Arsul Sani Dukung Pasal Penghinaan Presiden di KUHP 

Harkat dan martabat kepala negara harus dijaga

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan bahwa pasal 218 dan 219 tentang penghinaan presiden dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP) harus dipertahankan. Sebab, pasal tersebut bisa menjaga harkat dan martabat kepala negara, dalam hal ini presiden dan wakil presiden.

"Jadi pasal ini perlu tetap dipertahankan, tetapi harus dengan formulasi yang baik, yang hati-hati, yang menutup potensi untuk disalahgunakan seminimal mungkin," kata Arsul dalam rapat kerja Komisi III DPR RR, Rabu (9/6/2021).

Baca Juga: Jokowi Minta DPR Hapuskan Pasal Penghinaan Presiden dari RKUHP

1. Arsul sebut aturan negara lain juga adanya ancaman pidana bagi penghina kepala negara

Arsul Sani Dukung Pasal Penghinaan Presiden di KUHP IDN Times/Margith Juita Damanik

Dalam raker tersebut, Arsul membacakan aturan-aturan di negara lain terkait perlindungan terhadap harkat dan martabat kepala negara. Dia menyebut di negara-negara demokrasi lainnya juga memiliki hukuman bagi penghina kepala negara. Mulai dari ancaman hukum pidana di Denmark, Islandia, hingga Belhi.

"Bagaimana di negara-negara lain dilihat? Dari benchmarking yang saya lakukan, saya melihat begitu banyak negara-negara yang demokrasi seperti bahkan tradisi demokrasinya jauh lebih lama dari kita, itu juga tetap mempertahankan less majesty," jelas Arsul.

"Pasal 101 KUHP-nya Islandia, itu juga ancamannya 4 tahun. Di Belgia tidak di KUHP, tapi ada UU dari tahun 1847 yang menghina kepala negara, karena kepala negara di sana raja, itu juga diancam pidana sampe 3 tahun," tutur Arsul.

Melihat aturan-aturan negara lain tersebut, menurut Arsul wajar jika di Indonesia ada pasal penghinaan terhadap presiden dengan ancaman pidana.

"Yang menggeser, melakukan dekriminalisasi, dari pendekatan pidana menjadi perdata hanya Prancis di tahun 2013, menjadi perdata. Jerman di tahun 2017 melakukan dekriminalisasi hanya terhadap penghinaan kepala negara asing. Tapi kalau terhadap kepala negaranya sendiri masih tetap mempertahankan finalisasi 3 bulan sampe 5 tahun," paparnya.

Baca Juga: Draf RUU KUHP: Hina Presiden di Medsos Diancam 4,5 Tahun Penjara!

2. Arsul sebut ada 3 hal yang dilakukan DPR agar tidak menabrak keputusan MK

Arsul Sani Dukung Pasal Penghinaan Presiden di KUHP Ilustrasi Penjara (IDN Times/Mardya Shakti)

Namun demikian, Arsul menyampaikan tantangan yang harus dilewati pemerintah dan DPR untuk mempertahankan pasal ini adalah tidak menabrak putusan Mahkamah Konstitusi. Sebab, pada 2006 lalu, MK sendiri memutuskan agar pasal tersebut tidak dimasukkan dalam KUHP.

"Maka di periode lalu dalam upaya tidak nabrak itu, dilakukan 3 hal. Pertama, sifat deliknya diubah, dari delik biasa menjadi delik aduan. Yang kedua, diberi pengecualian pada ayat berikutnya. Yang bukan merupakan penyerangan itu apa sih dalam rangka kritik terhadap kebijakan umum dan pembelaan," ucap Arsul.

Lalu yang ketiga, kata Arsul, untuk menghindari potensi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum, maka pidananya harus diturunkan menjadi di bawah lima tahun.

"Harus di bawah 5 tahun supaya Polri tidak bisa langsung menangkap dan membawa. Itu pun kita masih dalam rangka merespons terhadap kekhawatiran masyarakat," ujarnya.

3. Ancaman 4,5 tahun penjara jika menghina presiden dan wakil presiden

Arsul Sani Dukung Pasal Penghinaan Presiden di KUHP Ilustrasi Penjara (IDN Times/Mardya Shakti)

Sebagai informasi, Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memuat aturan yang memungkinkan seseorang dipidana penjara selama 4,5 tahun atau denda paling banyak Rp200 juta jika menyerang kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden melalui media sosial.

Hal tersebut tertuang pada BAB II terkait Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden Pasal 219.

"Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," tertulis pada Draf RKUHP yang diperoleh IDN Times, Sabtu (5/6/2021).

Bukan hanya di media sosial, melakukan serangan di muka umum atau di luar media sosial juga bisa diancam hukuman pidana. Namun, tindak pidananya tak selama di media sosial, yaitu 3,5 tahun penjara atau denda paling banyak sebesar Rp200 juta yang tertuang pada Pasal 218 Ayat 1.

"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi Pasal 218 Ayat 1.

Tetapi, pasal tersebut tidak berlaku jika penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat 1, jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

"Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," bunyi Pasal 218 Ayat 2.

Ancaman penjara terhadap presiden atau wakil presiden baru akan berlaku jika adanya aduan, dan aduan tersebut harus dilakukan oleh presiden atau wakil presiden sebagaimana tertuang pada Pasal 220 Ayat 1 dan 2.

"Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 218 dan 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan," bunyi Pasal 220 Ayat 1.

"Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden," bunyi Pasal 220 Ayat 2.

Baca Juga: Draf RUU KUHP: Tak Ada Ancaman Hukuman Mati Bagi Koruptor

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya