Proses Legislasi UU Cipta Kerja Dinilai Terburuk Pasca-Reformasi

Perbedaan halaman naskah omnibus law ini dinilai hal invalid

Jakarta, IDN Times - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) menjadi praktik pembuatan undang-undang yang sangat buruk. Dia mencatat sejumlah poin tidak wajar dan menyalahi aturan dalam proses tersebut. 

"Jadi ini praktik yang sangat buruk dalam catatan kami, bahkan ini yang terburuk dalam proses legislasi selama ini. Terutama pasca-Reformasi," kata Bivitri dalam diskusi Populi Center dan Smart FM, Sabtu (17/10/2020).

1. Pembahasan UU menabrak aturan yang ada dalam UU Nomor 12 Tahun 2011

Proses Legislasi UU Cipta Kerja Dinilai Terburuk Pasca-ReformasiInfografis UU Cipta Kerja Usai Ketuk Palu (IDN Times/Arief Rahmat)

Bivitri menerangkan dari segi pembahasan, UU Cipta Kerja ini sebenarnya telah menabrak aturan yang ada dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 dan tata tertib DPR RI. Karena, persetujuan di tingkat I atau di tingkat Baleg DPR RI terjadi pada tengah malam.

"Persetujuan tingkat I itu yang terjadi di RUU Cipta Kerja pada hari Sabtu 3 Oktober di atas jam 10 malam. Ini tidak wajar," ujar dia.

Baca Juga: Bank Dunia Dukung Pemerintah Indonesia Terapkan Omnibus Law 

2. RUU yang mau disahkan harus sudah ada draf final

Proses Legislasi UU Cipta Kerja Dinilai Terburuk Pasca-ReformasiMahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa (KM) Universitas Pakuan Bogor melakukan long march menolak UU Cipta Kerja atau Omnibus Law dari Tugu Kujang menuju jalan Pajajaran, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (14/10/2020) (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah)

Persoalan mengenai naskah UU Cipta Kerja juga disoroti oleh Bivitri. Sebagaimana diatur dalam UU, kata dia, seharusnya sebelum disahkan di pembahasan tingkat I, rancangan perundangan yang akan diparipurnakan harus memiliki draf final.

"Biasanya di tingkat I ada naskah lengkapnya. Nah, ini kita tahu terlalu terburu-buru," ucap Bivitri.

3. Rapat paripurna yang mendadak dimajukan dianggap menyalahi prosedur

Proses Legislasi UU Cipta Kerja Dinilai Terburuk Pasca-ReformasiUnjuk rasa menolak Omnibus Law UU Ciptaker di Makassar. IDN Times/Sahrul Ramadan

Lebih lanjut, Bivitri juga menyinggung masalah rapat paripurna yang dimajukan dari tanggal 8 Oktober 2020 menjadi 5 Oktober 2020. Apalagi hal itu dilakukan, tanpa pemberitahuan yang jelas.

"Ini juga menyalahi prosedur. Jadi tanggal 3 dikebut, ini tentu saja belum siap," tambahnya.

Baca Juga: Surat Terbuka Menteri LHK Siti Nurbaya soal Omnibus Law Cipta Kerja 

4. Perbedaan halaman naskah UU Ciptaker dianggap hal invalid

Proses Legislasi UU Cipta Kerja Dinilai Terburuk Pasca-ReformasiMenko Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) bersama Menkumham Yasonna Laoly (tengah) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) menghadiri pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10/2020) (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Menyoal jumlah halaman draf yang berubah-ubah mulai dari 905 halaman, 1052 halaman, 1035 halaman, dan terakhir 812 halaman juga dianggapnya hal invalid. Dia menuturkan, alasan mengganti kertas dari A4 ke folio tak masuk akal. Menurutnya, masing-masing draf justru memiliki perbedaan substansi.

"Masing-masing punya perbedaan secara substansi juga berbeda. Nah ini jelas melanggar prosedur. Ketuk palu bukan cuma seremoni ya," ucap dia.

"Demokrasinya dalam sebuah negara demokrasi, itu semua persetujuan bersama wujud dari pasal 20 UUD 1945 ayat 2 bahwa setiap undang-undang itu persetujuan bersama antara presiden yang diwakili menterinya dengan anggota DPR. Nah, jadi ada makna besar dalam demokrasi kita," lanjut Bivitri.

Baca Juga: KSPI Ungkap Mengapa Buruh Hengkang dari Pembahasan Awal Omnibus Law

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya