Keppres No 2 Tahun 2022, Meluruskan Sejarah Serangan Umum 1 Maret
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakkan Kedaulatan Negara, memiliki arti yang penting bagi sejarah Indonesia. Dalam Keppres tersebut, sejarah tentang Serangan Umum 1 Maret 1949, dilengkapi dengan menonjolkan peran dari sejumlah tokoh sentral.
Selama ini, publik disuguhkan dengan historiografi dari Serangan 1 Maret yang berpusat pada satu tokoh sentral. Padahal, sejumlah tokoh negara yang berpengaruh dalam proses kemerdekaan Indonesia, punya peran besar.
Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX, ternyata sangat besar.
Baca Juga: Mengenang Sejarah Serangan Umum 1 Maret lewat Wayang Sinema
1. Belanda yang tak patuh hasil diplomasi
Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan peristiwa nasional yang penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Ini merupakan ujung dari peristiwa sejarah di masa sebelumnya, pascaproklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Usai kemerdekaan diproklamirkan, Belanda sebenarnya belum mengakui kemerdekaan Indonesia. Sampai, pada akhirnya terjadi Agresi Militer Belanda I dan II, yang memancing perlawanan dari pemerintah Indonesia.
Situasi memanas, memancing Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa turun tangan. Sejumlah perjanjian seperti Linggarjati hingga Renville, digelar. Namun, hasilnya nihil karena Belanda tetap saja melancarkan agresi.
2. Gagasan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Akibat situasi yang tak menentu, Sidang Kabinet digelar pada 19 Desember 1948, menyusul ditangkapnya Sukarno, Hatta, dan sejumlah tokoh sentral lainnya. Sidang Kabinet digelar demi menyusun kesepakatan.
Editor’s picks
Salah satunya adalah memberi kuasa kepada Menteri Pertahanan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk menangani masalah keamanan dan ketertiban di Yogyakarta, yang kala itu berstatus ibu kota negara.
Dengan kuasa yang diberikan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mencari cara untuk bisa mengusir Belanda dari Yogyakarta. Hingga akhirnya, pada awal Februari 1949, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendengar PBB membahas nasib Indonesia di sidangnya.
Materi Indonesia langsung direspons Sri Sultan Hamengku Buwono IX lewat diskusi dengan Jenderal Sudirman. Kala itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX melayangkan ide buat melayangkan serangan secara serentak dari segala penjuru, melibatkan seluruh komponen Hankam Indonesia, TNI, Polisi, Laskar, hingga masyarakat.
Tepat di pukul 06.00, 1 Maret 1949, kala jam malam resmi berakhir, serangan dilakukan. Akibat efek kejut yang diberikan, Belanda takluk. Yogyakarta berhasil diduduki selama enam jam.
Kabar ini disiarkan lewat radio dan didengar oleh seluruh dunia. Negara-negara boneka bentukan Belanda yang ada di wilayah Indonesia pun berbalik. Mereka akhirnya mendukung pemerintahan Indonesia yang sah.
Baca Juga: Latar Belakang dan Aksi di Balik Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949
3. PBB bereaksi, Belanda menyerah
Dewan Keamanan PBB pun bereaksi. Mereka mendesak Belanda agar mau berunding dengan Indonesia. Pun, Amerika Serikat yang punya kuasa besar di PBB, mendesak agar Belanda mau berunding, jika tidak sanksi ekonomi diberlakukan.
Akhirnya, Belanda setuju berunding dengan Indonesia dan Perjanjian Roem-Royen muncul di 7 Mei 1949, berlanjut ke Konferensi Meja Bundar, 23 Agustus hingga 2 November 1949.
Lewat Konferensi Meja Bundar, Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia. Upacara pengakuan digelar pada 27 Desember 1949. Kala itu, Ratu Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia kepada Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
"Keppres dan naskah akademiknya akhirnya memunculkan banyak tokoh yang memang berperan dalam pergerakan kemerdekaan. Penandatanganan kedaulatan, yang ternyata, terkadang kita gak tahu mereka punya peranan di situ. Lewat Keppres dan naskah akademiknya ini kan jadi terlegitimasi. Pada akhirnya, jasa mereka dinaikkan ke permukaan," kata Dosen Sejarah IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Aditia Muara Padiatra, kepada IDN Times.