Pakar Hukum: Gaya Politik Presiden Jokowi dan Soeharto Sama

Merangkul mayoritas partai untuk menguasai hal tertentu

Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai gaya politik Presiden Joko "Jokowi" Widodo saat ini sama seperti Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto sebelum Reformasi. Menurut dia, gaya politik Jokowi yang merangkul mayoritas partai untuk menjadi pendukungnya, bisa menjadi salah satu langkah untuk memuluskan rencana amandemen UUD 1945 soal jabatan presiden tiga periode.

"Bukan tidak mungkin Presiden Jokowi yang punya asal kampung yang sama dengan Presiden Soeharto dan gaya politiknya hampir sama yaitu saat ini sudah berusaha membuat partai mayoritas tunggal yang kemudian menguasai berbagai hal," kata Feri dalam diskusi Political and Public Policy Studies (P3S) secara daring, Kamis (11/3/2021).

"Bukan tidak mungkin kalau kemudian seluruh partai sudah bergabung di tangan presiden, lalu kemudian akan ada perbincangan soal amandemen 1945 dan itu sudah berlanjut," tambahnya lagi.

Baca Juga: Presiden Jokowi Hapus Limbah Batu Bara dari Kategori Bahan Beracun

1. Jika jabatan presiden tiga periode terlaksana, memungkinkan adanya pembahasan empat periode

Pakar Hukum: Gaya Politik  Presiden Jokowi dan Soeharto SamaPresiden Jokowi pimpin rapat terbatas di Istana Merdeka pada Senin (19/10/2020) (Dok. Biro Pers Kepresidenan)

Feri menjelaskan bahwa presiden adalah orang yang memegang kekuasaan tertinggi di pemerintahan. Apabila rencana jabatan presiden tiga periode terlaksana, akan memungkinkan adanya pembicaraan tentang jabatan empat periode.

"Mungkin setelah tiga periode, akan ada bicara empat periode. Karena kekuasaan itu selalu menggoda, tidak akan luput dari Presiden Jokowi dan orang-orang di lingkaranya untuk tergoda," ucap Feri.

Baca Juga: Moeldoko Bikin Ribet? Ini 3 Alasan Jokowi Diam di Kisruh Demokrat

2. Pemerintah harus pahami makna adanya jabatan presiden yang dibatasi

Pakar Hukum: Gaya Politik  Presiden Jokowi dan Soeharto SamaPresiden Joko Widodo didampingi Wapres Ma'ruf Amin berfoto bersama jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju yang baru dilantik di tangga beranda Istana Merdeka, Jakarta, pada 23 Oktober 2019. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Oleh karena itu, Feri menuturkan bahwa pemerintah juga harus memahami kenapa ada batasan jabatan presiden dalam UUD 1945. Hal itu juga belajar dari masa Presiden Soeharto yang memaknai kepemimpinannya terlalu berlebihan.

"Kalau kemudian kehadiran perbaikan Pasal 7 UUD itu kemudian dicoba untuk diubah oleh kekuasaan presiden saat ini, maka kita gagal memahami kenapa masa jabatan presiden dibatasi oleh konstitusi dan dampak apa yang ditimbulkan karena perpanjangan masa jabatan itu," tutur Feri.

3. Kepemimpinan Presiden Soeharto ditambah dengan alasan rakyat yang menginginkan

Pakar Hukum: Gaya Politik  Presiden Jokowi dan Soeharto SamaIlustrasi Soeharto (IDN Times/Mardya Shakti)

Feri mengungkapkan, saat kepemimpin Presiden Soeharto memasuki periode ketiga, pembahasannya adalah keinginan rakyat. Dalam perjalanannya, jabatannya tidak hanya berhenti tiga periode dan terus berlanjut.

"Presiden Seharto begitu ingin masuk periode ketiga, pembahasannya adalah bahwa rakyat yang menginginkan, bapak sudah melakukan banyak hal, terutama pembangunan. Lalu, untuk tiga periode ini kurang lebih yang terakhir. Nah faktanya, berlanjut terus," kata Feri.

"Saya itu diskusi tentang perubahan UUD dengan berbagai isu sudah dua tahun. Akhirnya selalu ada kaitan dengan masa jabatan. Ini menurut saya akan menjadi keterlaluan, inkonstitusional, sepertinya seolah-olah negara ini kekurangan kader untuk jadi presiden," imbuhnya.

4. Isi Amandemen Pasal 7 UUD 1945 terkait jabatan presiden dan wakil presiden

Pakar Hukum: Gaya Politik  Presiden Jokowi dan Soeharto SamaIDN Times/Kevin Handoko

Sebagai informasi, Amandemen UUD 1945 telah dilakukan sebanyak empat kali setelah berakhirnya Orde Baru, yaitu pada 1999, 2000, 2001, dan 2002. Amandemen UUD 1945 Pasal 7 Amandemen UUD 1945 pertama dilakukan tahun 1999.

Salah satu pasal yang penting dan diamandemen pada Sidang Umum MPR 1999 yaitu Pasal 7 tentang Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Sebelum amandemen, tertulis di Pasal 7 UUD 1945 bahwa presiden dan wakilnya memiliki masa jabatan selama lima tahun. Apabila telah selesai, dapat dipilih kembali tanpa ada batasan berapa kali periode diperbolehkan menjabat.

Dikutip dari situs dpr.go.id, berikut bunyi teks Pasal 7:

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan

Sementara, bunyi Pasal 7 yang telah diamandemenkan itu berubah dari bunyi Pasal 7 di dalam teks yang asli. Sebagai berikut:

Pasal 7

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali

Kemudian, pada 2001, amandemen UUD 1945 kembali dilakukan. Kali ini menambahkan Pasal 7A, 7B dan 7C. Berikut bunyi pasal-pasal tersebut:

Pasal 7A

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pasal 7B

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.

(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Pasal 7C

Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya