Kisah Supiah Hapus Trauma Kelam di Dusun Talangsari Lampung

Talangsari di Lampung sempat jadi dusun mati

Jakarta, IDN Times - Peristiwa berdarah yang terjadi pada Februari 1989 lalu di Dusun Talangsari III Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur menyisakan luka dan trauma mendalam bagi warganya. Dampaknya terasa begitu panjang hingga hampir tiga dekade.

Akibat penyerbuan aparat keamanan terhadap kelompok Warsidi di Dusun Talangsari III, banyak korban berjatuhan. Perempuan dan anak-anak disiksa dan banyak rumah warga dibakar. Aparat militer menyerbu kelompok Warsidi karena dituduh melakukan kegiatan subversif, yang akan menggulingkan pemerintahan Soeharto untuk mendirikan negara Islam.

Akibat kejadian itu, warga Dusun Talangsari menutup diri dan tidak berbaur dengan masyarakat lainnya, hingga membuat dusun itu seperti mati. 

Memperingati Hari HAM Internasional yang jatuh pada Senin (10/12), seorang ibu rumah tangga di Dusun Talangsari III bernama Supiah, menceritakan kisahnya bagaimana ia berjuang keras menghidupkan kembali dusunnya, membangun relasi sosial, dan menghilangkan stigma serta diskriminasi yang melekat pada masyarakat, sehingga membuat Dusun Talangsari III, yang kini menjadi Dusun Subing Putra III, kembali berdenyut dan memberi harap. 

Baca Juga: 13 Bukti Nyata Kalau Hak Asasi Manusia Orang Itu Bisa Dirampas dengan Seenaknya

1. Akibat peristiwa masa lalu, Dusun Talangsari III mati karena warga trauma mendalam

Kisah Supiah Hapus Trauma Kelam di Dusun Talangsari LampungProgram Peduli

Supiah adalah seorang ibu rumah tangga di Dusun Talangsari III. Dia bercerita, sebelumnya Talangsari seperti dusun mati. Tidak ada kegiatan, bahkan sebutan "orang-orang lokasi", untuk menyebut para penyintas yang setelah mengungsi kembali tinggal ke Dusun Talangsari III, masih kuat di masyarakat.

Seorang ibu bernama Rasemin, tutur Supiah, bahkan mengalami trauma hingga sekarang. "Sangat tertutup. Kalau ada acara dia sama sekali tidak mau datang. Anaknya meninggal, tidak tahu di mana dikuburkannya," ucap Supiah dalam keterangan tertulis yang diterima IDN Times dari Program Peduli, Minggu (10/12).

Tidak hanya trauma, stigma dan diskriminasi terhadap "orang-orang lokasi" juga berujung pada eksklusi sosial. Mereka tidak diterima masyarakat dan kemudian membuat mereka tidak dapat menikmati fasilitas dan layanan publik seperti umumnya.

"Tahun 2005 saya punya anak, laki-laki masih kecil. Ketika itu ada imunisasi polio. Lantas ada teman yang cerita, 'kenapa semuanya diminta ke sana kok saya nggak? Katanya orang lokasi tidak boleh diajak'. Sudah seperti anak tiri," kenang Supiah.

2. Menolak keadaan, seorang ibu rumah tangga bangkit membangun kembali relasi sosial

Kisah Supiah Hapus Trauma Kelam di Dusun Talangsari LampungProgram Peduli

Supiah tidak tahan melihat kondisi ini. "Saya ingin dusun saya tidak menjadi dusun mati. Dulu kegiatan apapun tidak ada. Tujuh belasan saja tidak ada. Mau lihat apa-apa harus ke desa tetangga," ungkapnya.

Dia pun berjuang keras bagaimana membuat warga kembali berkegiatan dan berbaur dengan masyarakat lainnya.

Pada 2016, Supiah memutuskan tidak tinggal diam melihat kondisi dusunnya dengan relasi sosial yang rusak akibat peristiwa masa lalu. Ia giat mengumpulkan kelompok ibu-ibu dan membentuk kelompok untuk memberdayakan ekonomi mereka.

Meski demikian, upayanya tidak serta merta mudah dan lancar. Penolakan demi penolakan juga kerap ia terima. Namun, ia tetap gigih berjuang.

"Ibu Rasemin itu saya rayu terus. Saya ajak kegiatan, saya jemput dengan motor. Saya ajak pengajian, masak bareng-bareng untuk acara tahlilan dan pengajian. Sekarang dia mau bersatu dan berbaur dengan ibu-ibu yang lain semua," terang Supiah dengan bangga menceritakan perubahan kondisi di dusunnya.

3. Usaha Supiah mengajak warga berinteraksi dan memberdayakan ekonomi mereka

Kisah Supiah Hapus Trauma Kelam di Dusun Talangsari LampungProgram Peduli

Supiah mengajak "orang-orang lokasi" untuk datang di kegiatan pengajian hingga Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), agar terdapat ruang interaksi dan bersosialisasi dengan masyarakat. Melalui ruang dan forum-forum inilah, stigma dan diskriminasi yang melekat perlahan luntur. Relasi sosial kembali terjalin.

Untuk memberdayakan ekonomi ibu-ibu, Supiah juga rajin mengajak kelompoknya untuk berpartisipasi dalam kegiatan bazaar, memasak apa yang ada di desa dan bisa diolah.

"Potensi yang ada di desa kami seperti singkong, pisang, talas. Ya itu yang kita masak dan olah. Tidak perlu cari ke dusun lain. Hasilnya dijual di kegiatan bazaar," jelasnya.

4. Mimpi Supiah memajukan Dusun Talangsari III dengan membuat koperasi dan senam kesehatan

Kisah Supiah Hapus Trauma Kelam di Dusun Talangsari LampungProgram Peduli

Supiah juga memiliki mimpi yang lebih besar yang sedang ia upayakan, yakni membangun koperasi. Ini cita-cita yang ingin ia wujudkan agar ibu-ibu dapat menabung keuntungan dari hasil penjualan olahan dan mengakses bantuan pinjaman.

Tidak hanya sibuk di industri rumah tangga, Supiah juga menghidupkan dan membangun keakraban masyarakat dengan mengajak warga senam kesehatan, yang sekaligus juga untuk menyembuhkan luka para penyintas.

Kegiatan ini baru akan ia rintis. Ide, inovasi, serta semangat seakan tanpa henti menghampiri sosok perempuan dengan dua cucu ini.

“Saya ingin dusun saya lebih maju dari dusun-dusun lainnya agar tidak ketinggalan dengan yang lainnya,” ungkap Supiah.

5. Keberhasilan Supiah membawanya menjadi satu dari ribuan sosok Pandu Inklusi Nusantara

Kisah Supiah Hapus Trauma Kelam di Dusun Talangsari LampungProgram Peduli

Usaha Supiah tak sia-sia. Momentum perayaan kemerdekaan Indonesia menjadi bukti Dusun Talangsari tak lagi mati. Tidak perlu lagi main ke dusun tetangga untuk melihat hajatan tahunan yang meriah.

“Sekarang sudah ada acara sendiri. Anak-anak bisa ramai, bahagia, tertawa, ikut lomba-lomba. Ibu-ibunya juga ikut bergabung. Tarik tambang, tanding masak antar RT, macam-macam. [Perayaan] tujuh belas Agustus sudah meriah. Tidak seperti dulu. Tahun-tahun belakangan ini saya merasa merdeka,” cerita Supiah.

Berkat perjuangannya, kini Supiah menjadi satu dari ribuan sosok Pandu Inklusi Nusantara (PINTAR) di seluruh Indonesia, yang berjuang untuk inklusi sosial bagi kelompok marginal dan terpinggirkan.

Baca Juga: Pemerintah Dituntut Segera Selesaikan Kasus HAM di Papua 

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya