18 Mei 1998, Ketegangan Reformasi Mei Memuncak

#25TahunReformasi 5 hal penting terjadi saat itu

Jakarta, IDN Times - Tanggal 18 Mei 1998, hari-hari menegangkan dimulai. Senin pagi itu,
ratusan mahasiswa dan masyarakat datang ke DPR/MPR. Sebagian melilitkan pita merah di kepala. Mereka menyebut diri sebagai delegasi gerakan reformasi nasional. Tidak hanya ingin menyampaikan aspirasi, mereka datang untuk menduduki gedung DPR/MPR.

“Kami dari mahasiswa Universitas Indonesia memang datang ke Gedung DPR/MPR untuk
menyerahkan petisi kepada pimpinan. Yang penting masuk dululah, jadi kami mengatakan
tidak akan meninggalkan gedung kalau tuntutan tidak dipenuhi,” kata Rama Pratama dalam acara Ngobrol #SuaraMillennial tentang 20 Tahun Reformasi Mei 1998, di kantor IDN Media di Jakarta, 9 Mei 2018.

Rama yang pernah menjadi anggota DPR itu menjabat sebagai ketua Senat Mahasiswa UI pada Mei 1998. Apa saja yang terjadi saat ribuan mahasiswa dan kelompok pro-reformasi menduduki gedung berkubah itu?

Baca Juga: Profil 4 Mahasiswa Korban Penembakan Tragedi Trisakti 25 Tahun Lalu

1. Ketua DPR/MPR Harmoko menggelar jumpa pers meminta Presiden Soeharto Mundur

18 Mei 1998, Ketegangan Reformasi Mei MemuncakIDN Times/Alvita Wibowo

Langkah mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR diambil untuk mendesak DPR agar memanggil MPR menggelar Sidang Istimewa dengan agenda utama meminta
pertanggungjawaban Presiden Soeharto sebagai mandataris MPR. Siang harinya, Ketua DPR/MPR Harmoko didampingi wakil-wakilnya menggelar jumpa pers. Isinya, mencermati situasi terkini dan menyarankan Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Berikut pernyataan Harmoko sebagaimana dimuat di Majalah Panji Masyarakat saat itu.
Penulis hadir dalam jumpa pers tersebut. 

Pimpinan Dewan dalam rapat pimpinan telah mempelajari dengan cermat dan sungguh-sungguh perkembangan dan situasi nasional yang sangat cepat, menyangkut aspirasi masyarakat tentang reformasi, termasuk Sidang Umum MPR dan pengunduran diri Presiden.

Untuk membahas masalah tersebut, besok pada 19 Mei 1998 pimpinan Dewan akan
melaksanakan pertemuan dengan pimpinan fraksi-fraksi, hasilnya akan disampaikan kepada Presiden Soeharto. Mekanisme tersebut ditempuh sesuai peraturan tata-tertib Dewan karena dalam pengambilan keputusan pimpinan Dewan harus bersama-sama pimpinan fraksi-fraksi.

Dalam menanggapi situasi tersebut di atas, pimpinan Dewan baik ketua maupun wakil ketua, mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri. Pimpinan Dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan serta mewujudkan keamanan dan ketertiban supaya segala sesuatunya dapat berjalan secara konstitusional.

Sikap Harmoko ini berbeda jauh dengan puja-puji yang dia sampaikan saat Sidang Umum
MPR Maret 1998, ketika dia mengatakan mayoritas rakyat masih menghendaki Soeharto melanjutkan jadi presiden. 

Malam itu, mahasiswa mulai menginap dan ribuan delegasi, termasuk tokoh masyarakat tak putus mengalir ke DPR/MPR menyampaikan aspirasi agar Soeharto lengser keprabon.
Mundur.

2. Penyair WS Rendra membacakan puisi yang dibuatnya untuk menyemangati mahasiswa proreformasi

18 Mei 1998, Ketegangan Reformasi Mei MemuncakIDN Times/Sukma Shakti

Melihat ribuan mahasiswa mengalir ke gedung wakil rakyat, membawakan aspirasi masyarakat, penyair WS Rendra menciptakan sebuah puisi. Si Burung Merak, julukan untuk Rendra, juga membacakannya di sana.

Sajak Orang Kepanasan
By WS Rendra

Karena kami makan akar, dan terigumu menumpuk di gudangmu
Karena kami hidup berhimpitan, dan ruangmu berlebihan
Maka kita bukan sekutu
Karena kami kucel, dan kamu gemerlapan
Karena kami sumpek, dan kamu mengunci pintu
Maka kamu mencuri darimu
Karena kami terlantar di jalan, dan kamu memiliki semua keteduhan
Karena kami kebanjiran, dan kamu berpesta di kapal pesiar
Maka kami tidak menyukaimu
Karena kami tetap bungkam, dan kamu nyerocos bicara
Karena kami diancam, dan kamu memaksakan kekuasaan
Maka kami bilang tidak! Kepadamu.

Karena kami tidak boleh memilih, dan kamu bebas berencana
Karena kami bersandal, dan kamu bebas memakai senapan
Karena kami harus sopan, dan kamu punya penjara
Maka tidak! dan tidak! kepadamu
Karena kami arus kali, dan kamu batu tanpa hati
Maka air akan mengikis batu.

3. Presiden Soeharto menerbitkan Inpres yang berikan kewenangan besar kepada Jenderal Wiranto

18 Mei 1998, Ketegangan Reformasi Mei MemuncakIDN Times/Sukma Shakti

Pada 18 Mei, 25 tahun lalu, Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden No. 16 Tahun 1998, yang memberikan kewenangan kepada Panglima ABRI Wiranto untuk  mengambil tindakan apa pun sepanjang terkait dengan ketertiban dan keamanan. Inpres itu menunjuk Wiranto menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Kewaspadaan Nasional.

Di mata publik, surat itu bagaikan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar yang
memberikan kekuasaan tidak terbatas kepada Soeharto sebagai Panglima Komando
Keamanan dan Ketertiban. Supersemar ditandatangani Presiden Sukarno pada 11 Maret 1966. Soeharto menggunakan surat sakti itu untuk konsolidasi kekuasaan dan membangun rezim Orde Baru.

4. Situasi chaos, empat menteri koordinator bertemu dengan Presiden Soeharto

18 Mei 1998, Ketegangan Reformasi Mei Memuncak(Capture Buku Politik Huru Hara Mei 1998)

Karena situasi gonjang-ganjing, terutama karena kerusuhan 13-14 Mei 1998, menteri ekonomi mengaku kewalahan. Sebagaimana dikutip dari wawancara dengan Ginandjar
Kartasasmita, dalam bukunya "Managing Indonesia’s Transformation, An Oral History", situasi negara stagnan, ekonomi chaos setelah kerusuhan yang terjadi 14 Mei.

“Harga barang melesat, barang sulit didapat, karena pedagang China tidak ada,” kata
Ginandjar, yang saat itu menjadi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi. Kerusuhan mengancam warga Tionghoa.

Banyak di antara mereka yang memilih pergi ke luar negeri atau mengungsi dari Jakarta.

Dalam bukunya, Ginandjar menceritakan, “Situasi menjadi lebih parah karena hari itu beredar rumor bahwa Presiden akan mengumumkan keadaan darurat dan menggunakan kekuasaannya untuk melawan oposisi.”

Baca Juga: [WANSUS] Jejak Fahri Hamzah di Reformasi 98, Gerilya Bareng Amien Rais

5. Presiden Soeharto berjanji menyampaikan sikap pada 19 Mei 1998

18 Mei 1998, Ketegangan Reformasi Mei MemuncakIDN Times/Sukma Shakti

Jumpa pers pimpinan DPR/MPR cukup meredakan situasi demonstrasi mahasiswa di gedung wakil rakyat itu. Sesudah jumpa pers, sejumlah bus mengangkut mahasiswa kembali ke kampus mereka. Seratusan mahasiswa tinggal bermalam di gedung DPR/MPR menuntut Sidang Istimewa untuk melengserkan Presiden. Syarwan Hamid mengizinkan mahasiswa menginap di gedung wakil rakyat.

Malam harinya, Jenderal TNI Wiranto menyampaikan sikap ABRI terkait pernyataan
pimpinan DPR/MPR agar Presiden mundur adalah pendapat individu meskipun disampaikan secara kolektif. “Sesuai dengan konstitusi, pendapat seperti itu tidak memiliki ketetapan hukum. Pendapat DPR harus diambil oleh seluruh anggota dewan melalui Sidang Paripurna DPR,” kata Wiranto, di Markas Besar ABRI di Jalan Merdeka Barat.

Menurut Wiranto, “ABRI masih berpendapat bahwa tugas dan kewajiban mendesak
pemerintah yang menjadi tanggung jawab Presiden adalah melaksanakan reshuffle kabinet, melaksanakan reformasi secara menyeluruh, dan mengatasi krisis. Agar reformasi yang hendak dilakukan berjalan baik, ABRI menyarankan dibentuk Dewan Reformasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan masyarakat, terutama kampus dan tokoh-tokoh kritis. Dewan ini akan berdampingan dengan DPR dan bekerjasama secara intensif.”

Malam itu juga, melalui Kepala Bakin Mutojib, Soeharto mengatakan akan menanggapi
pernyataan pimpinan DPR/MPR keesokan harinya, pada 19 Mei 1998.

Topik:

  • Elfida
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya