Dari Kemadang ke Timbanuh Tegakkan Kesetaraan Cegah Kekerasan Seksual

Kemadang menempatkan perempuan dan anak di garda terdepan

"Kemadang Menuju Kalurahan Wisata Ramah Anak Bebas Kekerasan dan Eksploitasi Anak". Tulisan itu terbentang di gapura pintu masuk desa, menyambut siapa pun yang datang. Tepat di sebelah kiri gapura, berdiri kantor kepala desa Kemadang. Kemadang merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.

Desa ini cukup jauh dari kota. Jarak tempuh ke ibu kota kabupaten/kota 17 km. Sedangkan jarak tempuh ke jantung kota Provinsi Yogyakarta 60 km.

Kendati berada jauh di penghujung selatan Pulau Jawa, tepatnya di Yogyakarta, anugerah alam berupa pantai-pantai berpasir putih yang menghadap ke Samudra Hindia dan juga hutan rindang yang belum banyak terjamah, membuat desa ini ramai dikunjungi wisatawan penikmat alam.

Sebagai desa yang kini menjadi salah satu tujuan wisata bahari, Desa Kemadang dikunjungi banyak orang. Termasuk dari luar Yogyakarta. Saat musim libur Lebaran pertengahan Mei 2022 lalu, rombongan bus-bus besar memadati tempat-tempat parkir di Pantai Kukup, Pantai Baron, Pantai Sepanjang, Pantai Watu Kodok dan pantai lainnya. Tampak penumpang bus, laki-laki perempuan, tua muda berhamburan keluar bus menjejakkan kaki mereka di pasir dan menghirup segarnya udara laut selatan.

Menjadi salah satu desa tujuan wisata membuat Desa Kemadang dilimpahi banyak dampak positif. Salah satu yang terlihat jelas adalah hidupnya perekonomian yang mendongkrak pendapatan masyarakat. Seorang warga bernama Pariati mengungkapkan, dulu sebelum desanya ramai, dia berjualan es dawet dengan pendapatan ala kadarnya. Kini, bersama warga lainnya, dia berjualan aneka makanan di pinggir pantai untuk para pelancong. Dengan tersenyum lebar, perempuan 57 tahun ini mengaku kehidupan keluarganya saat ini lebih baik.

"Sudah ada perkembangan, ramai, ramai terus meningkat (pendapatan), sangat membantu," ujar Pariati kepada IDN Times, Kamis 12 Mei 2022.

Kemajuan desa ini juga terlihat dari jalan-jalan aspal yang mulus, bahkan hingga masuk ke area pantai. Bangunan-bangunan di sepanjang jalan dari pintu masuk desa dicat warna biru laut, seolah memberi ciri khas Desa Kemadang.

Meski mendapat banyak manfaat, tapi desa ini juga dibayang-bayangi berbagai dampak negatif akibat majunya sektor pariwisata, seperti eksploitasi dan kekerasan seksual yang rentan menimpa anak dan perempuan.

Namun, ternyata pemimpin di desa ini sudah jauh-jauh hari telah mengantisipasi, mencegah terjadinya hal-hal negatif tersebut. Salah satu yang dilakukan adalah dengan mencanangkan Desa Kemadang menjadi Desa Ramah Anak, Bebas Kekerasan dan Eksploitasi Anak. Tidak hanya itu, desa ini juga ditetapkan menjadi desa berspektif gender.

Kepala Desa Kemadang Sutono mengatakan, mencanangkan desanya menjadi desa ramah anak sejak 2010. Tujuannya tak lain untuk melindungi semua anak di desanya.

"Karena anak itu punya hak, hak itu jangan dirampas, kadang-kadang hak anak itu dirampas," ujar Sutono Kepada IDN Times, Minggu 29 Mei 2022.

Sementara sebagai desa berspektif gender, Sutono menjelaskan, semua kegiatan di Desa Kemadang wajib melibatkan perempuan.

"Apapun kegiatannya, 30 persen harus melibatkan perempuan di semua kegiatan, peran dari perempuan itu sangat banyak untuk pembangunan daerah kami dan harus dilindungi," ujar Sutono yang menjadi kepala desa Kemadang tiga periode sejak 2007-2025, dan tidak bisa lagi dipilih karena terbentur undang-undang.

Baca Juga: Korban Kekerasan Seksual Dapat Perlindungan Saat Melapor

Perempuan dan anak di garda terdepan

Dari Kemadang ke Timbanuh Tegakkan Kesetaraan Cegah Kekerasan SeksualPara perempuan di Desa Kemadang bersiap mengikuti rapat kegiatan desa (IDN Times/Sunariyah)

Apa yang disampaikan Sutono bukan isapan jempol semata. Saat IDN Times berkunjung ke kantor Kepala Desa Kemadang pada Kamis 12 Mei 2022 lalu, tampak sekelompok ibu-ibu berkerumun di selasar kantor kepala desa. Berdandan rapi, ibu ibu yang tampak lebih tua kompak mengenakan batik berwarna kuning, sementara ibu-ibu yang lebih muda mengenakan seragam batik cokelat.

Menjelang azan zuhur, para perempuan berbaju batik dengan kerudung aneka warna terus berdatangan ke kantor desa. Beberapa di antara mereka menenteng tas berisi dokumen-dokumen.

Seorang ibu berbaju batik cokelat bernama Ifa mengatakan, para ibu berkumpul di kantor desa untuk mengikuti kegiatan dan sosialisasi terkait program kesehatan. Perempuan 31 tahun ini mengungkapkan, para ibu yang berkumpul di kantor desa merupakan kader dan perwakilan dari setiap padukuhan di Desa Kemadang.

Padukuhan merupakan pembagian wilayah administrasi di Yogyakarta, yang berada langsung di bawah desa atau kelurahan. Selanjutnya di bawah Padukuhan ada RW dan RT.

Di samping Ifa, duduk Pariati yang mengenakan batik warna kuning. Ifa mengaku merupakan perwakilan dari Padukuhan Pucung. Ifa dan Pariati mengungkapkan, para perempuan di desanya aktif mengikuti berbagai kegiatan, begitu juga remaja dan anak-anak.

Dengan aktifnya semua warga, dari anak-anak hingga orang dewasa dalam berbagai kegiatan, kedua ibu itu mengatakan, hampir tidak ada orang yang menganggur tak punya kegiatan di Desa Kemadang. Dari anak-anak, mereka punya sanggar-sanggar tempat belajar dan bermain untuk menggali potensi mereka. Bahkan ada Forum Anak yang rutin digelar di desa untuk mendengar suara dan masukan dari anak-anak.

Begitu juga para remajanya, mereka terlibat dalam karang taruna dan berbagai kelompok masyarakat yang telah lama dibentuk, seperti kelompok anti kekesarasan dan trafficking, kelompok sadar wisata, kelompok napza, kelompok dasawisma, kelompok belajar, dan kelompok lainnya.

Sementara orang dewasa, selain sibuk di kegiatan ekonomi, juga aktif menjadi wali-wali sanggar, pengajar, pembimbing dan anggota kelompok-kelompok masyarakat tersebut.

Ifa dan Pariati contohnya. Kedua ibu ini sehari-hari berjualan makanan di pinggir pantai, namun juga aktif menjadi perwakilan padukuhan dan kader kelompok dasawisma.

Kepala Desa Sutono mengatakan, dia telah mengikutsertakan anak-anak dalam musyawarah desa sejak 2013. "Karena anak-anak itu punya hak untuk bersuara," ujarnya.

Dari upaya melibatkan anak-anak dalam musyawarah dan aktifnya Forum Anak, maka terbentuklah aneka sanggar dan tempat bermain di Desa Kemadang, sesuai permintaan anak.

IDN Times sempat melihat salah satu sanggar di Padukuhan Karang Lor 1. Namun siang selepas azan zuhur itu, suasana di bangunan bercat biru itu masih sepi. Hanya terlihat white board besar menempel di tembok dan informasi lainnya. Kursi-kursi dan meja kayu bersandar rapi di sepanjang tembok. Pada Kamis siang, 12 Mei 2022 itu, anak-anak di Kemadang masih menikmati hari-hari pertama mereka masuk sekolah, usai libur panjang.

Dengan aktifnya semua warga di berbagai lini kehidupan, Pariati dan Ifa serentak mengatakan, desanya aman dan jauh dari gangguan dan masalah-masalah yang meresahkan.

Keduanya memastikan tidak pernah ada kejadian kekerasan seksual apalagi eksploitasi yang menimpa anak dan perempuan di Desa Kemadang. Begitu juga, tak ada masalah kenakalan anak dan remaja, serta kriminal lainnya.

