Sistem PPDB DKI Jakarta Menuai Kritik, Dianggap Diskriminatif

Setiap anak harus terpenuhi hak wajib belajar 12 tahun

Jakarta, IDN Times - Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta menuai kritik lantaran dianggap diskriminatif. Sebab setiap tahun, hanya 33 persen siswa yang bisa mendapatkan sekolah negeri. Sisanya dinilai terabaikan.

Kritik soal PPDB 2022 ini disuarakan Koalisi Kawal Pendidikan Jakarta (Kopaja), Indonesia Corruption Watch (ICW), Komite Pemantau Legislatif (Kopel Indonesia), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Suara Orangtua Peduli, dan Perkumpulan Wali Murid Koloni 8113 dalam sebuah diskusi yang digelar hari ini.

Adapun diskusi bersama yang diadakan secara virtual dan publik itu dihelat, Selasa (14/6/2022), dengan tema "Pelanggaran Hak Anak Dalam Hajatan PPDB DKI 2022”.

Dalam diskusi tersebut, disampaikan, bahwa setiap tahun ajaran baru, sekitar 140 ribu anak lulusan SD mendaftarkan diri masuk SMP dan sekitar 150 ribu anak lulusan SMP masuk ke SMA/SMK di DKI Jakarta.

Namun dari jumlah ini, hanya 52 persen yang bisa ditampung di SMP Negeri dan hanya 33 persen yang bisa diterima di SMA/SMK Negeri.

Lalu, sebanyak 170 ribu anak (58 persen dari total lulusan SD dan SMP) diabaikan dalam sistem PPDB yang dibuat oleh Pemprov DKI Jakarta. Maka itu, Pemprov DKI kemudian dinilai telah melakukan tindak diskriminatif serta melanggar Undang-Undang Dasar, berikut semua peraturan turunannya.

1. Hak anak untuk memperoleh pendidikan jelas tercantum dalam UU dan Perda

Sistem PPDB DKI Jakarta Menuai Kritik, Dianggap DiskriminatifIlustrasi siswa sekolah dasar belajar online. (IDN Times/Debbie Sutrisno)

Dalam pernyataannya, Kopaja mengatakan hak anak atas pendidikan sebetulnya sudah tercantum dalam Undang-undang No. 35 tahun 2014 (perubahan atas Undang-undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak).

"Dalam pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat," sebut keterangan mereka seperti disitat IDN Times.

Apalagi, sejak tahun 2006, dalam Perda Nomor 8/2006 tentang Sistem Pendidikan, DKI sudah menjelaskan “wajib belajar” sebagai: peserta didik yang mengikuti program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga masyarakat atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah (pasal 1).

Lebih lanjut, pasal 16 menyatakan bahwa Pemerintah Daerah wajib menyediakan dana guna penuntasan wajib belajar 9 tahun dan menyediakan dana guna terselenggaranya wajib belajar 12 tahun khususnya bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu dan anak terlantar.

"Namun sudah 16 tahun Perda ini tak diindahkan, dan tidak ada pengawasan dari para pemangku kepentingan, termasuk DPRD dan masyarakat," lanjut keterangan Kopaja.

2. PPDB Tahun 2021 melibatkan sekolah swasta lewat “PPDB Bersama”

Sistem PPDB DKI Jakarta Menuai Kritik, Dianggap Diskriminatif(Ilustrasi). Siswa dan wali murid berkonsultasi dengan petugas pusat layanan informasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMA 7 Solo, Jawa Tengah, Selasa (2/7/2019). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Pada PPDB DKI tahun 2021, Pemprov DKI diketahui melibatkan sekolah swasta lewat “PPDB Bersama”. Anak yang diterima di sekolah swasta melalui PPDB Bersama mendapat pembiayaan dari pemprov DKI selama 3 tahun.

Terdapat 89 SMA swasta yang ikut dalam mekanisme penerimaan PPDB Bersama, dengan kuota 6.909 kursi.

"Namun, akibat cara penerimaan yang tidak teruji dan tidak andal, hanya sekitar 11 persen dari kuota 6.909 kursi yang bisa dimanfaatkan. Sebanyak 89 persen dari kuota menguap karena tidak terisi," lanjut mereka.

Meski belum berjalan sempurna, upaya yang dilakukan sejak PPDB tahun 2021 ini bisa dianggap menjadi contoh dan bisa diperluas untuk seluruh anak di DKI.

3. Dibutuhkan anggaran sekitar Rp 4 triliun agar seluruh anak terpenuhi hak pendidikannya

Sistem PPDB DKI Jakarta Menuai Kritik, Dianggap DiskriminatifIlustrasi anak-anak (IDN Times/Dwifantya Aquina)

Lebih lanjut, jika ada 170 ribu anak yang perlu dibiayai selama bersekolah di sekolah swasta, jika dikalikan 3 angkatan (SMP kelas 7-8-9 dan SMA/SMK kelas 10-11-12), maka Kopaja menilai ada 510 ribu anak yang perlu dibiayai.

Di mana, biaya yang dibutuhkan tiap anak, dari pengamatan sederhana, untuk sekolah swasta yang cukup baik adalah Rp8 juta per tahun.

"Sehingga, dibutuhkan anggaran sekitar Rp4 triliun untuk membuat seluruh anak DKI tingkat SMP dan SMA/SMK terpenuhi haknya, dan pemerintah menunaikan tugasnya menyelenggarakan 'wajib belajar'."

"Tahun lalu Pemprov DKI menyiapkan pembiayaan untuk 6.909 anak di sekolah swasta. Artinya pemerintah baru mampu memenuhi pembiayaan 4 persen dari 170 ribu anak yang tidak diterima di sekolah negeri," katanya.

4. Rekomendasi Kopaja untuk pemprov DKI

Sistem PPDB DKI Jakarta Menuai Kritik, Dianggap DiskriminatifIlustrasi guru mengajar di sekolah. (ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin)

Tak hanya itu, dalam diskusi, disebut ada permasalahan dalam PPDB DKI Jakarta, seperti sistem yang berdasarkan usia, kursi sekolah negeri yang minim tidak ada jaminan hak anak, 23 persen melalui jalur prestasi (bagaimana nasib Zonasi), fenomena kelas unggulan Sekolah Penggerak, kesenjangan mutu sekolah, dan pembiayaan pemerintah di sekolah swasta hanya “bantuan”.

Berdasarkan hal-hal di atas, Kopaja lantas menyoroti 3 permintaan terhadap Pemprov DKI DKI Jakarta.

Pertama, Pemprov DKI Jakarta dinilai harus menjamin semua anak DKI Jakarta mendapatkan sekolah dengan skema pembiayaan penuh, bukan sekedar bantuan.

Kedua, melibatkan publik dalam pembahasan Rancangan Perda tentang Penyelenggaran dan Pengelolaan Sistem Pendidikan di DKI Jakarta; dan memastikan adanya jaminan pembiayaan pendidikan untuk WAJAR (Wajib Belajar) 12 Tahun di sekolah negeri maupun swasta.

Ketiga, pemerintah dinilai harus mewujudkan pemerataan kualitas sekolah di DKI Jakarta untuk mendukung sistem zonasi yang berkeadilan tanpa diskriminasi.

Topik:

  • Rendra Saputra

Berita Terkini Lainnya