Kisah Agustina Mengubah Nasib Anak Pekerja Migran di Pedalaman Sumba

Banyak anak-anak pekerja migran jadi korban kekerasan

Jakarta, IDN Times - Kisah pekerja migran seperti pisau bermata dua. Ada kisah kesuksesan, ada juga kisah yang menguras air mata. Tapi, kisah pekerja migran tidak melulu soal buruh yang bekerja ke negeri orang, tapi juga anak dan keluarga yang mereka tinggalkan.

Di Desa Wee Limbu, Kecamatan Wewewa, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, kisah anak-anak pekerja migran membuat hati menangis. Banyak di antara mereka tumbuh tanpa kasih sayang, dan bahkan mengalami tindak kekerasan dari lingkungan tanpa ada yang memberi perlindungan.

Armiati Bata misalnya. Bocah ini tumbuh tanpa sosok ayah dan ibu di Desa Wee Limbu. Sejak kelas dua SD, ibunya pergi bekerja ke Malaysia. Selang sebulan setelah kepergian ibunya, ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia.

Mendengar kabar meninggalnya sang suami, ibunda Armiati terjatuh ketika bekerja hingga membuatnya menderita gegar otak. Sang majikan kemudian melarang komunikasi dan hingga saat ini, Armiati tidak pernah mendengar kabar berita apapun tentang ibunya.

Derita anak buruh migran yang seolah tiada ujung, membuat seorang perempuan tergerak hatinya untuk menyelamatkan anak-anak tak berdosa itu. Agustina Lingü Lango, demikian nama perempuan 45 tahun itu, berjuang keras memberi masa depan kepada anak-anak buruh migran di pedalaman Sumba.  

Untuk memperingati Hari Buruh Migran Internasional pada Selasa (18/12), sekaligus Hari Ibu 22 Desember, IDN Times bekerja sama dengan Program Peduli mengangkat kisah anak pekerja migran dan usaha Agustina Lingü Lango menyelamatkan mereka.

Baca Juga: Jaringan Buruh Migran: 217 TKI Meninggal Sepanjang 2017

1. Agustina Lingü Lango saksi kekerasan yang dialami anak-anak pekerja migran

Kisah Agustina Mengubah Nasib Anak Pekerja Migran di Pedalaman SumbaProgram Peduli

Kehilangan orangtua bukan satu-satunya masalah yang harus ditanggung anak pekerja migran. Di Sumba Barat Daya, banyak anak-anak pekerja migran yang juga harus menjadi korban kekerasan karena tak ada orangtua yang mengasuh mereka.

Agustina Lingü Lango menjadi saksi kekerasan yang dialami anak-anak pekerja migran (APM).

"Kebanyakan anak-anak yang ditinggalkan ayah ibunya dititipkan di kakeknya, neneknya, tantenya sementara orangtua bekerja di luar negeri," ungkap Agustina.

Anak-anak itu, kata Agustina, kerap mendapat perlakuan atau tekanan dari "keluarga baru" mereka, mulai dari umpatan kasar bahkan pukulan. Akibatnya, anak-anak menjadi cenderung takut bertemu atau berbicara dengan orang lain.

Mereka sulit belajar karena waktunya habis bekerja di kebun, mengambil kayu, dan menjaga ternak. Prestasi belajar di sekolah juga cenderung menurun.

2. Status pernikahan orangtua yang tidak jelas berimbas kepada anak-anak pekerja migran

Kisah Agustina Mengubah Nasib Anak Pekerja Migran di Pedalaman SumbaProgram Peduli

Derita lainnya yang dialami anak-anak pekerja migran adalah status pernikahan orangtua yang banyak tidak jelas. Status pernikahan mereka banyak belum diakui secara adat karena belum melunasi mahar pernikahan atau belis.

Akibatnya, status anak-anak pekerja migran pun tidak jelas. Orangtuanya tidak mungkin memiliki kartu keluarga, padahal keberadaan kartu keluarga menjadi prasyarat pengurusan akta kelahiran, juga Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat, yang dibutuhkan untuk mendapatkan hak mereka atas pendidikan dan kesehatan yang layak.

3. Aksi Agustina menghibur anak-anak pekerja migran

Kisah Agustina Mengubah Nasib Anak Pekerja Migran di Pedalaman SumbaProgram Peduli

Situasi ini membuat Agustina prihatin. Ia lantas meluangkan waktunya mengunjungi anak-anak tersebut di rumahnya, hanya sekedar mengobrol dan menghibur mereka. Kepedulian ini membawanya bertemu dengan YPK Donders, saat lembaga ini melakukan kajian cepat tentang situasi anak-anak buruh migran pada Juni 2015.

Bersama dengan empat kader lainnya, Agustina menerima pelatihan mengenai hak anak, pola pengasuhan yang layak, kepemimpinan, dan pengorganisasian. Mereka juga melakukan pendataan dan memfasilitasi data kependudukan.

"Mereka selama ini memang belum mendapatkan pelayanan. Kami para kader berupaya memenuhi hak-hak mereka," ujar Agustina.

4. Bintang Perubahan untuk anak-anak pekerja migran

Kisah Agustina Mengubah Nasib Anak Pekerja Migran di Pedalaman SumbaProgram Peduli

"Bintang Perubahan" begitulah sebutan untuk Agustina dan kader lainnya yang mendatangi dan mengajak diskusi semua pihak, untuk bekerja sama dan peduli terhadap nasib anak-anak pekerja migran.

Pihak-pihak yang bekerja sama ini termasuk orang tua asuh, tokoh adat dan tokoh masyarakat, juga aparat pemerintah desa. Kerja sama berbagai pihak membuahkan hasil. Sejumlah 80 Kartu Keluarga, 100 Akta Kelahiran, 10 Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar yang diajukan oleh para kader akhirnya dikeluarkan.

Pertemuan multipihak juga melahirkan gagasan bersama untuk menyediakan fasilitas bertemu dan belajar bagi anak-anak pekerja migran yang mereka sebut sebagai Umma Pande.

Umma berarti rumah dan Pande berarti pintar atau cerdas. Rumah yang dibangun dengan gotong royong dengan sumbangan masyarakat ini berbentuk seperti rumah adat Sumba. Umma Pande telah menjadi ruang aman dan nyaman bagi anak-anak.

"Saya mengajar anak-anak [pekerja migran] untuk belajar percaya diri, wawancara, pidato, puisi, menyanyi, dan menari. Itulah ajaran saya selama ini," cerita Agustina.

5. Asa untuk anak-anak pekerja migran

Kisah Agustina Mengubah Nasib Anak Pekerja Migran di Pedalaman SumbaProgram Peduli

Usaha Agustina yang dibantu kader lainnya membuahkan hasil. Kini, setiap jam 3 hingga 5 sore, Umma Pande selalu ramai dengan canda dan tawa anak-anak, termasuk Armiati.

Tidak berhenti di situ, Umma Pande juga memicu lahirnya gagasan untuk mendirikan fasilitas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Peduli pada April 2018, sebagai jawaban atas kondisi banyaknya anak-anak usia 2 hingga 4 tahun yang belum bisa belajar.

Agustina Lingu Lango sendiri kemudian terpilih menjadi satu dari ribuan Pandu Inklusi Nusantara (PINTAR) atas kiprahnya tersebut.

Sesuai dengan sebutannya, Bintang Perubahan, semoga anak-anak dari pekerja migran mendapatkan cahaya terang dari para bintang untuk terus merajut masa depan.

Baca Juga: Kisah Eni Lestari, Aktivis Pejuang Hak Buruh Migran

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya