Kisah Panjang Perjuangan Warga Wadas Tolak Tambang Batu

Bagaimana persisnya kekerasan di Wadas terjadi?

Jakarta, IDN Times - Julian Duwi Prasetia, Koordinator Advokasi LBH Yogyakarta, menceritakan pengalamannya mendampingi warga Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, yang menolak penambangan batu andesit di desa mereka. Bebatuan itu akan digunakan membangun Bendungan Bener, di kabupaten yang sama, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari rumah penduduk di Desa Wadas itu.

“Waktu kami ke sana, saya melihat sepanjang jalan dari pintu masuk itu saya sudah di-skrining dulu, ditanyai kamu siapa, KTP-mu mana, apakah punya tanah di sini? Orang sini atau gak, itu dilakukan di pintu masuk (desa),” tutur Julian, dalam pertemuan daring yang diadakan Forum Pemimpin Redaksi, Rabu (16/2/2022).

"Sebelum itu saya nelpon Mas Beka (Beka Hapsara Ulung, komisioner Komnas HAM, red) minta tolong akses bantuan hukum bisa masuk, juga menghubungi beberapa orang seperti Mbak Alissa Wahid, Mas Imam (KH Imam Azis, mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Pak Busyro Muqoddas (Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah), Pak Trisno Rahardjo (Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhamadiyah), supaya minimal akses masuk dibuka," sambung dia.

Baca Juga: Alissa Wahid: Relasi Kuasa Digunakan dalam Konflik Agraria di Wadas

1. Julian dan rekan LBH Yogyakarta sempat dipukuli dan dibawa ke Polsek Bener

Kisah Panjang Perjuangan Warga Wadas Tolak Tambang BatuJulian Duwi Prasetia, Koordinator Advokasi LBH Yogyakarta (IDN Times/Uni Lubis)

Julian berangkat ke Desa Wadas berlima, dengan tiga rekannya di LBH Yogyakarta Yayak Yatmaka (dikenal dengan sebutan Yayak Kencrit, aktivis dan seniman senior yang pada era Orde Baru membuat poster “Tanah Untuk Rakyat”, kemudian diburu penguasa saat itu).

“Kami berlima berangkat dari Yogya pukul 10.00 WIB, sampai di lokasi sekitar pukul 13.00 WIB. Saya berada di dekat masjid sekitar 30 menitan habis itu dibawa ke Polsek Bener,” ujar dia.

Setibanya di Wadas, Julian bersama rekan-rekannya langsung mencari anak-anak.  “Karena dia sudah punya strategi mitigasi untuk anak-anak, supaya kalau terjadi konflik, gimana caranya supaya anak-anak bisa dievakuasi. Tapi waktu itu saya dapat WA juga, Mas Yayak sudah ditangkap, dan gak menemukan anak-anak di lokasi shelter yang sudah dijanjikan,” kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah ini.

“Saya sempat dikerubungi, saya mendapatkan pukulan, kemudian Mas Dhanil (Al Ghifary, Divisi Kampanye dan Jaringan LBH Yogyakarta) juga dipikul, jadi empat orang, kami dari LBH dapat pukulan. Saya gak tahu Mas Yayak dipukul atau gak, pemukulnya memang orang-orang yang tidak berseragam, dan orang yang sama yang ada di video yang viral itu yang bapak-bapak yang kemudian dibantingi,” lanjut Julian.

2. HP Julian disita, di Polsek Bener melihat ada puluhan warga Wadas

Kisah Panjang Perjuangan Warga Wadas Tolak Tambang BatuBeka Hapsara Ulung, komisioner Komnas HAM (IDN Times/Uni Lubis)

Julian dan rekan LBH Yogya kemudian digiring ke Polsek Bener. “Ternyata setelah saya sampai di sana, sudah banyak anak-anak yang Wadas berada di sana, saya hitung sudah ada 27-30-an, saya belum bisa mengabari siapa-siapa karena HP saya disita. Kemudian saya juga masih di dalam ruangan, saya dipisah dari teman-teman, tapi saya masih melihat teman-teman, ruangannya berbeda, mereka di depan, ruang tamu, saya ibaratnya di dalam, sambil menghitung,” ujar dia.

Julian menjalani interogasi, tapi menolak upaya itu. “Kemudian mereka minta HP saya (yang disita), dibuka. Saya tidak berkenan, akhirnya saya disuruh pulang. Saya dapat informasi, ternyata ada juga yang dibawa ke TK. Dan itu masih banyak lagi dan malamnya jam 1 kami masih berupaya melihat berapa sih yang ditangkap? Waktu itu memang tidak boleh masuk desa dengan alasan ada COVID-19. Kalau memang mau masuk kami harus antigen, jadi Mas Yogi, direktur kami dan Mas Herwaman ketika mau mengecek teman-teman LBH harus antigen dulu, jadi benar-benar akses kami dipersulit,” tutur dia.

Tim LBH Yogya dapat informasi 67 warga Desa Wadas yang menolak penambangan dan pengukuran tanah ditahan di Polres Purworejo. “Di antaranya 10 anak-anak, yang memberikan kuasa ke kami 64 orang. Nah, itu kronologi singkat yang ada di tanggal 8-11 Februari 2022,” ungkap Julian.

3. LBH Yogyakarta advokasi warga Wadas sejak 2018

Kisah Panjang Perjuangan Warga Wadas Tolak Tambang BatuMukti, warga Desa Wadas (IDN Times/Uni Lubis)

Julian bertutur sejak 2018 LBH melakukan advokasi mendampingi warga Wadas. “Ketika kami menerima aduan itu posisinya memang warga itu sudah ada sosialisasi maupun konsultasi publik. Di mana ketika sosialiasi yang pertama, warga walk out, pada saat konsultasi publik mereka mengirimkan surat keberatan kepada BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak, red)."

"Yang waktu sebelum ditandatangani Pak Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), kami tanyakan juga apabila ada keberatan, tidak lanjut BBWS apa? Apakah keberatan warga ada disampaikan gubernur, atau gubernur tidak mendengarkan aspirasi warga? Kemungkinan itu ada dua, karena kami juga tidak mendapatkan surat balasan dari instansi yang memerlukan tanah maupun instansi yang ikut menandatangani atau memiliki kewenangan. Jadi 2018 memang penolakan warga sejak awal tidak dihitung, artinya memang proses-proses secara prosedural hukum tidak dilakukan,” sambung Julian.

Dia melanjutkan, “Nah, sayangnya waktu Izin Penetapan Lokasi (IPL) itu terbit 2018, Juni, laporan ke kami sekitar September-Oktober artinya, keputusan TUN (Pengadilan Tata Usaha Negara, red), sudah ada, kami tidak lagi memiliki kesempatan mengajukan keberatan, artinya sepertinya waktu itu proyek pembangunan Bendungan Bener dijalankan, begitu juga penambangan quarry andesit di Wadas.”

4. Warga ingin bertemu gubernur, tidak bisa. Bupati Purworejo pun menolak ketemu warga Wadas

Kisah Panjang Perjuangan Warga Wadas Tolak Tambang BatuKajian sumber air di Desa Wadas (Dok. IDN Times/Uni Lubis)

Warga Wadas sempat menemui Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dengan berharap bisa bertemu langsung dengan gubernur. Namun, mereka hanya disambut sekretaris daerah.

“Karena sudah jalan, kami berharap, keputusan TUN itu kan tidak harus menunggu keputusan pengadilan, melainkan pejabat yang menjalankan keputusan itu berhak mencabut, menunda dan sebagainya. Akhirnya waktu itu yang dilakukan pertama oleh warga, datang ke gubernuran 2018 itu, dan ketemu dengan sekretaris daerah (sekda), nah pada saat itu sekda jawabannya normatif aja. Kami akan terima aspirasi bapak ibu kami sampaikan ke gubernur, nanti kami akan lakukan kajian ulang, tapi sampai ditunggu warga tidak ada jawaban,” kenang Julian.

Hal yang sama terjadi saat warga ingin bertemu Bupati Purworejo. “Akhirnya beberapa bulan kemudian kami komunikasi, dialog dengan Bupati Purworejo. Waktu audiensi di Bupati Purworejo, warga Wadas tidak ditemui, memang dipagari, gak boleh masuk. Tidak diterima. Beberapa kali kami berupaya bersama warga, datang ke BBWS itu sampai 4-5 kali, tidak ada tindak lanjut hasilnya,” kata dia.

Mereka juga ke Polres Purworejo insiden pertama terkait penambangan di Wadas, sebelum 23 April 2021. “Sekitar sebulan kami komunikasi dengan Polres Purworejo. Ada dokumentasinya sebulan itu kami komunikasi, warga Wadas itu komunikasi, misalnya bapak polisi kalau ke Wadas jangan intimidasi, jangan meneror, dan sebagainya. Itu komunikasi yang dilakukan oleh warga. Jadi warga sudah wanti-wanti  jangan sampai ada intimidasi. Kalau mau tanya sikap warga yang sudah jelas, menolak. Itu kronologis sebelum 23 April 2021,” beber Julian.

“Kemudian terjadi 23 April 2021, kemudian 11 orang ditangkap, termasuk saya, kemudian ada satu lansia wanita, termasuk satu anak di bawah  umur, inisial I. Jadi ada anak, ada lansia, dan pendamping hukum yang ditangkap.  Selang beberapa bulan, Juni, jangka waktu IPL itu dua tahun dan dapat diperpanjang satu kali. Kalau kita mengacu kepada UU Pengadaan Tanah. Jadi 2018 terbit, 2020 habis, kemudian 2020 diperpanjang satu kali, nah ada perdebatan di situ. Apakah ini ini sudah habis izinnya, apakah diperbarui dari awal atau apakah ujug-ujug langsung diterbitkan yang baru saja. Itu kembali ke perspektif, kalau dari perspektif pemerintah, ini kalau mau diperbarui, gak perlu proses ulang lagi.  Tapi kami memandang berbeda. Jadi perdebatan di pengadilan itu hanya soal formal saja, tidak sampai menyentuh aspek substansi,” ujar Julian.

5. Ada fakta-fakta di persidangan terkait gugatan warga Wadas yang belum ditindaklanjuti

Kisah Panjang Perjuangan Warga Wadas Tolak Tambang BatuKajian sumber air di Desa Wadas (Dok. IDN Times/Uni Lubis)

Julian juga mengungkapkan fakta-fakta di persidangan terkait gugatan warga Wadas yang belum ditindaklanjuti hingga kini.

“Pertama, dokumen perencanaan tanah itu kan tidak pernah dibuka ya, oleh BPN. Bahkan  sampai pengukuran hari ini. Siapa yang terima (setuju pengukuran)? Apakah BPN (Badan Pertanahan Nasional) berani membuka, siapa yang menerima itu? Kami harap dibuka seluas-luasnya. Supaya kami juga bisa melihat jangan-jangan tanah-tanah yang dihitung, termasuk tanah warga yang selama ini berjuang kontra. Supaya tidak terjadi pelanggaran itu kami berharap BPN dan BBWS membuka, tapi sampai detik ini tidak dibuka. Itu informasi pertama," kata dia.

"Informasi kedua, ketika kami cek dokumen perencanaan yang selama ini kami minta kepada BPN dan BBWS yang tidak pernah diberikan, itu ternyata ada fakta harga tanah per meter itu di dokumen perencanaan antara Rp250 ribu sampai Rp350 ribu per meter, turun di masyarakat Tapak itu 60 atau 59 ribu, kemudian digugat, jadinya hanya Rp120 ribu. Saya ingin menyoroti persoalan di Tapak juga, sampai hari ini juga masih terjadi, baik itu soal ganti rugi maupun banyak tanah yang dicaplok oleh pemrakarsa. Tadi saya dapat informasi dari media ternyata ada warga yang mematok tanahnya, karena sudah terlanjur dipakai oleh pemrakarsa, tidak dibayar, kemudian mereka melakukan protes itu. Kedua dari jurnalis juga, BPN gak mau memberikan data itu. Artinya, hari ini masih ada yang  gelap. Lalu pertanyaannya, di titik yang gelap ini mengapa kemudian aparat kepolisian masih mau mengawal yang disebut rencana pengukuran?” papar Julian.

Dia melanjutkan, “Kemudian waktu di persidangan kami juga mempertanyakan, kan ada data yang ditandatangani oleh kepala desa, bahwa warga-warga itu sudah sekitar 80 persen sudah menerima. Kami pertanyakan bagaimana mekanisme menghitung itu? Dan itu tidak dijawab. Kami saat itu mengatakan, ini keterangan bohong di depan pengadilan, tidak ada validasinya, cuma surat pernyataan saja, tanpa ada validasi. Bagaimana sampai muncul angka itu. Sampai hari ini, itu yang jadi dasar bagi BBWS, Pak Gubernur, ini sudah ada yang abu-abu, ada yang merah, biru gitu. Yang itu disampaikan kepada publik juga.  Dibacakan, tetapi kami tidak bisa cross-scheck, di mana nama-nama itu? Kalau berkenan ayo kita cek bareng-bareng, jangan-jangan tanah warga yang kontra dihitung juga.”

Itu terkait upaya di pengadilan. “Kami menganggap bahwa upaya litigasi belum selesai karena belum menyentuh aspek formal dan pernyataan Pak Ganjar saya kira seorang pejabat publik, melihat masalah ini kemudian dia karena memiliki kewenangan, maka dia  berhak mencabut IPL sebenarnya. Jadi sebuah izin bisa dicabut karena beberapa alasan, yaitu karena perintah peradilan, konflik sosial, lingkungan, atau karena memang dia ingin mencabut atau karena berakhir izinnya. Jadi saya kira bola panasnya ada di gubernur ya untuk menyelesaikan apa yang jadi substansi. Saya belum bicara soal aparat gabungan yang ke sana,” papar Julian.

Baca Juga: Amdal Tambang Wadas dan Bendungan Bener Menyatu, Ini Penjelasan PUPR

6. LBH mengklaim pemerintah daerah tak mau mendengar aspirasi warga

Kisah Panjang Perjuangan Warga Wadas Tolak Tambang BatuWarga yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) memasang spanduk saat melakukan aksi damai di depan kantor Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak, Sleman, D.I Yogyakarta, Kamis (6/1/2022) (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Julian menyebut Ganjar tak mendengar aspirasi warga Wadas sejak awal. “Dari awal penderitaan yang dialami warga Wadas, khususnya yang hari ini berjuang atas nama kemanusiaan dan lingkungan, itu akibat dari Pak Ganjar yang dari awal tidak pernah mendengar aspirasi warga Wadas."

"Nah, kemudian, dia bersikap seolah-olah hari ini, ya saya sudah mengikuti putusan pengadilan kok. Nah, kita bandingkan dengan kasus Kendeng. Menang sampai MA (Mahkamah Agung) kemudian diterbitkan izin baru. Jadi ini sebenarnya tidak bicara soal legal formal saja, tapi etika pejabat publik melihat suatu persoalan,” lanjut Julian.

Dia memaparkan situasi kekerasan yang terjadi di Wadas.

“Itu teman-teman dari 23 April 2021 terjadi kekerasan di Desa Wadas, kemudian rentang Juni-Agustus ada sejumlah Desa Wadas dipanggil, alasan pemanggilan adalah UU Darurat karena penggunaan senjata tajam. Statusnya sampai hari ini belum jelas. Sekitar  September-November (2021) kami melakukan konferensi pers menghitung dan mendata bersama warga, September intensitas semakin tinggi, patroli semakin tinggi yang dilakukan oleh polisi. Kami rilis itu, jadi hampir setiap hari dalam kurun sampai 30 hari itu, polisi lebih intens datang ke Desa Wadas, pakai baju, pakai senjata, dengan brigade motornya, dengan mobil-mobil patroli. Itu terjadi September-November," kata Julian.

7. Julian menyoal hasil tim kerja yang beranggotakan gubernur, Kapolda dan Pangdam Jateng

Kisah Panjang Perjuangan Warga Wadas Tolak Tambang BatuWarga yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) melakukan aksi damai di depan kantor Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak, Sleman, D.I Yogyakarta, Kamis (6/1/2022) (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Pertengahan Januari 2022, kata Julian, dibentuk tim untuk menuntaskan kasus Bendungan Bener. Tim tersebut terdiri dari Pangdam, Polda, Gubernur Jateng.

“Tanggal 19 Jan 2022, Pak Kapolda menyampaikan ke publik ya, saya dapat informasi ini di pulik, bahwa untuk menyelesaikan kasus Bendungan Bener, khususnya Wadas mereka membentuk teamwork terdiri dari Pangdam, Polda, Gubernur Jateng. Kami tidak tahu hasil teamwork ini seperti apa. Tapi kalau output-nya kemudian adalah kejadian 8-11 Februari 2022, maka merekalah yang paling bertanggung jawab atas operasi pengepungan ini," kata Julian. 

Julian pun membantah terkait situasi di Wadas yang disebut pemerintah tidak terjadi ketegangan. "Saya ingin membantah pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD maupun Pak Ganjar bahwa itu baik-baik saja. Di sana tidak baik-baik saja ya, warga sangat ketakutan, bahkan itu terlihat dari ekspresi mereka ya sangat ketakutan, anak-anak tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasa ya karena terjadi pendudukan kepada sekolah, masjid, posyandu, kemudian polides."

"Aktivitas empat hari tidak berjalan. Bahkan ada anak-anak, bayi, balita, di bawah tiga tahun karena takut ya orang tuanya gak mendapatkan susu, karena orang tuanya gak berani keluar rumah takut selama empat hari itu. Nah, itu informasinya, Pak Mahfud bilang ini pengamanan karena ada gesekan orang pro dan orang kontra, saya bisa pastikan 64 orang yang ditangkap itu adalah orang-orang yang selama ini kami kenal ikut berjuang bersama. Kalau logika penangkapan, harusnya kedua belah pihak ditangkap tapi itu tidak terjadi, mayoritas memang pejuang lingkungan di Desa Wadas," sambung dia.

Artinya, Julian melanjutkan, target operasi jelas mengarah kepada masyarakat yang menolak. Jika ini benar karena gesekan, menurut dia, tak masuk logika. "Kenapa orang yang dipukuli, diborgol, namparin bapak-bapak itu di hadapan istri dan anaknya, menjemput orang secara paksa sampai rumah, membobol rumah, itu tidak ditangkap? Bagaimana logika penegakan hukumnya? Operasi ini kemudian jadi teknisnya gimana? Kalau memang ingin mencegah gesekan."

"Kedua, ini melakukan pengamanan pengukuran. Masjid itu bukan tempat lokasi quarry.  Yang dikepung itu. Jadi lokasi pengambilan quarry itu ada di atas bukit. Kalau misalnya dalih pengamanan, saya kira ini benar-benar gak nyambung ya, karena yang harus diamankan adalah orang yang mengukur di atas, kan? Dan saya kira jumlahnya tidak sebesar itu ya kalau memang ada tim, jika ada 100 orang yang mengukur, maka orang-orang yang setuju atas tanahnya diukur, maka orang-orang itu seharusnya ke atas, melihat  ke lokasi melihat tanahnya diukur ya, oh ini tanah ibu saya ini batas-batas saya, terus yang di bawah itu siapa? Menurut saya banyak kejanggalan, ada disinformasi yang menurut saya itu tidak patut disampaikan seorang Menko Polhukam ya," Julian menambahkan.

Baca Juga: Bantah Mahfud MD, Komnas HAM: Betul Ada Kekerasan Aparat di Wadas

8. Gubernur Ganjar minta maaf atas kejadian dengan kekerasan di Desa Wadas

Kisah Panjang Perjuangan Warga Wadas Tolak Tambang BatuGubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (Dok. IDN Times/Uni Lubis)

Dalam pertemuan daring dengan Forum Pemred pada 17 Februari 2022, Gubernur Ganjar menjelaskan versinya. Dia membantah tudingan pihaknya tidak berkomunikasi dengan warga soal rencana pembangunan bendungan dan penambangan batu andesit di Desa Wadas.

“Hanya memang kalau kami dari pemerintah daerah, ya harus support  pekerjaan ini, rasa saya kok lambat ya? Lambat, saya melihat beberapa komponen, saya tanya ke LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara), duitnya sudah siap belum? Kemudian kita bicara dengan yang belum setuju apa alasannya? Apakah alasannya karena lingkungan? Alasan anak-anak kah? Alasan bagaimana nanti pekerjaan mereka? Harus hidup? Atau kemudian ada problem-problem sosial yang muncul. Itu awal-awalnya,” ujar Ganjar.

Dia melanjutkan, “Dari sana kemudian kok tiba-tiba terjadi ketegangan, jadi ramai kemudian sampai ke puncaknya kemarin itu, yang intinya sebenarnya ada usulan dari mereka yang sudah menerima pengukuran minta untuk diukur. Pada saat itu rasanya BPN tidak terlalu percaya diri. BPN boleh tuh dipanggil diajak bicara. Dia gak pede. Karena nanti kemudian masuk mereka merasa gak secure begitu ya, maka mereka minta bantuan ke kepolisian."

"Kepolisian kemudian menyiapkan. Ya semuanya pasti adalah yang bisa terjadi, ketika awalnya diminta mendampingi pengukuran di lapangan tapi kan kita gak akan pernah tahu apa yang terjadi pada saat itu, dan terjadilah peristiwa kemarin itu. Pada saat itu fungsi saya sebagai gubernur, melihat woh ini ada kawan-kawan, saya tentu terusik, maka kemudian kami datang dengan Pak Kapolda,  minta izin nanti rilis dulu kepada media, setelah malam setelah dapat WA dapat video dari teman-teman seluruh Indonesia termasuk aktivis, ya saya minta maaf. Atas kejadian itu,” imbuh Ganjar.

Soal pembentukan tim dengan Kapolda dan Pangdam, Ganjar mengakui tujuannya untuk mempercepat proses pengukuran tanah untuk melancarkan penambangan.

9. Ganjar berkunjung, bertemu warga Wadas. Ada yang tanya soal ganti rugi

Kisah Panjang Perjuangan Warga Wadas Tolak Tambang BatuAnggota TNI berada di Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

Ganjar juga telah menemui warga Desa Wadas. Dia mengklaim cerita dari warga dan pendampingnya tidak seperti kabar yang beredar di media. “Yang kedua saya meminta mereka yang 'diamankan' istilah polisi atau 'ditahan' istilah publik, dikeluarkan ada hari itu, Pak Kapolda oke. Mereka bicara juga dengan Mas Beka (Beka Hapsara, Komnas HAM, red) pada saat itu. Ceritanya sama gak? Dan keluar pada saat itu."

"Ketiga, saya saat itu ke sana, bertemu dengan beberapa orang yang sudah diukur, tapi hanya beberapa orang saja. Terakhir, kemudian saya datang sendiri, saya sempat berkomunikasi dengan beberapa kawan pendamping yang ada di sana, dan merasakan saat itu suasana saat itu tidak semengerikan di cerita-cerita. Bisa gak saya komunikasi?  Bisa. Dan komunikasi itu berjalan saat proses-proses pembebasan saat ini, di video saya angkat cerita ada pendamping yang bilang, 'Mas Ganjar, ini pengen video call dengan Mas Ganjar lho. Namanya Nurhadi, saya ingat betul. Mas Nurhadi ini siapa? Saya yang viral itu lho yang diseret-seret sampai bajunya lepas. Oh badannya sakit gak? Nanti ke dokter ya biar saya urus. Kemudian ada permintaan lagi di antara mereka, ini masih di kepolisian nih, mereka gak mau pakai mobil dari Brimob.  Nanti malu Pak, kayak tahanan aja. Terus maunya pakai apa? Mau pakai bis, ya sudah naik bis saja, nanti saya urus',” cerita Ganjar.

Politikus PDI Perjuangan yang namanya muncul paling populer dalam sejumlah survei calon presiden 2024 itu menambahkan, “Pulang juga dibekali ada sembako, dikasih sangu, di sana saya juga dikasi filmnya mereka sedang main biliar. Jadi artinya mungkin cerita ini penting atau tidak, karena situasinya ceritanya macam-macam. Tapi di sisi lain omongannya Mas Yayak, karena saya cukup kenal Mas Yayak, cerita ini soal isu anak dan perempuan. Kemudian anak-anaknya di sekolah itu kena bully. Kamu anaknya BBWS ya?  Jadi kalau anaknya yang pro dianggap anaknya BBWS. Kemudian yang satu, kamu anunya ya? Orang yang kontra ya? Bahkan ada satu hal yang mungkin gak enak ya. Yang pro itu kalau ditanya bilang kami NKRI, wah ini bahaya ya, kalau gak pro berarti gak NKRI. Ini kan stigmatisasi semacam ya seperti ini kan pernah terjadi dulu, kalau gak setuju dianggap PKI kan? Dulu.” 

10. Ganjar mengaku rindu berkomunikasi dengan warga Wadas, menjelaskan secara gamblang

Kisah Panjang Perjuangan Warga Wadas Tolak Tambang BatuAnggota Polisi berjaga saat warga yang sempat ditahan tiba di halaman masjid Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022) (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Ganjar mengklaim ingin berkomunikasi langsung dengan warga Desa Wadas, untuk menjelaskan perkara ini dengan gamblang. Dia bahkan mengaku rindu, saking ingin bertemu warga.

“Jadi, saya komunikasi terus dengan mereka, boleh kah sebenarnya saya menjelaskan ini.  Saya itu maksudnya tim, bukan Ganjar saja. Bolehkah? Tapi ada yang mengambil over pekerjaan ini tanggung jawabnya siapa? Pada saat itulah kami komunikasi, waktu saya Mas Yayak boleh gak kalau kemudian tim kita nanti betul-betul dikasih ruang untuk menjelaskan. Adakah potensi kerusakan. Kalau Ganjar gak bisa menjelaskan. Karena Ini urusannya juga sudah lama. Dan ada lho pakar-pakarnya sekelas doktor, profesor ya, tentu mereka cukup berpengalaman dalam penilaian AMDAL. Nah, begini-begini, gak pokoknya cabut IPL, ya saya diam. Artinya, kita coba komunikasi, saya rindu komunikasi langsung kepada mereka yang memiliki tanah,” kata dia.

Keinginan Ganjar diwujudkan. Dia berkunjung ke Wadas, Minggu, 13 Februari 2022. “Nah, itulah kemudian saya datang sendiri. Ketika kemudian saya komunikasi dengan kawan-kawan pendamping yang ada di sana, Mas Ganjar sebaiknya ke sini Senin atau Selasa.  Saya percepat jadi Minggu. Saya berangkat ke sana sendiri. Cerita yang muncul pada saat itu lebih kepada cerita yang , ya kami merasa terteror, kami diintimidasi, diseret, keluarga saya belum pulang, lebih kepada cerita itu. Kemudian ada yel-yel 'Cabut IPL'. Saya mengikuti saja karena itu pertemuan pertama."

"Harapan saya dengan pemetaan yang saya dengar langsung kita akan bisa komunikasi yang lebih manusiawi, lebih elegan. Karena di antara mereka ternyata, mereka nanya, Mas Ganjar sebenarnya berapa sih ganti ruginya? Lho ini belum disampaikan? Tentu ini jadi pertanyaan besar kalau belum disampaikan. Maka setelah itu BBWS saya panggil, BPN saya panggil, masih ada 176 gugatan berkaitan dengan harga ya, dengan tarif, ada di tapak, masih di MA, belum putus. Ya saya gak bisa kalau sudah begini masih banyak menunggu, buat saya gak bisa. Kalau memang iya, bicara dong dengan MA, ini prioritas, mohon untuk percepatan. Dengan cara itu kemudian cepat beres. Kalau mereka sudah mau. Mereka sudah sanggup, pekerjaan sudah berjalan, tinggal dibayar. Terlalu lama ya gak bisa. Sama dengan diukur ini tim appraisal segera tentukan, kalau itu bisa segera ditentukan, segera bayar, sehingga masyarakat tidak ada pertanyaan berapa harganya?  Karena jangan-jangan problemnya di harga. Jangan-jangan lho,” sambung Ganjar.

Dia melanjutkan, “Atau-jangan-jangan problem masa depan saya di mana? Kan itu di daerah yang  mau ditambang itu gak ada orang. Tidak ada perumahan. Ya saya konfirmasi ke orang-orang itu. Mereka kan tinggalnya sekitar 300-500 meter (dari lokasi tambang), terdekat. Jadi apa artinya ini dua lokasi yang  berbeda. Maka saya coba rapat kemarin pasca saya bertemu dengan mereka, apa yang kemudian bisa kita kerjakan kepada mereka. Contoh, ini ada cerita bullying ada anak-anak, kemudian mereka di sekolah saling ledek. Coba dong ada trauma healing. Yang bisa kita berikan, kita siapkan sekarang. Yang kedua, memang memerlukan kebutuhan sehari-hari, semacam sembako dan sebagainya.  Kita siapkan. Ketiga, apakah kemudian perlu menyiapkan sebagai suatu insentif kepada masa depan mereka, dari ketakutan-ketakutan, apakah saya nanti bisa bekerja lagi atau tidak. Maka kemarin ada pendamping yang mengatakan kepada saya Pak Ganjar bisa bantu nggak, kami butuh bibit tanaman buah. Oh sekarang aja, gak usah nunggu nanti.  Sekarang aja."

"Nah, ketika kemudian ini bisa dikomunikasikan harapan saya,  ini bisa membantu, samalah ketika kemudian kita ke sana, sinyal telepon hilang, saya telepon aja Telkom, ternyata di beberapa juga areanya blank-spot. Jadi ya komitmen ini  kita berikan, termasuk, kemudian berapa jumlah warga miskin di sana yang harus mendapatkan rumah sehat layak huni. Jamban. Sumber air bersih yang diperlukan. Ini yang kita komunikasikan. Kemarin, kami komuniksi dengan pendamping, kawan-kawan di sana, kalau kita sepakati sebagai bentuk itikad untuk komunikasi, lebih terbuka sebelum bicara soal setuju dan tidak setuju, kita bisa eksekusi seketika. Ini kami sampaikan tidak hanya ke yang kontra.  Yang pro juga sama,” imbuh Ganjar.

Baca Juga: Warga Wadas Siap Maafkan Ganjar Pranowo Asal Mau Mencabut IPL

Topik:

  • Rochmanudin
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya