Plintat-Plintut Istana Perangi Virus Corona

Kebijakan pemerintah hadapi COVID-19 bikin rakyat bingung

Jakarta, IDN Times - Pemerintah kini sibuk menangani pandemik virus corona atau COVID-19 yang sudah menyebar di berbagai daerah. Data per 4 April 2020, jumlah kasus positif virus corona telah mencapai 2.092 kasus di Indonesia.

Alih-alih lebih siap, pemerintah justru gagap menghadapi virus corona yang 'terlambat' masuk Indonesia. Seperti bom waktu yang saban hari jumlah korban terus bertambah. Bahkan, tingkat kematian di Indonesia tertinggi di antara negara lain.  

Pemerintah pusat dan daerah tidak klop dalam mengeluarkan kebijakan untuk menanggulangi virus yang pertama kali muncul di Wuhan, Tiongkok itu. Bahkan, di lingkungan Istana pun mereka tak kompak mengeluarkan pernyataan soal virus mematikan itu.

Data tentang virus corona pun sering kali berbeda antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah dianggap kurang transparan. Belum lagi masalah hoaks bermunculan di dunia maya, yang semakin membuat masyarakat keder.

Sebut saja isu teranyar soal pernyataan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, mengenai virus corona yang tak akan bertahan lama karena cuaca panas di Indonesia yang menghadapi musim kemarau.

"Dari hasil modelling, cuaca Indonesia yang panas dan humidity tinggi, maka untuk COVID-19 itu gak kuat," ujar Luhut dalam keterangan persnya yang disiarkan langsung di channel YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (2/4).

Pernyataan ini pun menuai kontroversi, karena pernyataan Luhut dianggap belum terbukti. Luhut juga tidak memiliki kapasitas bicara masalah virus corona. Yang berhak berbicara masalah COVID-19 semestinya kepala Gugus Tugas dan juru bicara virus corona untuk pemerintah. Satu pintu. Sehingga informasi tentang virus corona tidak simpang siur.

Presiden Joko "Jokowi" Widodo sempat meradang, melihat ketidakkompakan antara pemerintah pusat dan daerah. Dia ingin pemerintah pusat dan daerah satu visi. Semua kebijakan mengenai virus corona harus sesuai keputusan pemerintah pusat.

"Saya tegaskan bahwa mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota sampai kades, lurah, harus satu visi yang sama, satu strategi yang sama, satu cara yang sama dalam menyelesaikan persoalan yang kita hadapi sekarang ini," kata Jokowi, Kamis (2/4).

1. Pemerintah daerah dan pemerintah pusat tak kompak keluarkan kebijakan

Plintat-Plintut Istana Perangi Virus CoronaTahapan kondisi pasien virus corona dari hari ke hari (IDN Times/Sukma Shakti)

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah kerap berbeda dalam menyikapi wabah virus corona. Seperti pada awal pandemi COVID-19 muncul di Indonesia, beberapa daerah menetapkan status lockdown. Padahal, belum ada instruksi dari pemerintah pusat.

Begitu juga soal data kasus, pun demikian. Sebut saja, saat ada kasus virus corona di Bali pada awal pandemi ini muncul, data pemerintah daerah Bali dan pemerintah pusat berbeda. Intinya tidak satu komando. Sampai akhirnya muncul juru bicara untuk pemerintah. Belakangan mulai tertib, sejak pemerintah pusat lebih tegas. 

Seperti yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Anies meminta persetujuan pemerintah pusat agar ibu kota melakukan karantina wilayah sejak beberapa hari ini, untuk mencegah penyebaran virus corona di ibu kota yang semakin memprihatinkan. Anies bersurat langsung kepada Presiden Jokowi.

Selain bersurat, Pemprov DKI Jakarta juga telah menyiapkan berbagai aspek untuk melakukan karantina wilayah. Aspek yang dimaksud antara lain kebutuhan energi, pangan, hingga komunikasi.

"Keputusannya bukan di kita. Tapi kita menyiapkan untuk semua langkah karena seperti kita ketahui tadi Pak Presiden memberikan arahan mengenai pembatasan sosial berskala besar, dan itu sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan," kata Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (30/3).

Selai mengajukan surat untuk karantina wilayah, Anies sempat menggelar simulasi karantina di wilayahnya, tapi keesokan harinya pemerintah pusat membuat keputusan, daerah tak boleh melakukan karantina wilayah, tapi hanya menerapkan Pembatasan Sosiak Berskala Besar (PSBB). Sistem ini dirasa pemerintah lebih cocok di Indonesia. Bukan lockdown.

Jokowi menyebut pemerintah telah menetapkan status PSBB dan status kedaruratan kesehatan masyarakat. Status ini ditetapkan pemerintah lantaran pandemik virus corona sudah semakin masif di Indonesia.

"Pemerintah menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat. Untuk mengatasi dampak wabah tersebut, saya telah memutuskan dalam rapat kabinet bahwa opsi yang kita pilih adalah pembatasan sosial berskala besar atau PSBB," kata Jokowi dalam keterangan persnya yang disiarkan langsung di channel YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (31/3).

Sesuai undang-undang, PSBB ditetapkan Menteri Kesehatan yang berkoordinasi dengan Kepala Gugus Tugas COVID-19 dan kepala daerah. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres) tentang kedua status tersebut. PP tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Keppres Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Lantaran pengajuan surat mengenai karantina wilayah tak diindahkan pemerintah pusat, akhirnya Anies mengajukan penerapan PSBB di wilayah DKI Jakarta. Menteri Kesehatan sudah mengabulkan permintaan Anies pada Selasa (7/4) dan akan berlaku mulai Jumat (10/4) hingga 14 hari mendatang. Status PSBB bisa diperpanjang lagi.

Sementara, Pemerintah Kota Tegal yang sedari awal sudah menerapkan status lockdown juga telah mengajukan PSBB kepada pemerintah pusat, tetapi masih memberlakukan lockdown di wilayahnya, meski ada larangan dari pemerintah pusat.

Tak hanya tegal dan Jakarta, beberapa pemerintah kota dan kabupaten di Jawa Barat juga mengajukan PSBB pada Rabu (8/4), di antaranya Kota Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kota Depok.

Baca Juga: Kisah Penggali Kubur COVID-19, Dilarang Pulang hingga Dijauhi Tetangga

2. Pemerintah dan BPJT juga tak senada soal pembatasan penggunaan moda transportasi dari luar Jakarta

Plintat-Plintut Istana Perangi Virus Corona(IDN Times/Arief Rahmat)

Ketidak kompakan juga terjadi antara pemerintahan dan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) ketika mengeluarkan surat edaran tentang pembatasan penggunaan moda transportasi untuk mengurangi pergerakan orang dari dan ke wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) selama masa pandemik virus corona.

Surat edaran ini mengimbau agar ada pembatasan parsial atau menyeluruh untuk transportasi kereta seperti MRT, Commuter Line, LRT, kereta api, ruas tol, akses layanan penumpang di Bandara Soekarno Hatta dan Halim Perdana Kusuma, angkutan penumpang di Pelabuhan Tanjung Priok, serta angkutan penumpang dari dan ke Pulau Seribu.

Dalam surat edaran tersebut, BPJT memandang perlu menerapkan kebijakan membatasi pergerakan warga agar tidak ke luar wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

"Dalam rangka memutus mata rantai penyebaran COVID-19 di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi," tulis surat yang ditandatangani Kepala BPTJ Polana Pramesti, Rabu (1/4).

Namun tidak berselang lama, muncul keterangan dari Juru Bicara Menko Maritim dan Investasi/Staf Khusus Bidang Kelembagaan dan Media Jodi Mahardi, yang menganulir surat edaran tersebut.

"Surat edaran tersebut bertujuan memberikan rekomendasi kepada daerah apabila sudah dikategorikan sebagai daerah yang diperkenankan untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dapat melakukan pembatasan penggunaan moda transportasi untuk mengurangi pergerakan orang dalam upaya memutus rantai penyebaran COVID-19," tulis Jodi dalam keterangan tertulisnya.

Jodi menjelaskan jika berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020, untuk dapat dikategorikan sebagai wilayah PSBB, daerah tersebut terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dari Kementerian Kesehatan.

"Dengan demikian jika belum secara resmi mendapatkan persetujuan Kemenkes mengenai status PSBB, daerah belum dapat melakukan pembatasan transportasi," kata dia.

Tak berapa lama, Kementerian Perhubungan melalui Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati juga mengeluarkan keterangan tertulis, terkait surat edaran BPJT soal pembatasan penggunaan moda transportasi di Jabodetabek perihal pencegahan penyebaran COVID-19.

Adita menjelaskan surat edaran tersebut bertujuan memberikan rekomendasi kepada daerah, apabila sudah dikategorikan sebagai daerah yang diperkenankan untuk melakukan PSBB.

"(Kepala daerah) dapat melakukan pembatasan penggunaan moda transportasi untuk mengurangi pergerakan orang dalam upaya memutus rantai penyebaran COVID-19," kata dia.

3. Pejabat Istana keluarkan pernyataan berbeda soal larangan mudik Lebaran

Plintat-Plintut Istana Perangi Virus Corona(IDN Times/Arief Rahmat)

Sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan virus corona sebagai pandemi, sekitar dua pekan lalu, pemerintah Indonesia melalui juru bicara penanganan COVID-19 mengeluarkan pernyataan agar masyarakat di wilayah Jakarta dan sekitarnya, tidak pulang kampung untuk memutus mata rantai penularan virus corona.

Setelah melakukan rapat terbatas pada Kamis (2/4), Juru Bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman, mengatakan pemerintah tak melarang pemudik pulang kampung saat Lebaran Idul Fitri 2020. Namun, para pemudik akan berstatus Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan harus isolasi mandiri selama 14 hari di rumah.

"Presiden Joko Widodo menegaskan tidak ada larangan resmi bagi pemudik Lebaran Idulfitri 2020 M/1441 H. Namun, pemudik wajib isolasi mandiri selama 14 hari dan berstatus Orang Dalam Pemantauan (ODP) sesuai protokol kesehatan (WHO) yang diawasi oleh pemerintah daerah masing-masing," kata Fadjroel dalam keterangan tertulisnya, Kamis (2/4).

Fadjroel mengatakan, kebijakan pemerintah tersebut senada dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

"Selain itu, pemerintah pusat akan menggencarkan kampanye secara besar-besaran untuk tidak mudik, agar bisa menahan laju persebaran virus korona atau COVID-19. Kampanye ini melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan publik figur," kata dia.

Tak hanya itu, Fadjroel juga menyampaikan Presiden Jokowi memerintahkan kepala pemerintah daerah membuat kebijakan khusus mengenai pemudik. Kebijakan tersebut harus sesuai protokol kesehatan WHO.

"Mengutip data Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, pada 2019 lalu pemudik yang pulang ke Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan daerah lain, berjumlah 20.118.531 orang," kata dia.

Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga ikut angkat bicara perihal larangan mudik Lebaran. Luhut tidak mengatakan dengan lugas apakah masyarakat boleh mudik atau tidak. Dia hanya menyebut, tak ada larangan dari pemerintah, tetapi pemerintah juga tetap mengimbau agar warga tak mudik.

"Pertimbangan utamanya, orang kalau dilarang pun mau mudik saja," kata Luhut dalam keterangan persnya yang disiarkan langsung di channel YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (2/4).

Kendati belum ada aturan resmi soal mudik di tengah pandemi virus corona, Luhut mengatakan, pemerintah akan terus mengingatkan bahwa bisa saja orang yang mudik menjadi pembawa virus corona ke kampung halamannya. Pemerintah butuh kesadaran masyarakat.

"Jadi kami imbau kesadaran bahwa kalau Anda mudik, pasti bawa penyakit. Hampir pasti bawa penyakit, dan kalau bawa penyakit, di daerah bisa meninggal, bisa keluargamu. Makanya kami anjurkan tidak mudik," ujar Luhut.

Usai Fadjroel mengeluarkan pernyataan soal mudik, malam harinya, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno juga buka suara. Pratikno mengklarifikasi pernyataan Fadjroel yang mengatakan warga diperbolehkan mudik ke kampung halaman, tetapi akan berstatus ODP.

Pratikno mengatakan pemerintah selama ini berupaya agar masyarakat tak pulang ke kampung halaman mereka. Imbauan tersebut sudah disampaikan pemerintah guna mencegah penyebaran virus corona semakin meluas. Pemerintah juga sudah menyiapkan bantuan sosial agar masyarakat tak perlu mudik.

"Dan pemerintah menyiapkan bantuan sosial yang diperbanyak penerima manfaatnya dan diperbesar nilainya kepada masyarakat lapisan bawah," kata Pratikno dalam keterangan tertulisnya, Kamis (2/4) malam.

Menurut Pratikno, hal itu sejalan dengan keputusan pemerintah untuk menerapkan PSBB dan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Jaga jarak aman, dan ikuti protokol pencegahan penyebaran COVID-19 harus menjadi perhatian masyarakat saat ini.

Pemerintah kini sedang menggodok aturan mudik Lebaran. Banyak kebijakan yang mungkin dikeluarkan terkait hal ini, seperti adanya pengganti libur Lebaran pada akhir tahun, pemudik sepeda motor tidak boleh berboncengan, pemudik mobil sedan paling banyak dua orang, hingga pemudik yang menggunakan bus harus diisi stengah kapasitas penumpang dengan harga tiket lebih mahal. Kita tunggu keputusannya.

4. Jika pejabat Istana tak kompak terus, rakyat tidak akan percaya pada pemerintah

Plintat-Plintut Istana Perangi Virus Corona(IDN Times/Arief Rahmat)

Melihat tak kompaknya kebijakan pemerintah mengenai penanganan COVID-19, Direktur Eksekutif Indonesia Politican Review Ujang Komarudin sudah memprediksinya. Menurut dia, sejak dari dulu Istana memang dikenal tak kompak. Anak buah Jokowi selalu ingin tampil masing-masing.

"Kasihan Jokowi. Para anak buahnya komentar sendiri-sendiri yang berbeda dengan komentar Presiden," kata Ujang saat dihubungi IDN Times, Jumat (5/4).

Ujang memprediksi, jika pejabat pemerintah terus-terusan tidak kompak seperti ini, akan berbahaya ke depannya. Ini bisa membuat masyarakat tak percaya pada pemerintah.

"Karena informasi dari Istana dianggap bias dan subjektif. Harusnya jika Presiden berkata A, anak buahnya juga harus komentar A. Jangan presidennya bilang A, anak buahnya bilang A-, A+, atau bahkan B," ujar dia.

Ujang mengganggap tidak kompaknya pejabat pemerintah akan membuat 'kapal' Jokowi oleng. "Kalau terus begitu, perahu Istana bisa goyang dan oleng," ujar dia.

5. Kata millennials: Kebijakan pemerintah ribet dan bikin bingung saat menghadapi virus corona

Plintat-Plintut Istana Perangi Virus CoronaInformasi mengenai Lockdown (IDN Times/Arief Rahmat)

Plintat-plintutnya pejabat pemerintah dalam menghadapi pendemi virus corona tentu membuat rakyat bingung. Seperti yang disampaikan Tasya Wardhani, ia mengatakan imbuan-imbauan pemerintah sejak awal dianggap ribet dan membingungkan.

"Anjuran-anjuran kita tuh dari awal ribet physical distancing lah, social distancing lah. Kenapa gak pakai istilah dengan bahasa Indonesia atau bahasa yang lebih dimengerti sama masyarakat umum. Jelasin aja, kita harus apa, misalnya, jaga jarak ya biar corona gak nular. Jangan keluar rumah, soalnya corona nyebarnya lewat apa dan sebagainya," kata Tasya kepada IDN Times.

Perempuan 26 tahun itu juga mengkritisi tentang istilah PSBB, yang menurut dia, terlalu ribet dan membingungkan.

"Tegasin aja, poinnya apa. Pakai bahasa yang ringan. Gak semua paham bahasa di undang-undang, terutama masyarakat-masyarakat kelas bawah. Udah tahu tingkat literasi kita rendah, pakai bahasa ribet amat," ujar Tasya.

Senada dengan Tasya, Afif Reza, juga menilai kebijakan pemerintah tentang penanganan virus corona dianggap membingungkan.

"Membingungkan. Menkes entah kemana, presiden dikoreksi Sesneg, koruptor dibebaskan, pemerintah pusat dan daerah gak kompak," tutur Afif saat dihubungi IDN Times.

Sementara, Citra Vita menyebutkan kebijakan pemerintah dalam menangani wabah virus corona sulit diterapkan. Menurut perempuan 26 tahun itu, perbedaan yang ada di kalangan masyarakat menjadi alasan kebijakan pemerintah tak bisa diterapkan.

"Misalnya kayak imbauan untuk isolasi diri di rumah. Kan gak semua orang bisa terapin. Soalnya memang banyak dari masyrakat kan gak punya penghasilan tetap, mereka tetap harus kerja tiap hari buat dapet penghasilan. Akhirnya kebijakan itu gak berjalan sesuai harapan," kata dia.

"Terus ada kebijakan untuk penangguhan pinjaman selama satu tahun, menurutku itu belum dibahas secara matang sama pemerintah tapi sudah diumumkan," lanjut Citra.

Menurut dia, pemerintah harus menjelaskan semua kebijakan dengan gamblang agar tak membingungkan rakyat.

"Kalau emang ada ketentuan-ketentuannya harus di jelaskan juga diawal biar gak bingung untuk masyarakatnya," kata Citra.

Senada dengan Citra, Dony Cahyono menganggap kebijakan pemerintah blunder. Terutama mengenai pencegahan virus corona. Dia menyayangkan pemerintah telat memberikan informasi tentang penanganan virus corona.

"Pemerintah sudah melakukan upaya-upaya yang memang jos, seperti melakukan informasi atau update pencegahan dan sebagainya. Tapi kelemahannua adalah terlalu lelet," ujar Dony.

"Dari dulu Pak Menteri Terawan percaya diri banget Indonesia akan bebas corona. Gak perlu panik. Harusnya dari dulu kita kayak gimana sudah tahu. Harusnya social distancing diumumkan sebelum ada kasus corona pertama," tutur pria 27 tahun itu.

Selain mengkritisi tentang terlambatnya pencegahan COVID-19, Dony juga mengkritisi tentang penanganan pemerintah pada pendami ini yang tidak merata, seperti alat perlindungan diri (APD).

"Penanganan pemerintah tidak merata. Seperti APD kurang, alat-alat juga kurang, kasian tenaga medis yang meninggal. Orang-orang yang belum ditangani juga banyak," ucap Dony.

https://www.youtube.com/embed/aUrK9HlKpD8

Baca Juga: Tidak Hanya Dokter, Enam Perawat Meninggal, Satu Positif COVID-19

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya