Pasal Hina Presiden, Yasonna: Kritik Boleh, Jangan Serang Personal
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan pasal penghinaan presiden harus dipertahankan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP). Sebab, jika dibiarkan masyarakat akan liberal atau bersifat bebas.
"Di beberapa negara, di Thailand lebih parah. Jangan coba-coba menghina raja, itu urusannya berat. Bahkan, di Jepang dan beberapa negara hal yang lumrah," kata Yasonna.
Baca Juga: Benny Sindir Mahfud: Berubah Sikap soal Pasal Penghinaan Presiden
1. Masyarakat diminta kritik kebijakan, bukan menyerang personal
Yasonna mengatakan, meski ada pasal penghinaan presiden di RKUHP, pemerintah tetap tidak membungkam kebebasan berpendapat masyarakat. Menurutnya, masyarakat bebas mengkritik kebijakan pemerintah, tapi tidak dengan menyerang personal presiden atau wakil presiden.
"Mengkritik presiden itu sah, kritik kebijakan sehebat-hebatnya kritik. Bila tidak puas ada mekanisme konstitusi. Tapi sekali soal personal, yang kadang-kadang dimunculkan, presiden kita dituduh secara personal dengan segala macam isu itu, dia tenang-tenang saja," ujar dia.
2. Pasal penghinaan presiden bukan hanya untuk Jokowi, tapi untuk presiden-presiden mendatang
Editor’s picks
Kendati, Yasonna menyebut, selama ini Presiden Joko "Jokowi" Widodo tidak pernah mempermasalahkan jika pasal penghinaan presiden dihapuskan. Namun, lanjut dia, pasal penghinaan presiden dihidupkan kembali bukan hanya untuk Presiden Jokowi, melainkan untuk presiden-presiden mendatang.
"Beliau katakan, beliau tidak ada masalah dengan pasal ini. Tapi apa kita biarkan presiden yang akan datang digituin? Mungkin saja satu di antara kita jadi presiden," ucap dia.
3. Pasal penghinaan presiden agar ciptakan demokrasi yang beradab
Yasonna menegaskan, pasal penghinaan presiden kali ini masuknya ke delik aduan dan bukan delik biasa. Hal itu, guna membangun demokrasi yang beradab.
"Gak bisa kebebasan itu sebebas-bebasnya, bukan sebuah kebebasan, itu anarki. Wah demokrasi liberal, memang arah kita mau ke sana. Free for all, all for free. Saya kira kita harus ada batas-batas yang harus kita jaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab," Yasonna menuturkan.
Baca Juga: Arsul Sani Dukung Pasal Penghinaan Presiden di KUHP