Bagir Manan: Pers Harus Berpihak kepada Keadilan

Koreksi kekuasaan bagian demokrasi

Jakarta, IDN Times - Suatu hari di bulan Agustus 2021, Profesor Bagir Manan, demikian saya biasa menyebutnya, menelepon saya. Hampir dua tahun tidak bertemu muka, dalam pembicaraan singkat itu, mantan ketua Dewan Pers itu meminta saya berkumpul dengan komunitas pers membicarakan masalah aktual. “Lewat Zoom saja kan mudah dan murah,” katanya, seraya melanjutkan, “Situasi ini membutuhkan pikiran-pikiran sehat.”

Tak lupa, Bagir Manan yang juga mantan ketua Mahkamah Agung, mengingatkan agar pers memberikan perhatian kepada kepala daerah perempuan yang jumlahnya kian banyak. Sejak menjadi Ketua Dewan Pers pada tahun 2010, Bagir Manan memberikan perhatian khusus atas pentingnya peningkatan profesionalisme jurnalis perempuan. Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), yang saat ini saya pimpin, sejak itu pula menjadi bagian dari kegiatan pelatihan pengembangan profesi wartawan yang dilakukan Dewan Pers.

Saya dan teman-teman FJPI memenuhi keinginan Bagir Manan, dengan menggelar Sarasehan 80 Tahun Prof Bagir Manan, Politik Publik Pers, yang digelar pada Kamis (14/10/2021). Sehari sebelumnya, saya mewawancarainya secara khusus di rumahnya.

  • Bagaimana situasi demokrasi dan kemerdekaan pers di Indonesia saat ini?
Bagir Manan: Pers Harus Berpihak kepada KeadilanProf. Bagir Manan (IDN Times/Reynaldy Wiranata)

Baca Juga: Bagir Manan: Pers Harus Berani Turun Tangan Atasi Krisis Moral-Etika

Iya, khusus dulu tentang pers gitu ya, tema saya sederhana, tidak akan pernah ada pers yang bebas tanpa demokrasi, tidak akan pernah ada demokrasi tanpa kebebasan pers. Itu selalu dalil saya, jadi dua komponen itu tidak pernah bisa dipisah-pisahkan ya. Setiap bentuk membatasi kebebasan pers dia mempunyai konsekuensi terhadap sistem demokrasi khususnya, dan kalau sistem demokrasi dibatasi mempunyai masalah dia akan berakibat kepada soal sistem negara hukum, sistem hak asasi, sistem seluruh tatanan kehidupan bangsa kita.

Nah, karena itu menjaga kemerdekaan pers itu merupakan sesuatu hal yang merupakan tanggung jawab, bukan hanya tanggung jawab orang pers, tapi tanggung jawab dari seluruh bangsa ini, tanggung jawab baik pemerintah maupun siapa saja. Bahwa kebebasan pers itu ada batasnya, kita juga terima ya. Tetapi pembatasannya harus didasarkan satu rules of the games yang benar. Misalnya, didasarkan pada hukum, didasarkan kepada etika dan sebagainya. Nah itu Uni, kemudian saya karena itu sekadar cerita ketika saya menjadi hakim, sejumlah pejabat pers khusus perkara pidana pers itu tidak ada saya jatuhi hukuman, semua saya bebaskan.

Keyakinan saya terhadap demokrasi telah timbul sejak saya mahasiswa. Dan itu tumbuh baik karena saya kebetulan terlibat dalam aktivitas mahasiswa sebagai aktivis mahasiswa, baik extra-universiter maupun intra-universiter di almamater saya. Dan, kebetulan saya mendapat pembimbing akademis maupun non-akademis yang juga mencintai demokrasi dan itu mendidik saya gitu ya. Kemudian tentu karena belajar, dari segala sistem politik yang ada, memang yang paling sesuai dengan peradaban manusia itu ya si demokrasi itu. Nah, dalam salah satu tulisan yang nanti saya kasih ke Mba Uni, memang demokrasi tuh gak ada definisinya ya, karena dia sesuatu yang dinamis, tumbuh, berkembang, tetap ada pilar-pilarnya gitu ya.

Salah satu pilar besar demokrasi itu yang kemudian menjadi salah satu dasar bagi Indonesia itu yang bersumber pada semua founding fathers kita ya, tapi khusus saya akan sebut Bung Karno dan Bung Hatta bahwa demokrasi itu dalam berkembang harus menjelmakan dua aspek, yaitu demokrasi politik, dan demokrasi sosial atau demokrasi ekonomi. Nah, dan itu semua tercantum dalam konstitusi kita. Tapi fenomena kita, bahwa dua aspek demokrasi itu, menurut kesan saya tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam mana substantif, dalam mana demokrasi sebagai nilai, dalam mana demokrasi sebagai peradaban.

Dalam aspek politik, kita sudah memegang demokrasi tapi dalam hal-hal yang sifatnya prosedural. Misalnya demokrasi itu dikaitkan dengan kebebasan, memang kita ada kebebasan, demokrasi itu dikaitkan dengan kehendak rakyat ya, dalam hal tertentu memang sudah menjelma, presiden kita pilih, kita punya anggota DPR, yang dipilih oleh rakyat, kembali pada contoh kitab undang-undang dibuat oleh bagi rakyat. Tapi substansinya tidak mencerminkan itu, mengapa? Kita ambil contoh pembuatan undang-undang. Kalau kita bicara bahwa mestinya undang-undang dibuat sesuai kebutuhan rakyat, ini dipertanyakan ya.

Misalnya, Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan saat pandemik ini, saya membayangkan justru nanti akan kesulitan sendiri melaksanakannya itu kalau begitu banyak aspek yang dilaksanakan itu gitu ya. Akhirnya karena begitu banyak aspek, tidak terlaksana sebagaimana mestinya atau menyimpang dari ide dasarnya yang barangkali dengan niat baik itu.

Itu kita, demokrasi kita, pada tingkat demokrasi politik itu prosedur benar tapi substansinya, misalnya saya beri contoh lain, salah satu tatanan demokrasi adalah etika, kehidupan etika, kehidupan etik. Apakah demokrasi kita yang dijalankan sebagaimana mestinya sudah memenuhi unsur etik? Atau hanya sekadar bahwa agar kita duduk dengan pemerintah sekadar ikut berkuasa tapi prinsip etiknya yaitu tanggung jawab pada publiknya itu bagaimana gitu ya. Misalnya anggaran belanja, yang didahulukan fasilitas, untuk para wakil dan sebagainya gitu ya. Itu barangkali ini perubahan attitude kita untuk kematangan demokrasi itu penting.

  • Jadi mengapa kualitas demokrasi menurun?
Bagir Manan: Pers Harus Berpihak kepada KeadilanProf. Bagir Manan (IDN Times/Reynaldy Wiranata)

Mengapa kualitasnya menjadi tidak baik, karena sumbernya, yaitu partai politik itu sendiri, tidak mau punya platform yang baik, tidak mempunyai suatu apa, ideal tertentu yang harus dicapai gitu ya, program tertentu. Hanya sekadar berusaha mendapat wakil sebanyak-banyaknya. Sehingga unsur popularitas, unsur yang dapat mempengaruhi, itu yang didahulukan, unsur popularitas misalnya karena dia adalah orang yang populer, orang yang apa (tertentu) direkrut.