"Rasanya aman-aman aja, enak-enak aja, santai, yang penting inget sama larangan-larangan, kita beritahu ke anak-anak, beritahu ke tetangga," ujar Pariati yang merupakan perwakilan dari Padukuhan Kayubimo.

Pariati dan Ifa bisa memastikan tidak pernah terjadi kasus kekerasan seksual dan juga masalah lainnya, karena keduanya merupakan perwakilan padukuhan yang bertanggung jawab mengetahui kondisi di padukuhan mereka.

Menurut Ifa, yang baru dikaruniai satu anak usia balita, setiap masalah yang timbul di warga desa pasti cepat diketahui. Sebab, warga yang tergabung dalam kelompok-kelompok masyarakat bertugas juga memantau kondisi di lingkungan mereka. Bila terjadi suatu masalah, akan diselesaikan oleh RT, RW dan Padukuhan. Selanjutnya dibawa ke tingkat desa bila masalah itu harus melibatkan perangkat desa.

Mendidik warga, membangun rasa peduli untuk kemajuan desa

Dari Kemadang ke Timbanuh Tegakkan Kesetaraan Cegah Kekerasan SeksualKepala Desa Kemadang Sutono (IDN Times/Sunariyah)

Di tempat terpisah, Sutono mengatakan, itulah tujuannya membentuk berbagai kelompok masyarakat dan melibatkan semua warga desanya di kelompok-kelompok tersebut. Bukan semata hanya untuk meningkatkan taraf hidup warga, tapi juga agar warga peduli pada desanya dengan ikut mengawasi langsung semua kejadian, hingga desa tetap aman dan semakin maju.

"Seperti kelompok sadar wisata (pokdarwis), itu kita buat masing-masing (anggota) bertugas di pantai, ini kelompok resmi ada SK mereka. Tugasnya menciptakan sapta pesona dan memantau kejadian di desa, bekerja sama dengan dukuh sampai RT. Begitu juga kelompok-kelompok dasawisma, itu anggotanya perempuan," papar Sutono.

"Yang penting kepedulian warga desa, kami selalu sampaikan di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Remaja-remaja menjadi garda terdepan untuk memotivasi," ujarnya.

Karena itulah, lanjut Sutono, tidak ada masalah signifikan yang terjadi di desanya yang dihuni 7.628 warga dengan 2.519 kepala keluarga. "Damai-damai saja. Semuanya (elemen desa) berfungsi. Itu wajib kerja sama aparat (desa) dan warga."

Bila ada masalah, ucap pria 56 tahun ini, akan diselesaikan lebih dulu di padukuhan, baru kemudian di desa. Sedangkan bila ada aturan-aturan yang akan diterapkan, disampaikan ke padukuhan dulu baru kemudian ke unit-unit terkecil di masyarakat. Para kader dan anggota kelompok-kelompok masyarakat berkewajiban memberitahu warga di wilayahnya, termasuk ke dalam keluarga.

Aktifnya semua kelompok masyarakat, membuat Desa Kemadang tumbuh menjadi desa maju dengan ekonomi yang terus berkembang khususnya dari sektor pariwisata. Dengan kemajuan ini, Desa Kemadang berhasil mengurangi angka pengangguran, angka putus sekolah, dan menekan tingkat urbanisasi. Desa ini juga sukses mengurangi angka perkawinan anak. Pariati dan Ifa mengatakan, perkawinan usia anak sudah jarang terjadi.

"Kalau di sini jarang anak putus sekolah, minimal SMA, soalnya pendidikan diutamakan. Kalau ada anak tidak mampu aja, pemerintah perhatikan bagaimana menyekolahkan anak dari keluarga tidak mampu, ada bantuannya, jadi gak ada yang namanya putus sekolah," ujar Pariati yang mengaku punya 2 anak perempuan dan telah dikaruniai cucu yang saat ini masih sekolah di SMA dan SMP.

"Nikah di bawah umur juga jarang, anak-anak remaja banyak kegiatan di sanggar, dari anak sampai dewasa," lanjutnya.

Kegigihan, kepedulian serta kerja sama yang baik antara perangkat desa dan warga untuk memajukan dan menjaga desa, membuat Desa Kemadang diganjar banyak penghargaan. Sebagai desa ramah anak yang telah diakui pemerintah, Kemadang pernah dikunjungi oleh UNESCO. Sejak 2013, Desa Kemadang juga menjadi desa percontohan dan tempat studi banding desa-desa di Indonesia, dari Aceh sampai NTT.

Selain meraih gelar sebagai desa ramah anak, desa mandiri, desa sadar hukum, desa berspekfif gender, dan desa terbaik se-DIY, dalam waktu dekat Desa Kemadang juga akan dicanangkan menjadi desa tangguh tsunami oleh BMKG dan UNESCO.

Karena itu, tak heran jika para perempuan di desa ini pun telah mengetahui ada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Meski baru disahkan pada 12 April 2022 lalu oleh DPR, Pariati dan Ifa mengaku telah mendapat sosialisasi mengenai UU tersebut.

"Pernah ada sosialisasi di sini (kantor desa), ya untuk melindungi anak dan perempuan dari kekerasan seksual," ujar Ifa.

Saat ini, kata Ifa, Desa Kemadang tengah bersiap untuk melaksanakan UU TPKS. Para kader dan perwakilan dari setiap padukuhan, telah diberi pelatihan di antaranya pelatihan Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), dan Bina Keluarga Lansia (BKL).

"Sudah tahu (ada UU TPSK), diberi pelatihan-pelatihan, diberi sosialisasi, diberitahu sumbernya, untuk laporan-laporannya itu dari bawah RT, RW, dukuh baru ke desa," beber Ifa.

Baca Juga: Layanan Kekerasan Seksual dan UU TPKS Diharap Sampai ke Daerah Pelosok

Indonesia darurat kekerasan seksual, penting kehadiran UU TPKS

Dari Kemadang ke Timbanuh Tegakkan Kesetaraan Cegah Kekerasan SeksualInfografis Perjalanan RUU TPKS untuk jadi Undang-Undang (IDN Times/Aditya Pratama)

UU TPKS disahkan oleh DPR pada 12 April 2022. Sebelum disahkan, Undang-Undang ini telah melewati jalan panjang. Bagaimana tidak, undang-undang ini sudah diinisiasi sejak 2012 oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), drafnya pun sudah masuk ke DPR sejak 2016. Namun baru disahkan menjadi undang-undang pada 12 April lalu.

"Dua belas (12) April itu adalah titik dari perjalanan panjang perjuangan RUU TPKS yang kemudian diketok palu menjadi UU TPKS," ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Chadidjah Salampessy dalam webinar "Mengawal UU TPKS di Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak", yang digelar Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), 25 April 2022.

Olivia mengatakan, UU TPKS terdiri dari 12 bab dan 93 pasal. UU ini didorong untuk dibuat karena angka kekerasan seksual yang terus bertambah dan semakin banyaknya korban bersuara.

Seperti dikatakan Olivia, kasus kekerasan seksual di Indonesia merupakan fenomena gunung es. Angkanya terus bertambah dan banyak di antaranya tidak dilaporkan. Menurut hasil penelitian Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) 2020, tercatat 57,3 persen masyarakat korban kekerasan seksual memilih untuk tidak melapor apa yang dialami dengan alasan takut dan malu.

Berdasarkan CATAHU (catatan tahunan) 2022 Komnas Perempuan, terdapat 338.496 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) yang diadukan langsung ke komnas perempuan, lembaga layanan, dan Badilag selama 2021.

Jumlah tersebut, seperti dikutip dari komnasperempuan.go.id, naik signifikan 50 persen di banding pada 2020 yang berjumlah 226.062. Data pengaduan ke Komnas Perempuan juga meningkat signifikan sebesar 80 persen, dari 2.134 kasus pada 2020 menjadi 3.838 kasus pada 2021.

Sementara itu berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simponi PPPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlinduangan Anak (Kemen PPPA), selama 2021 terdapat 25.210 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaporkan, dan jumlah korban 27.127 orang.

Adapun berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021, dalam 12 bulan terakhir 3 dari 10 anak perempuan usia 13-17 dan 2 dari 10 anak laki-laki usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun.

Khusus untuk kekerasan seksual, dalam 12 bulan terakhir sebanyak 4,57 persen anak perempuan usia 13-17 tahun di perkotaan mengalaminya, sedangkan anak laki-laki 1,58 persen. Sementara di pedesaan, 4,26 persen anak perempuan dan 2,30 persen anak laki-laki mengalaminya.

Data kekerasan seksual yang menimpa anak juga dipaparkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Berdasarkan data Pelanggaran Hak Anak Tahun 2021 yang dipublikasikan di laman kpai.go.id, pada 2021 terdapat 536 kasus atau 62 persen anak menjadi korban pencabulan, 285 kasus atau 33 persen anak menjadi korban kekerasan seksual pemerkosaan/persetubuhan, 29 kasus atau 3 persen menjadi korban pencabulan sesama jenis, dan 9 kasus atau 1 persen menjadi korban kekerasan seksual pemerkosaan/persetubuhan sesama jenis.

Dengan data-data tersebut, Olivia menyebutkan, "bahwa negara kita ini sebenarnya sudah darurat kekerasan seksual."

Untuk mengatasi masalah ini, memberi perlindungan bagi korban sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 maupun peraturan lainnya, pemerintah berusaha hadir dengan disahkannya UU TPKS.

"UU TPKS sebagai kabar bahagia bagi seluruh perempuan dan anak di Indonesia. UU TPKS sangat komprehensif dari hulu sampai hilir, termasuk di dalamnya terdapat substansi baru yang berspektif pada korban," ujar Staf Ahli Bidang Penanggulangan Kemiskinan Kemen PPPA Titi Eko Rahayu dalam webinar "Mengawal UU TPKS di Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak".

Menghidupkan fungsi semua elemen masyarakat untuk cegah kekerasan seksual

Dari Kemadang ke Timbanuh Tegakkan Kesetaraan Cegah Kekerasan Seksual15 Bentuk Kekerasan Seksual Menurut Komnas Perempuan (IDN Times/Aditya Pratama)

Olivia menjelaskan, ada 6 elemen kunci dalam UU TPKS. Pertama tentang tindak pidana kekerasan seksual, kedua ada ketentuan pidana, lalu hukum acara pidana khusus, hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan, pencegahan, koordinasi dan pemantauan.

Adapun yang termasuk dalam tindak pidana kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Di dalam Pasal 4 ayat (2) UU TPKS juga diatur lebih rinci terkait tindak pidana kekerasan seksual lainnya, yakni pemerkosaan, perbuatan cabul, eksploitasi seksual terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, pornografi yang melibatkan anak atau secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual dalam rumah tangga, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual, dan tindak pidana lain yang dinyatakan sebagai kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.

UU TPKS juga mengatur mengenai restitusi dan kompensasi hingga dana bantuan untuk korban. Sementara bagi pelaku, terdapat sanksi berupa ancaman kurungan penjara maksimal 12 tahun hingga denda Rp1 miliar, bergantung pada bentuk pelecehan seksual yang dilakukan.

Tidak hanya soal penanganan, dalam UU TPKS juga diatur mengenai beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual. Langkahnya yakni melalui pendidikan, sarana dan prasarana publik, pemerintahan dan tata kelola kelembagaan, ekonomi dan ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial, budaya, teknologi informatika, keagamaan dan kekeluargaan.

Desa Kemadang menjadi salah satu desa yang berhasil mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual dengan menghidupkan fungsi-fungsi desa dan memperkuat partisipasi semua elemen masyarakat, termasuk pemuda, perempuan dan anak-anak, hingga tumbuh kesadaran semua warga untuk peduli membangun dan menjaga desa mereka.

"Ini mengibaratkan semua (elemen desa) harus berfungsi, kalau tidak, tidak bisa jalan," ujar Kepala Desa Kemadang Sutono.

Dia mengatakan, pihaknya telah menyosialisasikan UU TPKS bahkan hingga ke tingkat RW dan RT. Dalam waktu dekat ini, pihaknya akan berembuk dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk segera menerapkan UU TPKS.

Menghapus diskriminasi terhadap perempuan untuk percepat pembangunan desa

Dari Kemadang ke Timbanuh Tegakkan Kesetaraan Cegah Kekerasan SeksualGapura pintu masuk Desa Timbanuh (IDN Times/Sunariyah)

Seperti Desa Kemadang, Desa Timbanuh juga berhasil mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual dan berbagai masalah negatif lainnya, meski desa ini tergolong baru dan terpencil.

Desa Timbanuh berada di Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Letak desa ini persis di pintu masuk menuju Taman Nasional Gunung Rinjani dan menjadi desa terakhir yang memisahkan antara Gunung Rinjani dan permukiman penduduk. Karena itu, Desa Timbanuh menjadi salah satu jalur pendakian ke Gunung Rinjani.

Karena letaknya di atas gunung, jarak dari desa ke kota kecamatan 9 km. Sedangkan jarak desa ke kota kabupaten/kota 23 km. Sementara jarak desa ke ibu kota provinsi, Mataram, 79 km. Tidak ada kendaraan umum menuju desa ini.

Kepala Desa Timbanuh Muhammad Ilham mengatakan, desanya merupakan desa hasil pemekaran yang baru terbentuk pada 2011. Ilham sendiri yang kini berusia 42 tahun, diangkat menjadi kepala desa berdasarkan keputusan warga pada Juni 2012.

Meski belum memiliki sarana dan prasarana lengkap seperti desa lainnya, Ilham berusaha keras memajukan desanya dengan tidak menggantungkan hidup hanya dari hasil hutan. Dia juga mengajak semua warga terlibat dalam setiap kegiatan dan fungsi desa, termasuk perempuan dan anak-anak. Bahkan, Ilham menghapus diskriminasi terhadap perempuan dengan menempatkan posisi mereka sejajar dengan laki-laki.

"Perempuan dan laki-laki sejajar. Perempuan juga memelihara sapi, menyabit rumput. Banyak ibu-ibu di sini penghasilannya malah lebih besar dari suaminya," ujar Ilham yang ditemui IDN Times, Senin 9 Mei 2022 di Desa Timbanuh.

Untuk meningkatkan kehidupan ekonomi warga, Ilham yang sebelumnya merupakan tukang batu dan hidup susah seperti warga desa lainnya, mempelajari ilmu berternak sapi dan kemudian mengajarkan warganya. Dia juga terus bereksperimen mencari tanaman bernilai tinggi, selain kopi, yang cocok ditanam di Desa Timbanuh yang berada di ketinggian 625-810 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan tinggi dan rata-rata suhu harian 22 derajat celcius.

Berkat ketekunan, kerja keras, dan kemauan serta kerja sama yang erat antara perangkat desa dan warga, Ilham dan warganya kini mulai merasakan hasilnya. Sejak 2016, Desa Timbanuh tumbuh menjadi desa penghasil alpukat berkualitas tinggi, yang setiap hasil panennya dikirim ke Pulau Jawa. Bahkan, Ilham dan warganya berhasil mengembangkan varian baru alpukat unggulan yang diberi nama Marta Green.

Tingginya permintaan buah alpukat dari Pulau Jawa membuat semua halaman rumah warga, kebun-kebun warga ditanami pohon alpukat. Tidak berhenti di alpukat, Ilham memberdayakan warganya dengan program Pagar Berlapis, di mana selain mengembangkan alpukat juga tanaman lain seperti kopi, vanili, cengkeh, porang dan beternak sapi.

Menurut Ilham, setiap rumah di desanya paling sedikit memelihara dua ekor sapi.
"Dari 800 KK (kepala keluarga) hanya sekitar 70 KK yang tidak beternak," ucapnya.

Kegiatan beternak rata-rata dilakukan oleh perempuan dan anak-anak muda. Para perempuan juga lah yang mencari dan menyabit rumput untuk sapi-sapi mereka. Dari kegiatan beternak inilah para ibu memiliki penghasilan yang bahkan bisa melampui pendapatan suami mereka. Selain beternak, para perempuan di desa ini diberdayakan dengan membuat berbagai industri rumahan seperti keripik pisang, singkong dan lain-lain.

Bagi para pemuda yang tidak memiliki sapi, dipekerjakan di kandang-kandang milik desa, di mana nantinya anak sapi yang lahir sebagian menjadi milik mereka. Namun para pemuda di desa ini, lebih banyak bergiat di tanaman alpukat. Mulai dari pembibitan, penanaman, memetik buah alpukat, memilah, mengepak dan melakukan pekerjaan lainnya hingga alpukat masuk ke truk dan siap dikirim ke Pulau Jawa.

Saat musim alpukat, kata Ilham, bisa 2.000 ton alpukat yang dikirim ke Pulau Jawa. Untuk proses ini membutuhkan banyak tenaga kerja. Karena itu, kini di Desa Timbanuh yang dihuni 2.800 jiwa, sulit mencari warga yang menganggur untuk dijadikan tenaga kerja, karena masing-masing sudah memiliki pekerjaan.

"Semua bekerja, kalau sedang bukan musimnya (alpukat), anak-anak muda keliling ke rumah-rumah warga mencari buah alpukat yang bisa dibeli untuk dikirim," ujar Ilham.

Baca Juga: Laki-Laki Diminta Tak Malu Lapor Jika Alami Kekerasan Seksual  

Strategi Desa Timbanuh mencegah terjadinya kekerasan seksual dan hadirkan rasa aman

Dari Kemadang ke Timbanuh Tegakkan Kesetaraan Cegah Kekerasan SeksualKepala Desa Timbanuh M Ilham (IDN Times/Sunariyah)

Jika para pemuda sibuk bekerja, anak-anak dan remaja perempuan di desa ini lebih fokus sekolah. Perangkat desa telah membuatkan sistem, dimana pagi hingga siang hari anak-anak sekolah, lalu sore hari pergi mengaji. Agama menjadi salah satu pilar penting dalam kehidupan masyarakat Desa Timbanuh.

Dengan sistem tersebut, anak-anak dan remaja tak memiliki banyak waktu untuk keluyuran dan melakukan tindakan negatif lainnya. Dengan cara ini, Timbanuh berhasil menekan angka putus sekolah dan perkawinan anak. Tidak hanya itu, desa ini juga sukses mengurangi minat warganya merantau menjadi tenaga kerja (TKI) di negeri orang.

Ilham mengungkapkan, bila terjadi pelanggaran-pelanggaran dan masalah lainnya, warga dan perangkat desa akan cepat mengetahuinya. Sebab, warga juga digalakkan untuk memantau langsung apapun yang terjadi di lingkungannya. Bahkan para remaja akan diberi upah Rp500 ribu jika mengetahui dan melaporkan ada hal-hal yang mengganggu dan meresahkan warga.

Salah satu strategi yang dilakukan Ilham agar semua informasi dan kegiatan cepat diketahui dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, adalah dengan membatasi jumlah kepala keluarga dalam setiap RT. Satu RT hanya terdiri dari 20-50 KK. Dengan sedikitnya jumlah warga dalam setiap RT, maka semua peristiwa dan keluhan masyarakat mudah diketahui.

Seorang ibu berusia 30-an tahun bernama Susanti mengungkapkan, sejak kecil hingga kini memiliki 3 orang anak, tidak pernah mendengar ada peristiwa kekerasan seksual atau peristiwa-peristiwa buruk lainnya yang terjadi di Desa Timbanuh.

"Gak ada, aman dari dulu," ujar Susanti yang sehari-hari menjadi tukang tambal ban di depan rumahnya, sambil menggendong anak bungsunya saat ditemui IDN Times, 9 Mei 2022 lalu.

Hal yang sama disampaikan Tari. Kepada IDN Times, remaja perempuan yang kini duduk di bangku kelas 2 SMK ini mengungkapkan, desanya aman-aman saja. Tari sendiri sekolah di desa lain yang jaraknya jauh dari rumahnya di Timbanuh. Namun, hal itu tak menyurutkan keinginan Tari untuk sekolah. Hanya satu hal yang sering menghambatnya, tidak adanya transportasi yang membawanya ke sekolah bila keluarganya berhalangan mengantarnya ke sekolah.

Baik Susanti maupun Tari, keduanya mengatakan, warga takut melakukan pelanggaran-pelanggaran karena bisa mudah diketahui oleh kepala desa dan warga lainnya.

Terkait UU TPKS, Ilham mengungkapkan, belum mendapatkan informasi dan arahan dari kecamatan maupun kabupaten. Namun, lanjutnya, bila sudah mendapatkan informasi soal UU TPKS, pihaknya akan segera menindaklanjuti demi membuat warga desanya menjadi lebih aman dan nyaman.

Saat ini, kata Ilham, pihaknya tengah berupaya mencari cara bagaimana mengurangi penggunaan gadget pada anak dan remaja serta mengantisipasi dampaknya, agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.  

Meski belum mencanangkan diri sebagai desa ramah anak, desa berspektif gender dan lainnya, namun langkah-langkah pencegahan yang dilakukan perangkat desa dan warga, membuat Timbanuh terus berkembang dan bebas dari kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.

Hal ini selaras dengan pernyataan Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Chadidjah Salampessy, bahwa tindak pidana kekerasan seksual terjadi karena adanya akar permasalahan budaya patriarki yang masih menguat di masyarakat, yang kemudian menimbulkan relasi kuasa yang timpang. "Relasi kuasa yang timpang inilah yang bisa menyebabkan terjadinya kekerasan seksual," ucapnya.

https://www.youtube.com/embed/qPCx1gDsZQU

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya