Pasal Penghinaan Presiden, MK: Tidak Selaras dengan Konstitusi

Pasal ini sudah dihapus pada 2006

Jakarta, IDN Times - Pasal penghinaan terhadap presiden yang muncul dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai polemik publik. Sebab, pasal tersebut pernah dihapus Mahkamah Konstitusi pada 2006.

Pemerintah dan DPR berdalih pasal tersebut telah diubah dari delik aduan dan bukan delik biasa. Mereka mengklaim pasal tersebut kini tidak menabrak keputusan konstitusi.

1. MK menilai pasal penghinaan presiden tidak selaras dengan konstitusi

Pasal Penghinaan Presiden, MK: Tidak Selaras dengan KonstitusiPresiden Joko Widodo (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono menilai keputusan menghidupkan kembali pasal yang telah dihapus MK tidak selaras dengan konstitusi. Alasannya, pasal tersebut sudah dinyatakan inkonstitusional melalui MK pada 2006, sehingga sudah dikeluarkan dari sistem norma karena dinilai melanggar Undang-Undang Dasar (UUD).

"Tapi sekarang dimasukkan lagi dalam RKUHP, ya itu pilihan kebijakan hukum pembentuk UU yang jelas tidak selaras dengan UUD 1945 in casu (dalam perkara ini) melalui putusan MK," kata Fajar saat dihubungi IDN Times, Rabu (9/6/2021).

Baca Juga: Arsul Sani Dukung Pasal Penghinaan Presiden di KUHP 

2. Pasal penghinaan presiden yang disahkan bisa diuji kembali ke MK

Pasal Penghinaan Presiden, MK: Tidak Selaras dengan KonstitusiFOTO ANTARA/Dwi Prasetya

Kendati pasal tersebut telah dimasukkan ke dalam delik aduan, Fajar mengatakan hal itu tetap bisa membuat pasal tersebut diuji kembali di konstitusi bila disahkan kemudian hari.

"Mungkin dengan menyertakan argumentasi hukum baru. Jika itu kelak disahkan menjadi norma UU, tentu bisa diuji kembali konstitusionalitasnya," jelas Fajar.

3. Ancaman 4,5 tahun penjara jika menghina presiden dan wakil presiden

Pasal Penghinaan Presiden, MK: Tidak Selaras dengan KonstitusiIlustrasi Penjara (IDN Times/Mardya Shakti)

Sebagai informasi, pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), bersama DPR sepakat menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Draf RKUHP tersebut memuat atara lain aturan yang memungkinkan seseorang dipidana penjara selama 4,5 tahun atau denda paling banyak Rp200 juta jika menyerang kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden melalui media sosial.

Hal tersebut tertuang pada BAB II terkait Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden Pasal 219.

"Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," tertulis pada Draf RKUHP yang diperoleh IDN Times, Sabtu (5/6/2021).

Bukan hanya di media sosial, melakukan serangan di muka umum atau di luar media sosial juga bisa diancam hukuman pidana. Namun, tindak pidananya tak selama di media sosial, yaitu 3,5 tahun penjara atau denda paling banyak sebesar Rp200 juta yang tertuang pada Pasal 218 Ayat 1.

"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi Pasal 218 Ayat 1.

Tetapi, pasal tersebut tidak berlaku jika penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat 1, jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

"Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," bunyi Pasal 218 Ayat 2.

Ancaman penjara terhadap presiden atau wakil presiden baru akan berlaku jika adanya aduan, dan aduan tersebut harus dilakukan oleh presiden atau wakil presiden sebagaimana tertuang pada Pasal 220 Ayat 1 dan 2.

"Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 218 dan 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan," bunyi Pasal 220 Ayat 1. Sementara Pasal 220 ayat 2 berbunyi, "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.".

Baca Juga: Pemerintah Usul RKUHP dan RUU PAS Dicabut dari Prolegnas 2021

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya