mereka yang melakukan tindak kejahatan kerah putih di BLBI itu bisa terjangkau. Apalagi banyak dari mereka kemudian beralih kewarganegaraan menjadi WN Singapura," ungkap Hikmahanto ketika dihubungi IDN Times pada Sabtu, 29 Januari 2022.

"Sekarang, seandainya perjanjian ekstradisi itu diratifikasi 2022 lalu dikurangi masa retroaktif 18 tahun, apakah pemerintah dapat menjangkau tersangka-tersangka itu?" lanjutnya. 

Dia mengaku kecewa karena perjanjian ekstradisi itu digandengkan dengan kesepakatan pertahanan (DCA) dan tata kelola navigasi udara (FIR). Oleh sebab itu, Hikmahanto menyebut narasi yang disampaikan pemerintah usai pertemuan dengan PM Lee Hsien Loong di Bintan adalah euforia semata. 

"Ini kok perjanjian yang sama malah diulang lagi? Ini masalah kedaulatan loh, karena DCA itu kita kasih area berlatih militer untuk Singapura," katanya.

Baca Juga: RI Teken Ekstradisi dengan Singapura, Demokrat: Jangan Euforia Dulu

Topik:

  • Jihad Akbar

Berita Terkini Lainnya