Kemudian unsur kemampuan orang yang bisa membiayai untuk operasi, sehingga ada istilah wani piro, macam-macam. Seperti itu, dan itu sangat mempengaruhi itu ya. Kemudian pada aspek sosial di demokrasi, yang juga merupakan pilar demokrasi Indonesia juga kok ga terlaksana dengan semestinya. Di dalam salah satu buku dikatakan, salah satu unsur kokohnya Amerika itu adalah karena besarnya jumlah orang yang sejahtera. Sebagai negara yang besar jumlah orang yang sejahtera,. Mengapa? karena orang yang sejahtera itu karena orang yang menjadi lebih moderat sikapnya gitu, jadi lebih terbuka, lebih bersabar, jadi itu unsur-unsur demokrasi.

Saya ambil contoh lain, bagaimana ukuran kesejahteraan itu dengan berkembangnya demokrasi. Ketika usai perang dunia ke-II, di negara-negara Eropa, Prancis, Italia, negara Belanda, partai komunis itu kuat sekali gitu, bahkan mereka cukup besar di parlemen, tetapi antara lain di-trigger oleh Marshall Plan yang menghidupkan kegiatan ekonomi Eropa, Eropa Barat itu. Pada tahun 50-an misalnya, ada negara itu yang sudah dikatakan lebih sejahtera daripada sebelum perang dunia ke-II. Semua partai komunis di negara-negara itu mundur total sejak itu tidak pernah bangkit lagi.

Jadi ada hubungan antara kemiskinan dengan kualitas demokrasi. Tapi apakah politik kita sekarang ini mempunyai orientasi kuat terhadap kesejahteraan? Betul, kita tidak bisa menepikan misalnya ada bantuan desa, macam-macam ya, ada kesehatan, ada apa, kita tidak dapat menepikan itu, Tapi apakah itu sudah mengubah kehidupan rakyat kita yang di desa dan sebagainya sejahtera gitu? Sebab, bantuan tidak cukup dengan membantu itu.

Bung Hatta mengatakan demokrasi sosial, demokrasi ekonomi itu, pembangunan sosial itu adalah untuk menjadikan rakyat itu self help, diambil dari sosialis Inggris ya, untuk menjadikan orang itu menjadi mandiri, mempunyai harga diri. Kita berikan bantuan miliaran kepada mereka, tapi mereka tidak mengerti bagaimana menggunakannya, bagaimana manajemen sebagainya, sehingga itu tidak mengubah tata kehidupan mereka. Karena itu saya katakan, dalam bantuan yang besar itu, harus diselesaikan dengan bimbingan masyarakat itu. Masyarakatnya harus dibimbing, masyarakat harus diajari bagaimana.

  • Bagaimana Anda menilai KPK dan komitmen pemberantasan korupsi saat ini? Setelah heboh 58 orang dinyatakan tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan?
Bagir Manan: Pers Harus Berpihak kepada KeadilanIlustrasi aksi protes terhadap KPK (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Saya sedih itu mengenai KPK ya, kita dulu artinya para pendukung mendirikannya badan khusus untuk korupsi itu. Kita berharap bahwa itu diisi dengan orang-orang yang penuh integritas ya. Yang betul-betul ingin menjadikan negara ini bersih gitu ya. Tapi kok, terjadi misalnya kasus apa, Azis Syamsudin di mana terlibat orang-orang dalam KPK, sebelumnya sudah ada yang diadili

Ya, jadi artinya ada hal yang di mana letak salahnya, karena ternyata bisa dimasuki oleh orang yang seperti itu. Salahnya, pertama tentu saja dalam sistem seleksi ya, di mana mungkin ada pengaruh hubungan politik, hubungan sosial, kemungkinan begitu. Tapi juga unsur sistem budaya, ini berpengaruh. Mungkin mereka terdiri dari orang baik, tapi di belakang itu ada orang kotor ini, ya jadi kotor juga. Kalau benar, misalnya, si Azis Syamsudin yang punya orang dalam segala macam, kalau benar itu kan. Bahkan terjadi hal-hal yang mereka membuat kericuhan internal sendiri. Contohnya persoalan ASN ini, TWK ini.

Jadi ini persoalannya begini, kalau kita bicara samakan dengan hukum, apa wewenang mereka membuat tes seperti itu? Karena itu jadi unsur syarat menjadi pegawai, unsur syarat menjadi pegawai harus diatur dengan undang-undang. Tidak bisa diatur dengan kebijakan-kebijakan lingkungan itu sendiri gitu ya. Itu menciptakan aturan sendiri yang aturan dasarnya ada dalam undang-undang. Buat jadi pegawai negeri itu lulus tes ini ini ini, ya sudah. Kedua mereka itu sudah menjadi pegawai negeri, kan udah pegawai negeri itu, kok diuji lagi? Nah kalau pun, menurut saya, kalau pun dia menganggap berwenang membuat tes itu, itu tidak boleh berlaku itu sebagai hukum, tidak boleh berlaku pada mereka yang memang sudah di sana, kalau menerima pegawai baru ya silakan pakai itu. Itu azas yang paling dasar.

Lantas sekarang Kapolri bilang mau akomodir yang tidak lulus TWK dan tidak bisa berkiprah di KPK lagi. Saya mengerti, beliau ingin menyelesaikan persoalan itu. Tapi menyelesaikan persoalan itu telah melanggar prinsip-prinsip yang baku. Misalnya, bagaimana orang yang sudah dinyatakan, dipecatlah bahasanya sebagai pegawai negeri diterima di sini juga sebagai pegawai negeri bagaimana ini sistem negara. Ini sudah negara dalam negara atau bagaimana ini?

Jadi itu tidak bisa, harus ada porsi umum, yang menyatakan bahwa dari pemerintah ini tidak boleh, harus ada kepastian, nanti lembaga yang lain membuat tes apa gitu ya, tes bisa jadi imam salat. Kan bahaya sekali itu ya, hal-hal seperti itu apalagi materi muatannya juga belum teruji, ya materi-materi muatan tes apa ya namanya itu wawasan dan kebangsaan itu materi-materi muatannya apakan belum teruji, karena belum diatur dengan satu peraturan. Saya pikir hal-hal ini bisa menimbulkan, ya begitulah, krisis fungsi pemerintahan gitu ya. Itu tidak boleh dibiarkan, nanti pun kepala daerah membuat tes sendiri-sendiri kan.

  • Kemerdekaan berekspresi jadi sorotan, kala aparat melarang kritik lewat mural misalnya. Mereka yang kritis ke kekuasaan dijerat pasal UU ITE. Bagaimana ini?
Bagir Manan: Pers Harus Berpihak kepada KeadilanWarga melintas di depan mural wajah-wajah Presiden Indonesia dari Soekarno hingga Joko Widodo di Kampung Jagalan, Solo, Jawa Tengah, Kamis (13/8/2020). Selain sebagai sarana edukasi tentang sosok tujuh presiden Indonesia, hiasan mural tersebut juga untuk menyambut HUT ke-75 RI dan sebagai tempat swafoto bagi pengunjung kampung tersebut (ANTARA FOTO/Maulana Surya)

Freedom of expression, salah satu wujud nyata kebebasan pers, kebebasan berpendapat gitu ya. Nah, benar sekali apa yang dikatakan Mba Uni, bahwa sepertinya kita sensitif sekali, mudah sekali merasa bahwa, “Oh, ini mencemarkan nama baik,”. Mudah sekali mengatakan bahwa, “Wahh…” macam-macam gitu, ya.

Saya sering dalam diskusi dengan mahasiswa mengenai pembaharuan hukum, masa Hindia-Belanda. Misalnya, yang dikenal dengan delik kebencian, delik merendahkan martabat. Itu zaman Belanda yang dipakai namanya, bahasa Belanda-nya Haatzaai Artikelen, pasal-pasal kebencian.

Dan itu salah satu alat, waktu zaman Belanda dulu, mau menjaring pers begitu, ya. Menjaring pers, ya. Yang kalau ngekritik, sudah kamu kena pasal, ya.

