Mungkinkah Judicial Review Batalkan Seluruh Omnibus Law Cipta Kerja?

Judicial review UU Cipta Kerja diprediksi makan waktu lama

Jakarta, IDN Times - Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya Klaster Ketenagakerjaan, menuai protes. Tidak hanya dari kalangan pekerja yang menolak poin-poin krusial dalam undang-undang itu, tetapi juga dari kalangan pakar hukum.

Mereka menyoroti proses pembentukan undang-undang tersebut hingga perubahan yang terjadi pada sejumlah pasal setelah UU itu disahkan DPR. Dukungan untuk dilakukan judicial review pun bermunculan. Pertanyaannya, apakah bisa UU ini dibatalkan secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi?

Dua pakar hukum, yakni Harkristuti Harkrisnowo yang juga guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Mas Achmad Santosa menyampaikan pandangannya soal ini dalam diskusi dengan Forum Pemred mengenai Omnibus Law UU Cipta Kerja, Kamis malam 15 Oktober 2020.

Menurut Harkristuti bisa saja uji materiil dan formil diajukan dalam judicial review ke MK. Hanya saja persoalannya, Omnibus Law UU Cipta Kerja sangat 'gemuk'. Setidaknya ada 79 Undang-undang dengan 1.228 pasal, yang meliputi 11 klaster. Klaster itu antara lain Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan Berusaha, Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Kemudahan Investasi dan Proyek Pemerintah, serta Kawasan Ekonomi Khusus.

Ia menduga butuh waktu yang tidak sebentar dalam proses judicial review mengingat banyaknya jumlah pasal. Sedangkan uji materi yang biasa dilakukan dengan jumlah pasal yang lebih sedikit saja memakan waktu hingga berbulan-bulan.

1. Hasil judicial review sangat tergantung pandangan hakim-hakim MK

Mungkinkah Judicial Review Batalkan Seluruh Omnibus Law Cipta Kerja?Ilustrasi pengesahan undang-undang. IDN Times/Arief Rahmat

Baca Juga: Bongkar Pasang Draf UU Cipta Kerja Usai Ketuk Palu di Paripurna

Menurut Harkristuti, judicial review terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja bisa bersifat materiil maupun formil. Kalau alasan materiil, yang perlu dilihat, apakah pasal-pasal yang ada di omnibus law ini inkonstitusional, atau bertentangan dengan konstitusi. Alasan materiil ini dalam pandangannya tidak akan mudah dijawab MK.

"Karena harus satu-satu melihatnya, mau pakai klaster boleh, tapi kalau dilihat semuanya dari segi materiil agak berat, karena yang diperiksa oleh MK adalah apakah dia konstitusional atau tidak. Jadi undang-undang ini dihadapkan pada rumusan-rumusan konstitusi. Saya ragu kalau secara jelas ada yang bertentangan, mungkin pekerjaan MK akan menjadi sangat berat," kata mantan dirjen Hak Asasi Manusia Kemenkum HAM itu.

Jika yang dipersoalkan adalah masalah prosedural dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak diikuti, sehingga bisa membatalkan seluruh undang-undang, ia juga ragu hal itu bisa terjadi. Sebab sepengetahuannya, pengajuan judicial review untuk beberapa pasal dalam sebuah undang-undang saja, butuh waktu lama. Ia menyontohkan uji materi pasal terkait KPK yang hingga kini belum ada putusannya sama sekali. Harkristuti menduga hal ini akan menimbulkan perdebatan cukup banyak nantinya.

"Prosedurnya seperti apa, itu harus disiapkan alat buktinya, surat-suratnya. Lalu pertanyaannya, apakah sudah cukup partisipasi publik? Apakah dalam setiap rapat itu, saya gak bisa bayangkan 1.200 itu rapatnya berapa kali, itu memang sudah mencakup semua pasal-pasal yang dimasukkan dalam omnibus law. Ini juga menurut agak susah dipertahankan. Tapi bukan tak mungkin, hanya saja butuh waktu lama," katanya.

Soal apakah 'bukti' adanya penambahan beberapa pasal setelah undang-undang itu diketuk palu bisa diajukan dalam proses pengujian ke MK, Harkristuti menilai, jika yang dipakai adalah pendekatan rigid dari hukum, seharusnya itu bisa dilakukan. Tetapi lagi-lagi yang harus dilihat adalah apakah perubahan itu bersifat substasi atau tidak, sehingga menyebabkan UU menjadi tidak sesuai dengan yang sudah disepakati bersama DPR dan pemerintah.

Keberhasilan judicial review itu sendiri, menurut dia, sangat tergantung dari semua pandangan hakim MK. Yang penting adalah apakah yang mengajukan judicial review bisa mengatakan bahwa ada pasal-pasal dalam konstitusi kita yang dilanggar dalam UU Cipta Kerja, karena yang selama ini yang disampaikan lebih karena tidak selaras dengan UU sebelumnya.

"Ada perubahan, tapi apakah perubahan itu berarti menabrak konstitusi. Saya juga gak berani jawab dengan jelas. Kayak misal, upah buruh. Apakah yang begini melanggar HAM, bertentangan dalam konstitusi. Ini akan memicu perdebatan panjang di MK sendiri. Saya rasa hakim-hakim MK juga belum sampai keputusan, sudah pada rontok rambutnya, ini sangat complicated," dia menjelaskan.

Meski begitu, Harkristuti sekali lagi menekankan, bahwa meskipun sangat 'gemuk', bukan tidak mungkin judicial review dilakukan. Tetapi memang akan memakan waktu yang tidak sedikit. "Dan, akan banyak sekali berkas yang harus dimajukan untuk judicial review. Ini bukan tidak mungkin, mungkin saja. Tetapi saya tidak bisa menjamin hasilnya," kata dia.

 

2. Tidak realistis mengajukan secara keseluruhan pasal-pasal dalam omnibus law ke MK oleh satu pihak

Mungkinkah Judicial Review Batalkan Seluruh Omnibus Law Cipta Kerja?Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (Dok. Istimewa)

Pakar hukum yang juga pengajar di Fakultas Hukum UI, Mas Achmad Santosa, uji materiil atau formil bisa saja diajukan ke MK dalam hal Omnibus Law Cipta Kerja. Namun, menurut dia, tidak terlalu realistis mengajukan secara keseluruhan pasal-pasal di omnibus law yang 'gemuk' ini oleh satu orang atau satu institusi. Dalam kasus UU Cipta Kerja ini memang dibolehkan pengajuan dilakukan oleh banyak pihak tergantung isunya masing-masing.

Namun Ota, begitu panggilannya, mengingatkan aturan dalam pasal 11 Peraturan MK Nomor 6 tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian UU yang menyebutkan, dalam kasus pengajuan yang berbeda-beda berkaitan dengan satu UU, hakim dapat melakukan penggabungan pemeriksaan persidangan. "Tapi dapat loh ya, saya anggap juga kalau digabungkan akan repot," kata Ota.

Penggabungan pemeriksaan persidangan dapat dilakukan berdasarkan tiga hal. Pertama, memiliki persamaan pokok permohonan. Kedua, memiliki keterkaitan materi permohonan. Ketiga, pertimbangan atas permintaan pemohon. "Tetapi kalau uji proses, uji formil, menurut saya, tidak bisa digabungkan. Tidak bisa dipecah-pecah, dilakukan sekaligus," kata dia.

Ota mengaku sependapat dengan Harkristuti dan mantan ketua MK, Jimly Asshiddiqie, yang berharap proses uji formil UU Cipta Kerja bisa dilakukan sehingga MK bisa memuat preseden baru agar ada kedewasaan dalam upaya membenahi peraturan perundang-undangan ke depan. "Khususnya omnibus law ini jadi penting, bermanfaat," katanya.

Ota juga menyoroti soal perubahan yang dilakukan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja. Menurut dia, berdasarkan pasal 72 UU 12 Tahun 2011 juncto UU Nomor 15 Tahun 2019 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, setelah RUU disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, maka pimpinan DPR akan menyampaikan RUU tersebut kepada presiden untuk disahkan menjadi UU dalam kurun waktu maksimal 7 hari.

Berdasar penjelasan pasal 72, tenggang 7 hari itu dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan RUU ke lembaran resmi presiden sampai ke penandatanganan, sehingga perubahan yang diizinkan berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Nomor 15 Tahun 2019, hanya sebatas perubahan yang bersifat teknis penulisan dan bukan substansi pengaturan di dalamnya.

"Kalau ditemukan ada penambahan materi yang sifatnya materiil, maka itu bisa diajukan sebagai uji proses bagian dari uji formil UU Cipta Karya ini," kata Ota.

 

3. Aturan omnibus law jangan gebyah uyah

Mungkinkah Judicial Review Batalkan Seluruh Omnibus Law Cipta Kerja?Ilustrasi buruh, pekerja (IDN Times/Arief Rahmat)

Terkait Klaster Ketenagakerjaan, Harkristuti menilai seharusnya tidak berlaku retroaktif. Ia berharap aturan baru ini tidak merugikan pekerja-pekerja yang selama ini sudah menjalani kewajibannya sebagai pekerja. Ketentuan-ketentuan ini harus jelas di dalam Peraturan Pemerintah yang akan dibuat sebagai turunan dari UU tersebut.

"Dalam PP itu harus dipastikan, jangan di-gebyah uyah, berlaku untuk semuanya. Orang baru mau masuk, orang yang baru masuk setahun disamakan dengan orang yang bekerja 20-30 tahun, saya sepakat bahwa itu unfair sekali. Tapi sekali lagi ini tergantung PP-nya seperti apa. Tadi kan berkali-kali Pak Hariyadi (Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani) bicara dialog antara pengusaha dengan pekerja menjadi sangat penting sekali," katanya.

Ota juga sependapat dengan Harkristuti, sebab pada prinsipnya retroaktif bersifat umum. "Jadi saya sepakat jangan sampai merugikan orang yang sebelumnya sudah nikmati fasilitas yang berbeda," kata dia.

Baca Juga: Jimly: Jika Tak Ada Naskah Final UU Cipta Kerja Bisa Jadi Celah di MK

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya