Pers Wajib Hati-hati Beritakan Kasus Anak, Dampaknya Besar

Melindungi anak sama dengan melindungi masa depan bangsa

Jakarta, IDN Times - Kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat setiap tahun. Tidak sedikit yang menjadi konsumsi media. Jurnalis senior Uni Lubis mengingatkan pentingnya pemberitaan ramah anak sesuai ketentuan dan kode etik yang berlaku, mengingat dampak berita negatif akan mempengaruhi masa depan mereka.

Uni Lubis yang juga pemimpin redaksi IDN Times menyampaikan poin penting itu dalam workshop bertema 'Liputan Ramah Anak dan Kode Etik Jurnalistik' yang diselenggarakan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) bersama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Selasa (31/5/2022).

1. Melindungi anak dari dampak pemberitaan itu penting

Pers Wajib Hati-hati Beritakan Kasus Anak, Dampaknya BesarIDN Times/Helmi Shemi

Menurut Uni, melindungi anak dari dampak pemberitaan itu penting, karena belakangan ini marak pemberitaan yang berkaitan dengan anak, baik sebagai korban maupun pelaku. Ia mengatakan, ada dua landasan mengapa itu penting, secara filosofis dan hukum.

"Landasan filosofisnya ya anak itu masa depan dari sebuah bangsa, ya landasan hukumnya itu ada Undang-Undang Pasal 28 B ayat 2 ya, kemudian Undang-Undnag No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, lalu ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan anak," kata Uni Lubis.

Diketahui, Undang-Undang Pasal 28 B ayat 2 mengatakan, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Baca Juga: Ayah Jadi Pelaku Kekerasan Seksual, KemenPPPA: Tak Siap Mengasuh

2. Dampak pemberitaan yang tidak beretika terhadap anak

Pers Wajib Hati-hati Beritakan Kasus Anak, Dampaknya BesarIlustrasi anak-anak (IDN Times/Sunariyah)

Lebih lanjut dia mengatakan, stigma negatif menjadi dampak pemberitaan jangka panjang dari jejak digital serta akan mempengaruhi masa depan anak tersebut. Setidaknya banyak kasus anak yang viral dan menimbulkan labeling, sehingga anak itu sulit mengembangkan diri, bahkan sulit sekolah dan mendapat pekerjaan karena identitasnya dibuka oleh pers.

Anak yang menjadi pelaku kriminal atau kejahatan yang harus menghuni LAPAS, juga bisa ditolak oleh lingkungannya saat bebas, bahkan malu untuk kembali ke keluarganya. Ujung-ujungnya, mereka justru bisa terjerumus ke lembah kejahatan lagi.

"Ini ada data, saya mengutip data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2020, hanya 48,3 persen anak korban yang pulih setelah mendapat rehabilitasi, sisanya tidak tuntas rehabilitasinya," ujar Uni.

Ada dampak lain yang tak kalah mengerikan. Dalam kasus kejahatan seksual misalnya, korban, saksi, bahkan keluarganya bisa diancam dan dintimidasi oleh pelaku jika mereka dibuka. Bahkan dalam sejumlah kasus, anak korban terusir dari lingkungan karena masyarakat menganggap pelaku adalah orang terhormat atau terpandang.

Baca Juga: KemenPPPA Desak Aparat Hukum Berat Penculik 12 Anak di Bogor-Jaksel

3. Jurnalis dan media perlu tahu aturan-aturan ini

Pers Wajib Hati-hati Beritakan Kasus Anak, Dampaknya BesarIDN Times/Uni Lubis

Uni mengatakan bahwa tugas wartawan di era digital semakin sulit dan menantang, karena banyak sekali aturan yang harus dipahami.

Penting untuk media pers memahami Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 19, identitas anak pelaku, korban dan atau saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan.

Begitu pula penting menjalankan Kode Etik Jurnalistik Pasal 5 yang berisi, wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Dan Pasal 9, wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya (kecuali untuk kepentingan publik).

"Merahasiakan identitas itu tidak sebatas merahasiakan nama menjadi inisial, tetapi merahasiakan semua informasi yang bisa merujuk kepada bersangkutan," kata Uni.

Pasal 14 Ayat 1 dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI, lembaga penyiaran juga disebutkan wajib memberi perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai penggolongan program siaran. Dan Ayat 2, lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.

4. 12 Pedoman pemberitaan yang ramah anak

Pers Wajib Hati-hati Beritakan Kasus Anak, Dampaknya BesarDewan Pers membentuk Pokja Keberlangsungan Media, IDN Times/Umi Kalsum

Adapun 12 pasal dari Pedoman Pemberitaan Ramah anak yang difasilitasi pembuatannya oleh Dewan Pers dan didukung oleh KemenPPPA adalah sebagai berikut:

  1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
  2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
  3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
  4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
  5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
  6. Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK.
  7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
  8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
  9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
  10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA.
  11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) dari media sosial.
  12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Sekadar diketahui, acara workshop bertema 'Liputan Ramah Anak dan Kode Etik Jurnalistik' ini dibuka dengan sambutan Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Keluarga KemenPPPA Indra Gunawan.

"Menjadi kewajiban kita bersama terutama juga dengan teman-teman pers ketika memberitakan kejadian atau kasus yang korbannya anak, tentu perlu memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak," kata Indra.

Topik:

  • Rendra Saputra

Berita Terkini Lainnya