Tapi menyadari itu, bahwa itu adalah alat kolonial. Waktu awal-awal kemerdekaan, sampai 50 (1950) sampai zaman pemerintahan Orde Lama pun, tidak ada itu lagi menerapkan pasal itu. Jadi, itu pasal itu ada, tapi sudah dianggap mati.

Lalu kenapa sekarang, kok, kita hidupkan lagi? Ada Undang-Undang (UU) ITE, yang kayak gitu, ya. Lagi-lagi saya menghargai Pak Kapolri ingin meredam apa namanya itu, ya, ini selesaikan secara permusyawaratan, ya, restoratif.

Tapi, kan, ternyata tetap orang-orang itu merasa sensitif sekali gitu, ya. Nah, ini gejala otoritarian. Gejala otoritarian. Di mana seolah-olah pejabat itu can’t go wrong, tidak bisa bersalah. Tidak bisa bersalah. Nah, kita harus berani menghadapi ini. Pers bersama kaum intelektual harus berani mengatakan tidak boleh dalam dilanjutkan itu, ya. Konsekuensi jadi pejabat publik: anda harus berani dikritik, kita harus berani dipersoalkan. Ya. Sebab kita manusia, gitu, ya.

Kalau kita bicara tentang teori, bahwa jaminan pengukuhan hak rakyat itu terutama harus datang dari rakyat sendiri. Kita sangat menghargai bahwa penguasa itu mempunyai itikad baik untuk tunduk pada tatanan itu. Karena itu rakyat harus berani membela diri. Ya. Baik secara perorangan maupun secara kelompok. Harus berani mempertahankan haknya.

Dan juga, kita juga harus berani mengajak para komisaris negara itu untuk menjadi demokrat yang baik. Saya ambil contoh lain, dikatakan dalam suatu literatur: demokrasi Amerika kuat selain karena masyarakat yang sejahtera, selain karena civil society yang kuat yang tangguh, begitu, ya. Ada dua unsur lain, (yaitu) unsur toleransi dan bersabar. For balanced, ya.

Saya takut pejabat kita sekarang tidak bersabar karena merasa begitu, ya. Dan, yang lebih ini lagi, ketidaksabaran itu timbul karena kelemahan dirinya sendiri. Itu cara membela diri. Cara membela diri. Dengan jalan, memukul orang dulu gitu, ya.

  • Bagaimana pers menjalankan etika dalam melaporkan kasus-kasus dengan kepentingan publik besar?
Bagir Manan: Pers Harus Berpihak kepada KeadilanIlustrasi Orasi/Kebebasan Berpendapat (IDN Times/Mardya Shakti)

Karena itu saya katakan bahwa hukum memang tidak pernah cukup untuk itu, tetapi di mana pun saja etika ke depan. Saya mohon betul teman-teman pers untuk mengedepankan soal-soal etika publik ini. Bukan etika kita. Kalau kita sudah sehari-hari kita ini kan, ingatkan, tapi etika publik.

Saya pernah menulis, Mbak Uni. Satu ketika saya menulis tentang etika. Di Inggris pada 1995, ada suatu komisi etik. Etik publik, ya. Coba bayangkan, Inggris 1995, ketika masih ingin memperbarui etika publik. Sedangkan dia (Inggris) sudah hidup dalam standar etik hampir seribu tahun. Menegakkan tatanan peradaban demokrasi negara hukum.

Dan dia susun, bagaimana ini gitu, ya, etika itu. Kita perlu, selain ngomong hukum, hukum, etika, gitu, ya, etika. Karena etika itu sudah diajarkan dalam… ilmu saya… dia mengajarkan kepada diri kita sendiri, ya. Pada diri kita sendiri. Tidak ke luar.

Menurut saya, esensi etika itu adalah menahan diri.

  • Anda pernah menulis buku dengan judul Politik Publik Pers. Apakah memang pers harus punya sikap politiknya?
Bagir Manan: Pers Harus Berpihak kepada KeadilanIlustrasi Membungkam Pers (IDN Times/Mardya Shakti)

Kan, saya sering katakan pada teman-teman kita, kalau kita kumpul.. Mengapa orang memilih bekerja di lingkungan pers? Memilih jadi wartawan? Adalah karena orang itu mencintai kebebasan. Tentu saja ada yang jawab orang kerja pers karena sebagai lowongan kerja yang terbuka, tentu saja.

Karena orang itu mencintai kebebasan. Kalau anda mencintai kebebasan sebagai dirimu, semestinya juga anda menjunjung tinggi kebebasan orang lain, gitu, ya. Itu sikap etika itu, ya.

Ada satu cerita, bagaimana sikap orang yang dalam penerapan itu. Ketika anda mendengar pengumuman tentang hasil pemilihan umum, anda menangis karena kalah. Tapi kalau kalah itu, lawan itu menang karena taat pada hukum, karena mereka sukses.. Anda harus menghormati, menjunjung tinggi itu, gitu, ya.

Nah, itu artinya, toleransi dan sebagainya seperti itu, ya. Nah, ini pers. Kita kembali pada pers itu, ya. Pers itu adalah karena dia independen. Maka seperti saya tulis, independensi itu pengertiannya tidak sama dengan netral. Kalau netral itu tidak berpihak. Kalo independensi itu artinya keberanian untuk keberpihakan.

Sebagai mantan hakim, saya menggunakan independensi itu adalah semata-mata menegakkan ketentuan hukum. Tetapi, bisa saja hukum ini bisa ganti jadi tidak adil gitu, ya. Nah, karena itu saya berpendirian bahwa apabila terjadi pertentangan antara keadilan dan hukum, saya harus berpihak kepada keadilan. Pers juga harus seperti itu.

Dia (pers) harus selalu berpikir tentang keadilan publik. Pers itu sebagai lembaga publik tapi non-governmental.

Mengapa dia (pers) lembaga publik? Karena dia adalah tempat publik bersandar. Karena itu dia harus memelihara kepercayaan publik. Public trust. Dia (pers) harus berani mengatakan “Ini, loh, yang dikehendaki rakyat, ini yang diharapkan oleh rakyat,” dan berani mengingatkan penguasa. Apabila tindakan penguasa itu tidak berpihak atau apalagi merugikan rakyat, itu pengertian yang berpihak kepada kepentingan publik. Politik pemberitaan harus, harus selalu mengandung idealisme seperti itu.

Fakta yang kita sampaikan adalah fakta yang tidak akan merugikan publik. Ya, tentu saja publik bisa salah.. Mereka manusia, ya, tentu harus kita katakan bagian yang salah. Tetapi, kesalahan itu tetap ada batasnya dan lain sebagainya. Termasuk saya kemarin didatangi kelompok gitu, ya, mempersoal tentang korupsi tidak boleh diberi remisi, gitu, ya.

Saya bilang begini, remisi itu merupakan hak yang diberikan hukum kepada orang, kepada terhukum. Dan mereka sudah menjalani hukuman. Kalaupun akan diadakan penerapan hak itu, harus berdasar pada hukum. Tidak boleh didasarkan kebijakan gitu, ya. Karena kebencian, karena kemarahan, wah, tidak boleh. Jadi, kita harus tentukan secara hukum juga gitu, ya.

Misalnya, remisi diatur Undang-Undang (UU). Tidak bisa remisi ditiadakan hanya dengan keputusan ke mereka, tidak boleh. Karena itu merupakan hak setiap orang. Dan setiap kita bisa saja menjadi terpidana, bisa saja jadi kita yang gak tahu.

Jadi itu sikap pers yang saya selalu berharap independensi dalam pengertian selalu berpihak kepada publik. Nah, janganlah bermain-main dengan hal-hal, ikut di dalam situasi begini, macam begini.

  • Sedang ramai dibahas soal amandemen konstitusi, bahkan sempat ada yang mengusulkan masa jabatan presiden diperpanjang, lebih dari tiga periode. Bagaimana sikap pers?
Bagir Manan: Pers Harus Berpihak kepada KeadilanSarasehan FJPI: 80 Tahun Prof Bagir Manan, Manan, "Politik Publik Pers di Masa Pandemi" (IDN Times/Teatrika Handiko Putri)

Terus ingatkan mereka, ini Undang-Undang Dasar (UUD) bunyinya sudah begini. Kedua, ini adalah merupakan tatanan peradaban yang berjalan di mana-mana, gitu, ya. Masa kita mau menyimpang dari hal yang seperti itu? Sebab, nanti kalau dia boleh tiga kali, apa alasan tidak boleh empat kali? Apa alasan tidak boleh lima kali? Tujuh kali macam Pak Harto itu juga.

Dua periode menjadi Ketua Dewan Pers, apa yang paling ada peristiwa atau apa yang paling berkesan gitu, ngga, selama enam tahun itu? Ngurusin pers seluruh Indonesia.

  • Dua periode menjadi Ketua Dewan Pers, apa yang paling berkesan selama enam tahun itu? Ngurusin pers seluruh Indonesia?
Bagir Manan: Pers Harus Berpihak kepada KeadilanProf. Bagir Manan dalam Sarasehan FJPI: 80 Tahun Prof Bagir Manan, Manan, "Politik Publik Pers di Masa Pandemi" (IDN Times/Teatrika Handiko Putri)

Saya itu banyak sekali mendapat pekerjaan yang tidak pernah terpikirkan oleh saya. Ketika teman-teman dari AJI menelepon saya, kami akan mendorong masuk ke Dewan Pers, apa gak salah? Tahu pun nggak. Meskipun saya pernah jadi hakim, memutus perkara, tapi saya gak pernah mengurus hal-hal teknis pers. Jadi asing.

Tapi, yang sangat mengesankan saya ketika saya masuk di Dewan Pers, saya bertemu dengan orang-orang yang sangat bersahabat, yang punya platform yang sama, gitu, ya. Cita-cita dan harapan yang sama, bagaimana mestinya pers Indonesia, bagaimana mestinya Republik Indonesia, bagaimana mestinya masyarakat Indonesia. Itu sangat mengesankan saya, begitu, ya.

Bahwa di tengah-tengah misalnya, di masa lalu, pers dianggap bermacam-macam, ada yang pers begini begitu, tapi di tengah-tengah seperti itu, ternyata masih banyak yang memelihara idealisme persnya. Kembali pada pepatah lama itu, ya. Percayalah kita, di tengah-tengah kegelapan malam, pasti ada satu bintang.

Begitu pula dalam tatanan negara, di mana pun pasti ada pers. Kemudian yang kedua, yang tidak pernah saya lupakan, berkumpul selama enam tahun dan kemudian masih diseret-seret dalam institusi macam-macam. Alangkah banyaknya pengetahuan yang saya dapat dari teman-teman mengenai penghidupan pers gitu, ya. Kearifan pers itu.

Tapi juga, saya senang ketika saya katakan ini tidak boleh begitu, teman-teman dengan senang menerima itu, ya. Saya mau cerita, Uni, ada dua kasus pers kita, ya, yang dapat selesai dengan omongan. Satu kali kasus Surya Paloh (Pemilik MetroTV dan Media Indonesia, juga pendiri dan ketua umum Partai NasDem), dia marah betul kepada Tempo, sampai waktu itu diperkarakan. Dia, kan, bersahabat dengan Wina Armada, anggota Dewan Pers juga. Bisa ketemu gak dengan ini, begitu ketemu. Saya bilang, “Pak Sur, alangkah banyak urusan negeri yang harus anda urus, buat apa melanjutkan soal Tempo.” Habis itu selesai.

Begitu juga sama, Ical (Aburidzal Bakrie). Dengan Tempo juga. Tempo berkelahi dengan siapa saja. Kalau dia punya hubungan jauh, karena dia dulu aktivis mahasiswa ITB. Saya sama, “Alangkah banyak urusan negeri ini yang harus anda urus, masa ribut dengan teman pers, teman-teman kita sendiri."

Termasuk juga, terakhir juga yang ribut, yang punya MNC, Hary Tanoesoedibjo. Wah ribut. Dengan mana? Tempo juga. Saya bilang, “Saya ngerti kalau Pak Hary itu marah, tapi, pPk, banyak urusan yang harus diurus." Jadi banyak juga urusan yang diselesaikan dengan ngomong personal gitu.

  • Mengapa peduli dengan pengembangan profesionalisme jurnalis perempuan?
Bagir Manan: Pers Harus Berpihak kepada Keadilan- Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Sumut bersama Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) menggelar workshop bertema Pemberitaan Perempuan dan HIV/AIDS. (IDN Times/Indah Permata Sari)

Begini. Bagi saya, setiap potensi yang dapat tumbuh, untuk membangun kehidupan berbangsa masyarakat ini, harus ditumbuhkan begitu, ya. Harus ditumbuhkan. Jurnalis perempuan itu, selain jumlahnya banyak, dia juga banyak unsur-unsur yang mempunyai sikap profesional yang sangat bagus. Kenapa tidak dikonsultasikan? Kenapa dibiarkan di tengah-tengah yang banyak para laki-laki sehingga dia tidak bisa berperan? Karena itu, ketika saya bicara telepon pada Mba Uni, sekarang betapa banyak bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota, gubernur yang wanita. Luar biasa.

Saya minta agar ini, pers perempuan membinanya, jangan biarkan mereka ini. Satu pekerjaan yang harus dilakukan gitu. Agar mereka betul-betul menjadi kelompok wanita yang tangguh di negeri ini. Dan ini juga terjadi di luar negeri. Gubernur Tokyo perempuan itu. Wakil presiden Amerika perempuan itu. Perdana menteri Taiwan perempuan itu. Tapi ini tidak bisa dibiarkan, dalam masyarakat mereka berjuang sendiri. Harus kita bantu.

Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL lahir di Lampung pada 6 Oktober 1941.

Dia menempuh pendidikan Hukumnya di Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung. Lalu melanjutkan pendidikan S2 di Southern Methodist University Law School, Dallas, Texas, Amerika Serikat. Pendidikan S3 dijalani di Unpad, Bandung.

Karir Bagir Manan dimulai dari menjadi asisten dosen saat ia masih kuliah di Fakultas Hukum Unpad Bandung. Saat menjadi dosen, Bagir Manan terpilih menjadi anggota DPRD Kota Bandung 1968-1971. Satu periode di dunia politik, Bagir diminta menjadi staf ahli menteri kehakiman pada tahun 1974. Kariernya terus naik, dia menjadi Dirjen Hukum dan perundang-undangan Departemen Kehakiman. 

Di bidang akademis, Prof Bagir Manan pernah menjadi  Rektor Universitas Islam Bandung (UNISBA) periode 1985—1986 dan 2000—2001. Ia juga merupakan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.

Saat menjadi Ketua Dewan Pers di 2010, Prof Bagir Manan mendukung pengembangan jurnalis perempuan dengan membuat pelatihan-pelatihan penguatan jurnalis perempuan di daerah-daerah. Prof Bagir Manan juga menjadi pembina FJPI yang mendukung forum jurnalis perempuan indonesia mengembangkan organisasi ini di daerah-daerah. 

Laporan: Evelyn Aorelia Chandra, Rindi Salsabilla

Baca Juga: FJPI Gelar 80 Tahun Bagir Manan, Ulas Politik Publik Pers Saat Pandemi

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya