Gerakan 212 Dinilai Politis, Bagaimana Efek Elektoral Jokowi-Prabowo?

Berkaca dari survei usai Aksi 212 jilid I tahun 2016

Jakarta, IDN Times - Aksi Reuni 212 yang digelar 2 Desember 2018 memang sudah berlalu. Namun, gaungnya masih terasa hingga kini karena dikait-kaitkan dengan politik. 

Aksi tersebut merupakan "pengulangan" gerakan yang dimulai 2016 untuk menyeret Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta ke meja hijau dalam kasus penistaan agama. Setelah itu, aksi serupa selalu digelar setiap tanggal 2 Desember. 

Salah satu isu yang mencuat dari aksi tahun ini adalah klaim jumlah peserta yang hadir.  Panitia Reuni 212 mengklaim jumlah peserta yang hadir sekitar 8 juta orang--lebih banyak dibandingkan aksi dua tahun yang lalu. Sementara, Calon Presiden Prabowo Subianto mengklaim jumlah peserta mencapai 11 juta orang.

Jumlah tersebut berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan pihak Polri. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menyebut, jumlah massa yang hadir dalam acara Reuni 212 hanya berkisar 40 ribu orang.

Tak hanya itu, Prabowo yang hadir sebagai tamu undangan di aksi Reuni 212, menilai media tidak bersikap objektif dalam memberitakan acara itu. Bahkan, ia menyebut media sebagai antek perusak demokrasi.

"Ada belasan juta, mereka (media) tidak mau melaporkan, mereka telah mengkhianati sebagai wartawan, mereka mengkhianati tugas mereka sebagai jurnalis. Saya katakan ‘Hei media-media yang tidak mau mengatakan ada belasan juta orang atau minimal berapa juta orang, kau tidak bisa menyandang predikat jurnalis lagi. Boleh kau cetak, boleh kau ke sini dan ke sana, saya tidak mengakui Anda sebagai jurnalis,” kata Prabowo baru-baru ini.

Selain jumlah massa, Reuni 212 juga dianggap sebagai kampanye terselubung Prabowo jelang Pemilihan Presiden 2019. Acara tersebut sebelumnya diklaim tidak bermuatan politik, tapi nyatanya pimpinan Front Pembela Islam (FPI) melalui telekonferensi menyerukan peserta aksi agar Pilpres 2019 memilih pasangan capres sesuai pilihan ijtima ulama.

"Memang kita sedih sih bahwa ketulusan dan keseriusan sebagian massa yang hadir niatnya berjuang untuk Islam, itu ternyata hanya ditunggangi untuk berkampanye," ujar Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf, Abdul Kadir Karding.

Pertanyaan yang muncul adalah, apakah aksi Reuni 212 akan mempengaruhi suara pasangan calon presiden nomor urut 01, Joko "Jokowi" Widodo-Ma'ruf Amin, dan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Gerakan 212 Dinilai Politis, Bagaimana Efek Elektoral Jokowi-Prabowo?IDN Times/Sukma Shakti

1. Berkaca dari tahun 2016, politik identitas dan Gerakan 212 tidak memberikan efek elektoral terhadap Jokowi maupun Prabowo

Gerakan 212 Dinilai Politis, Bagaimana Efek Elektoral Jokowi-Prabowo?ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Lembagai survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) merilis tentang efek elektoral yang diberikan pasca massa aksi 212 yang berkumpul pada 2 Desember 2016. Gerakan 212 memang identik dengan politik identitas.

Menurut data di CSIS, politik identitas di Pemilu 2019 tidak akan berdampak besar. Selama hampir dua tahun setelah digelarnya aksi pertama 212, hingga saat ini belum terjadi perubahan dukungan yang signifikan terhadap Jokowi ataupun Prabowo.

"Suara Joko Widodo tidak mengalami penurunan setelah digelarnya aksi 212, begitu juga suara Prabowo Subianto yang mengalami stagnasi," kata Arya Fernandes, peneliti CSIS.

Bahkan, data CSIS menyebut, dibandingkan efek politik elektoral terhadap naik atau turunnya suara pasangan calon atau partai, efek massa aksi 212 justru terjadi pada menguatnya konservatisme di kalangan pemilih.

2. Bagi kubu Jokowi, Reuni 212 menjadi kampanye terselubung Prabowo. Benarkah?

Gerakan 212 Dinilai Politis, Bagaimana Efek Elektoral Jokowi-Prabowo?IDN Times/Sukma Mardya Shakti

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Abdul Kadir Karding mengamini hasil survei. Menurutnya, Aksi 212 memang tidak memberikan efek elektoral untuk Jokowi dan Prabowo, baik dulu maupun sekarang.

"Setuju. Sama sekali gak memberi dampak. Ya mungkin ada dampak-dampak psikologis saja. Makanya Pak Prabowo marah kenapa tidak diberitakan besar 11 juta? Ya itu untuk membangun dampak psikologis," ungkap Karding kepada IDN Times di Grand Sahid, Jakarta Pusat, Jumat (7/12).

Menurutnya, Reuni 212 tahun inipun hanyalah kampanye terselubung Prabowo. Karding menilai, kampanye dengan mengumpulkan massa sudah tidak efektif karena saat ini bukan zamannya kampanye seperti itu.

"Zaman kampanye sekarang ini metodenya berubah. Sekarang itu bukan banyak-banyakan di lapangan, tetapi bagaimana kita mengisi otak dan hati orang itu langsung. Jadi gak perlu kampanye gede-gedean, kayak 212 itu, gak perlu," ujarnya.

Sementara, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Vasco Ruseimy menerangkan bahwa kubu Prabowo tidak melihat acara Reuni Gerakan 212 sebagai kampanye. Ia mengatakan, Gerakan 212 murni gerakan keislaman karena umat merasa tak diayomi pemerintah.

"Seperti sekarang ini pemerintah terkesan seperti tidak merangkul kepentingan-kepentingan umat Islam khususnya ya," kata Vasco saat dihubungi IDN Times, Minggu (9/12).

Berkaitan dengan efek elektoralnya sendiri, ia menyerahkan kepada publik ingin beranggapan seperti apa. "Nah kalau bicara kepentingan elektoral, kebetulan Pak Prabowo di situ juga hadir, saya melihat betul-betul orang sangat merindukan kejayaan Islam kembali bangkit," jelasnya. 

3. Elektabilitas Prabowo dan Jokowi tidak berubah signifikan usai Aksi 212 tahun 2016

Gerakan 212 Dinilai Politis, Bagaimana Efek Elektoral Jokowi-Prabowo?Aksi 212 jilid 1 pada 2 Desember 2016 (Facebook/Presiden Joko Widodo)

Menurut data, lemahnya efek massa aksi 212 terhadap politik nasional bisa berkaca pada aksi tahun 2016. Kala itu, aksi 212 muncul sebagai reaksi kasus penistaan agama yang menyeret Ahok. 

"Pertama, tidak adanya efek langsung aksi 212 terhadap kenaikan atau penurunan suara pasangan calon. Perolehan suara Joko Widodo, misalnya tidak turun setelah gelaran Aksi 212 tersebut, begitu juga suara Prabowo Subianto juga tidak naik signifikan," jelas peneliti Arya.

Survei yang dilakukan CSIS pada Agustus 2017 menunjukkan, tingkat elektabilitas Jokowi naik sebesar 9 persen, dari 41,9 persen (2016) menjadi 50,9 persen (2017). Sementara suara Prabowo Subianto naik tipis dari 24,3 persen (2016) menjadi 25,8 persen (2017).

Dan bila memang politik identitas yang dibawa oleh massa Aksi 212 (2016) bekerja, maka seharusnya Jokowi yang selalu mendapatkan kampanye negatif mengenai politik identitas harusnya mengalami penurunan suara. Namun, hal itu tidak berpengaruh besar, justru suara Jokowi malah naik.

"Begitu juga sebaliknya dengan Prabowo Subianto yang dekat dengan kelompok organisasi Islam, juga tidak mendapatkan peningkatan suara secara signifikan, bahkan justru mengalami stagnasi," terangnya.

4. Berdasarkan survei April 2018, massa Aksi 212 terbagi antara pemilih Jokowi dan Prabowo

Gerakan 212 Dinilai Politis, Bagaimana Efek Elektoral Jokowi-Prabowo?IDN Times/Gregorius Aryodamar

Selanjutnya, data CSIS mengatakan, dari sisi distribusi suara pendukung dan massa aksi 212 relatif terbagi pada kedua pasangan calon, baik Jokowi maupun Prabowo.

Berdasarkan cross tabulasi data survei CSIS pada April 2018 antara dukungan pemilih terhadap Aksi 212 dengan pilihan calon presiden menunjukkan, pilihan politik pendukung Aksi 212 terdistribusi kepada Jokowi dan Prabowo. Jokowi mendapatkan dukungan massa Aksi 212 yang lebih tinggi dibandingkan Prabowo di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sementara, Prabowo mendapatkan suara yang lebih tinggi dari pendukung 212 di Sumatera Utara dan Jawa Barat. Sedangkan di Provinsi Sulawesi Selatan relatif imbang.

Sebagai catatan, data agregat lima provinsi menunjukkan sebesar 67,9 persen responden pernah mendengar Aksi 212. "Dari 67,9 persen yang pernah mendengar, sekitar 60 persen diantaranya mengaku mendukung aksi tersebut. Sementara dari sisi keikutsertakan dalam aksi tersebut rata-rata sekitar 6 persen," terang Arya.

Bila ditarik data berdasarkan agregat di lima provinsi, preferensi politik pendukung massa Aksi 212 masih lebih tinggi ke Prabowo, dibandingkan Jokowi. "Sebesar 48,5 persen pendukung massa Aksi 212 mengaku mendukung Prabowo dan 41,4 persen mengaku mendukung Jokowi," lanjut dia.

Dari sisi karakteristik, pemilih Jokowi sendiri terbelah menjadi dua. Dari data lima provinsi pembanding, 48,6 persen pemilih Jokowi mengaku mendukung Aksi 212. Dan sekitar 51,3 persen mengaku tidak mendukung Aksi 212.

Untuk pendukung Prabowo, ternyata lebih banyak yang mendukung Aksi 212. Sebanyak 76,1 persen pemilih Prabowo mengaku mendukung Aksi 212 dan hanya 23,9 persen tidak mendukung.

5. "Mencari" pendukung Jokowi di Aksi Reuni 212

Gerakan 212 Dinilai Politis, Bagaimana Efek Elektoral Jokowi-Prabowo?IDN Times/Teatrika Handiko Putri

Namun, Vasco mengaku tak yakin akan hal itu. Bila melihat antusias para peserta Reuni 212 (2/10/2018), menurut dia, massa lebih cenderung memberikan dukungan kepada Prabowo, dibanding Jokowi.

"Gimana rasanya umat Islam merasakan sekarang ini kita merasa tertekan untuk melaksanakan hal-hal yang sesuai syariat Islam. Semangat awalnya kan itu. Kenapa zaman sekarang ulama-ulama dipersekusi terkesan seperti dibiarkan," terang Vasco.

Di situlah, tambah Vasco, kemudian para peserta aksi merasakan ketidakpuasaan terhadap pemerintahan Presiden Jokowi saat ini."Saya agak bingung kalau memang di situ ternyata ada pendukung Jokowi," ungkapnya.

Sementara, Karding menyampaikan bahwa bisa saja di antara para peserta 212 ada juga pemilih Jokowo. Kata Karding, sejak awal massa 212 memang lah cair.

"Ya massa 212 itu sejak awal massa cair kan. Ya sebagian karena memang ingin tahu, sebagian memang agak tertipu dibilang berdoa padahal sesungguhnya lebih kental politiknya," jelas Karding.

6. Aksi 212 dan Pilkada 2017 lebih memberikan efek pada elite politik

Gerakan 212 Dinilai Politis, Bagaimana Efek Elektoral Jokowi-Prabowo?ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Data CSIS menerangkan, efek Aksi 212 tahun 2016 terhadap Pilkada 2017 cenderung terkonsentrasi di kalangan elite politik. Dua peristiwa tersebut mempengaruhi perilaku dan pilihan politik partai dan calon presiden dalam menentukan kebijakan dan sikap politik terkait pilpres.

"Dari sisi Joko Widodo, pembatalan nama cawapres Jokowi dari Mahfud MD menjadi Ma’ruf Amin secara cepat, menunjukkan strategi politik untuk merebut suara pemilih muslim," kata Arya.

"Sementara, dari sisi Prabowo menunjukkan adanya kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan elite politik muslim dalam penentuan cawapres. Elite tersebut tergabung dalam ijtima ulama GNPF MUI, yang dilaksanakan hingga dua kali," tambahnya.

7. Beda pendapat kubu Jokowi dan Prabowo tentang politik identitas

Gerakan 212 Dinilai Politis, Bagaimana Efek Elektoral Jokowi-Prabowo?Instagram/vasco_ruseimy

Berdasarkan data CSIS, Politik identitas menguat ketika kontestasi antar kandidat dilatarbelakangi dari sisi ras, suku, dan agama. Apabila kondisi tersebut tidak terjadi, politik identitas akan susah menguat atau mengental.

Karding menilai, politik identitas memang semakin berkembang di Indonesia. Sebagai bangsa, kata dia, Indonesia harus waspada akan hal itu.

"Oleh karena itu, saya selalu mengatakan janganlah berpolitik menghalalkan segala cara, termasuk membangun narasi politik identitas karena itu berbahaya bagi persaudaraan dan NKRU kita. Berbahaya bagi Pancasila kita yang sudah diinvestasi cukup lama dan berdarah-darah oleh founding father dan mother kita," ucap Karding.

Sedangkan, Vasco mengungkapkan bahwa politik identitas adalah hal yang wajar. Tambahnya, negara-negara maju seperti Amerika juga menggunakan politik identitas.

"Menurut saya, politik identitas gak ada masalahnya kok. Itu hal yang wajar. Negara-negara maju seperti di Amerika pun wajar menggunakan politik identitas. Gak ada masalah," jelas Vasco.

8. Reuni 212 di mata kubu Jokowi dan Prabowo

Gerakan 212 Dinilai Politis, Bagaimana Efek Elektoral Jokowi-Prabowo?ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Usai diadakannya Reuni 212, lalu bagaimana tanggapan kedua kubu terkait efeknya?

Vasco menyampaikan, pastinya efek 212 dirasakan oleh seluruh umat Islam, bukan hanya di Indonesia, tetapi di dunia juga. Kata Vasco, dunia pun ikut memberitakan tentang reuni akbar tersebut.

"Malah uniknya adalah media-media mainstream di Indonesia yang kurang memberitakan ini. Saya sebagai rakyat biasa pun merasakan di sini ada hal yang berbeda dengan gerakan ini sekarang. Aksi kita aksi damai. Gak ada rusuh sama sekali. Betul-betul nilai keislaman kan diangkat di sini. Jadi bukan masalah sisi ini efek untuk elite atau pun pemilih. Semuanya merasakan efek itu," ucap Vasco.

Berbeda dengan Vasco, Karding menyampaikan bahwa Reuni 212 tidak memberikan pengaruh apapun. Dan ia melihatnya hal yang biasa.

"Reuni 212 sih biasa saja. Pengaruhnya juga biasa saja. Kita tenang-tenang saja nih. Karena kita sadar itu juga kampanye. Jadi biasa aja. Di massa juga biasa," ujar Karding.

Baca Juga: Azyumardi Azra Sebut 3 Alasan Reuni 212 Tidak Efektif 'Melawan' Jokowi

Topik:

  • Rochmanudin
  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya