Fadjroel Pasang Badan Lagi Buat Jokowi Soal Presiden Tiga Periode

Amien Rais sebut Jokowi punya skenario untuk jabat 3 periode

Jakarta, IDN Times - Juru Bicara Presiden Joko "Jokowi" Widodo, Fadjroel Rachman, menanggapi pernyataan Pendiri Partai Ummat Amien Rais yang menyebut ada skenario untuk mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 soal masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode.

Mengenai hal itu, Fadjroel membantahnya. Menurutnya, Presiden Jokowi tetap mengikuti konstitusi di mana masa jabatan presiden hanya dua periode.

"Presiden tegak lurus konstitusi UUD 1945, masa jabatan presiden dua periode," kata Fadjroel dalam keterangannya, Senin (15/3/2021).

1. Amien Rais sebut Jokowi miliki rencana skenario jabatan presiden tiga periode

Fadjroel Pasang Badan Lagi Buat Jokowi Soal Presiden Tiga PeriodeANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Sebelumnya, Amien Rais mengkritik tentang polemik kudeta kepemimpinan Partai Demokrat. Menurut Amien, itu adalah salah satu langkah Jokowi untuk merangkul Partai Demokrat dan menambah kekuatan.

"Kalau kita berikan rezim ini kekuatan yang tidak bisa dikritik lagi, oposisi dibasmi, tak ada lagi demokrasi. Jadi kita betul-betul akan mengalami ya kehancuran politik kita bahkan juga berbangsa yang lebih berat lagi," kata Amien seperti dalam sebuah video yang ditayangkan di akun Instagram-nya @amienraisofficial, Senin (15/3/2021).

"Saya meminta saudara-saudara sekalian para anggota DPR, MPR, DPD, lembaga-lembaga tinggi negara yang lain, akankah kita biarkan ploting rezim sekarang ini akan memaksa masuknya pasal supaya bisa dipilih ketiga kalinya itu?" lanjut Amien.

Kemudian, Amien menyampaikan skenario yang ia duga akan digunakan Jokowi untuk memuluskan jabatan tiga periode. Pertama, Amien mengatakan bahwa Jokowi akan meminta digelar Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) guna mengubah atau mengamendemen UUD 1945

"Jadi mereka akan mengambil langkah pertama meminta sidang istimewa MPR yang mungkin satu, dua, pasal yang katanya perlu diperbaiki, yang mana saya juga tidak tahu, tapi kemudian nanti akan ditawarkan pasal baru yang memberikan hak bahwa presiden itu bisa dipilih tiga kali," jelas Amien.

Mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengatakan, skenario itu muncul karena ada opini publik yang menunjukkan ke arah mana pemerintahan Jokowi ke depannya. "Kalau ini betul-betul keinginan mereka, maka saya kira kita sudah segera bisa mengatakan ya innailaihi wa innailaihi rojiun," kata Amien.

Baca Juga: Pakar Hukum: Gaya Politik Presiden Jokowi dan Soeharto Sama

2. Jokowi pernah menentang wacana jabatan presiden tiga periode

Fadjroel Pasang Badan Lagi Buat Jokowi Soal Presiden Tiga PeriodePresiden Jokowi pimpin rapat terbatas di Istana Merdeka pada Senin (19/10/2020) (Dok. Biro Pers Kepresidenan)

Sekitar akhir 2019, perpolitikan Tanah Air sempat diramaikan dengan munculnya wacara amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Salah satu wacana yang menuai sorotan ialah masa jabatan presiden menjadi tiga periode yang disuarakan anggota DPR dari Fraksi NasDem.

Wacana tersebut mendapat penolakan dari berbagai pihak, mulai dari Demokrat, PKS, Golkar, hingga Jokowi. Isu ini kembali muncul di permukaan setelah ramainya polemik soal kudeta Partai Demokrat antara Moeldoko dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Presiden Jokowi sempat menyatakan tidak setuju dengan usulan mengubah jabatan presiden menjadi tiga periode dalam amandemen UUD 1945. Menurut Jokowi, usulan tersebut sama saja dengan menampar wajahnya.

"Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode. Itu ada tiga (maknanya) menurut saya. Satu, ingin menampar muka saya, yang kedua, ingin cari muka. Padahal saya sudah punya muka, yang ketiga ingin menjerumuskan," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (2/12/2019).

Jokowi menyampaikan, sejak awal sudah ragu dengan wacana amandemen terbatas UUD 1945 tersebut. Ia ragu sebab amandemen bisa melebar kemana-mana.

"Apakah bisa yang namanya amendemen berikutnya dibatasi? Untuk urusan haluan negara. Apakah tidak melebar kemana-mana? Sekarang kenyataannya seperti itu kan," ujar Jokowi.

"Jadi, lebih baik tidak usah amendemen. Kita konsentrasi aja ke tekanan-tekanan eksternal yang bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan," lanjut dia.

3. Isi Amandemen Pasal 7 UUD 1945 terkait jabatan presiden dan wakil presiden

Fadjroel Pasang Badan Lagi Buat Jokowi Soal Presiden Tiga PeriodeIlustrasi gedung DPR. (IDN Times/Kevin Handoko)

Amandemen UUD 1945 telah dilakukan sebanyak empat kali setelah berakhirnya Orde Baru, yaitu pada 1999, 2000, 2001, dan 2002. Amandemen UUD 1945 Pasal 7 Amandemen UUD 1945 pertama dilakukan tahun 1999.

Salah satu pasal yang penting dan diamandemen pada Sidang Umum MPR 1999 yaitu Pasal 7 tentang Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Sebelum amandemen, tertulis di Pasal 7 UUD 1945 bahwa presiden dan wakilnya memiliki masa jabatan selama lima tahun. Apabila telah selesai, dapat dipilih kembali tanpa ada batasan berapa kali periode diperbolehkan menjabat.

Dikutip dari situs dpr.go.id, berikut bunyi teks Pasal 7:

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan

Sementara, bunyi Pasal 7 yang telah diamandemenkan itu berubah dari bunyi Pasal 7 di dalam teks yang asli. Sebagai berikut:

Pasal 7

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali

Kemudian, pada 2001, amandemen UUD 1945 kembali dilakukan. Kali ini menambahkan Pasal 7A, 7B dan 7C. Berikut bunyi pasal-pasal tersebut:

Pasal 7A

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pasal 7B

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.

(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Pasal 7C

Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.

Baca Juga: Pakar: Ambil Alih Demokrat Bisa Muluskan Rencana Presiden 3 Periode

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya