Mantan Menkeu Agus Martowardojo Kembali Diperiksa dalam Kasus e-KTP

Ini fakta-fakta skandal proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun

Jakarta, IDN Times – Dari balik kaca di  ruang tunggu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Martowardojo nampak membolak-balik dokumen di pangkuannya. Mantan menteri keuangan itu memenuhi panggilan KPK sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek KTP Elektronik (e-KTP). Pada hari Jumat, 17 Mei 2019, Agus diperiksa untuk tersangka anggota DPR RI dari Fraksi Golkar, Markus Nari.

Agus yang mengenakan baju batik tak mau menjawab pertanyaan media. Dia tak memenuhi panggilan dari KPK pada Selasa (7/5) lalu. Agus Marto pernah pula menjalani pemeriksaan KPK berkaitan dengan skandal E-KTP saat dia menjabat sebagai gubernur Bank Indonesia. Proyek e-KTP senilai Rp5,9 triliun itu ditengarai menyebabkan kerugian negara senilai Rp2,31 triliun.

Usai diperiksa KPK dua tahun lalu, tak lama setelah skandal ini terungkap,  Agus Marto mengatakan Kementerian Keuangan tidak bertanggung jawab dalam proses pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis nomor induk kependudukan secara nasional atau disebut KTP elektronik, pada 2011-2012.

"Tentang keuangan negara itu ada di Kementerian Keuangan, tetapi juga ada kementerian lain atau lembaga yang menjadi penanggung jawab anggaran," kata Agus, seusai diperiksa sebagai saksi, di Gedung KPK Jakarta, Selasa 1 November 2016.

Saat itu Agus menganggapi tuduhan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, yang mengatakan dirinya menerima fee adalah fitnah.

"Kalau betul Nazaruddin berpandangan bahwa saya menerima fee atau menerima aliran dana, saya sampaikan bahwa itu fitnah dan bohong dan salah besar," kata Agus.

Sebelumnya, Nazaruddin menyebut bahwa sejumlah pejabat termasuk Menteri Keuangan pada tahun 2011-2012, menerima aliran dana dari proyek KTP elektronik.

Dalam sidang perdana dugaan korupsi proyek e-KTP  yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis 9 September 2017, Jaksa Penuntut Umum yang dikoordinasikan oleh Irene Putrie menyebutkan bahwa permohonan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi kepada Menkeu Agus Marto agar proyek KTP Elektronik menggunakan skema pendanaan kontrak tahun jamak (multiyears contract), sempat ditolak oleh Agus.

Bagaimana perjalanannya sampai proyek ini kemudian direalisasikan? Berikut dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tentang lika-liku lihai para pihak meloloskan proyek tersebut:

1. Proyek e-KTP disepakati dalam rapat yang melibatkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi

Mantan Menkeu Agus Martowardojo Kembali Diperiksa dalam Kasus e-KTPANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Pada Oktober 2010 para terdakwa (terdakwa I Irman dan terdakwa II Sugiharto), melakukan pertemuan dengan Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri Diah Anggraini, pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Husni Fahmi, Chaeruman Harahap dan Johannes Marliem di restoran Peacook, Hotel Sultan Jakarta.

Irman menjabat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, dan Sugiharto adalah Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Ditjen Dukcapil. Irman adalah Kuasa Pengguna Anggaran sedangkan Sugiharto adalah Pejabat Pembuat Komitmen dalam proyek KTP Elektronik ini.

Dalam pertemuan tersebut para terdakwa diperkenalkan oleh Sekjen Diah Anggraini dengan Johannes Marliem selaku penyedia produk Automated Finger Print Identification Sistem (AFIS) merek L-1 yang akan dipergunakan dalam proyek penerapan KTP berbasis NIK secara nasional (KTP Elektronik).

Atas arahan tersebut, para terdakwa menyetujuinya. Selanjutnya terdakwa I mengarahkan Johannes Marliem untuk langsung berhubungan dengan ketua tim teknis, yakni Husni Fahmi. Selain itu Diah Anggraini juga meminta Chaeruman Harahap selaku Ketua Komisi II DPR RI untuk segera menyetujui anggaran proyek penerapan KTP berbasis NIK secara nasional (KTP Elektronik) secara multiyears sesuai dengan grand design, yakni sejumlah Rp5.952.083.009.000,00 (lima triliun sembilan ratus lima puluh dua miliar delapan puluh tiga juta sembilan ribu rupiah) dengan rincian tahun 2011 sebesar Rp2.291.428.220.000,00 (dua triliun dua ratus sembilan puluh satu miliar empat ratus dua puluh delapan juta dua ratus dua puluh ribu rupiah) dan tahun 2012 sebesar Rp3.660.654.789.000,00 (tiga triliun enam ratus enam puluh miliar enam ratus lima puluh empat juta tujuh ratus delapan puluh sembilan ribu rupiah),” demikian dakwaan JPU.

Rencana pengadaan KTP Elektronik untuk dilaksanakan oleh pihak tertentu tersebut disepakati bersama oleh eksekutif dan legislatif. Pada tanggal 22 November 2010 melalui mekanisme rapat kerja dengan Kementerian Dalam Negeri yang diwakili oleh Mendagri Gamawan Fauzi, Terdakwa I dan Diah Anggraini.

2. Komisi II DPR RI setujui proyek e-KTP. Kompensasi untuk pejabat mulai cair

Mantan Menkeu Agus Martowardojo Kembali Diperiksa dalam Kasus e-KTPIDN Times/Kevin Handoko

Dalam rapat kerja itu Komisi II DPR RI memberikan persetujuan anggaran terhadap pelaksanaan proyek pengadaan dan penerapan KTP berbasis NIK secara nasional (KTP Elektronik) untuk tahun 2011 sejumlah Rp2.468.020.000.000,00 (dua triliun empat ratus enam puluh delapan miliar dua puluh juta rupiah) yang bersumber dari APBN rupiah murni tahun anggaran 2011. Persetujuan tersebut kemudian diikuti dengan penerbitan dan pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) pada tanggal 20 Desember 2010.

Setelah adanya persetujuan anggaran dari Komisi II DPR RI, sekitar bulan Desember 2010 di rumah dinas Sekjen Kemendagri, Andi Agustinus alias Andi Narogong memberikan uang kepada Diah Anggraini sejumlah US$ 1.000.000,00 (satu juta dolar Amerika Serikat) sebagai kompensasi karena Diah Anggraini telah membantu dalam pembahasan anggaran pengadaan dan penerapan KTP berbasis NIK secara nasional (KTP Elektronik) sehingga anggaran tersebut mendapatkan persetujuan DPR RI,” demikian dakwaan JPU di depan sidang perdana.

3. Peran Menkeu Agus Martowardojo saat itu dalam proyek e-KTP

Mantan Menkeu Agus Martowardojo Kembali Diperiksa dalam Kasus e-KTPANTARA/Yudhi Mahatma

Setelah berhasil meyakinkan Komisi II DPR RI, petinggi Kemendagri mulai menggolkan proyek ke pihak Kemenkeu. Pada 21 Desember 2010 Mendagri Gamawan Fauzi mengirimkan surat Nomor : 471.13/4988/SJ kepada Agus Martowardojo selaku Menteri Keuangan yang pada pokoknya meminta ijin proyek Penyediaan Jaringan Komunikasi dalam Rangka Penerbitan NIK dan Penerapan KTP berbasis NIK secara nasional (KTP Elektronik) Tahun 2011–2012 dilaksanakan dengan menggunakan skema kontrak tahun jamak (multiyears contract).

Menurut dakwaan JPU, “Permohonan tersebut merupakan permohonan yang kedua setelah permohonan yang pertama pada tanggal 26 Oktober 2010 ditolak oleh Agus Martowardojo pada tanggal 13 Desember 2010. Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi penolakan yang serupa, Andi Agustinus alias Andi Narogong kembali memberikan uang sejumlah US$ 1.000.000,00 (satu juta dolar Amerika Serikat) kepada Diah Anggraini guna memperlancar pembahasan ijin pelaksanaan kontrak secara multiyears.”

JPU melanjutkan, “Setelah pemberian uang tersebut, pada tanggal 17 Februari 2011, Herry Purnomo, selaku Direktur Jenderal Anggaran mengirimkan surat Nomor : S-36/MK.2/2011 yang ditujukan kepada Gamawan Fauzi, yang pada pokoknya memberikan izin kepada Kementerian Dalam Negeri untuk melaksanakan Kontrak Tahun Jamak (Multy Years Contract) Penyediaan Jaringan Komunikasi Dalam Rangka Penerbitan NIK dan Penerapan KTP berbasis NIK secara nasional (KTP Elektronik) dengan anggaran untuk pelaksanaan kontrak tahun jamak sebesar Rp5.952.083.009.000,00 (lima triliun sembilan ratus lima puluh dua miliar delapan puluh tiga juta sembilan ribu rupiah) dengan rincian tahun 2011 sebesar Rp2.291.428.220.000,00 (dua triliun dua ratus sembilan puluh satu miliar empat ratus dua puluh delapan juta dua ratus dua puluh ribu rupiah) dan tahun 2012 sebesar Rp3.660.654.789.000,00 (tiga triliun enam ratus enam puluh miliar enam ratus lima puluh empat juta tujuh ratus delapan puluh sembilan ribu rupiah).

Jika dicermati, surat yang dikirimkan Dirjen Anggaran Kemenkeu Herry Purnomo ini persis dengan kesepakatan dalam rapat di Restoran Peacook, Hotel Sultan, Jakarta.

4. Aliran dana ke berbagai pihak dan partai politik disepakati

Mantan Menkeu Agus Martowardojo Kembali Diperiksa dalam Kasus e-KTPIDN Times/Sukma Shakti

Menurut dakwaan JPU, setelah sukses meyakinkan pihak kemenkeu, maka rencana aliran dana ke berbagai pihak termasuk sejumlah partai politik disepakati.

Pada akhir Februari 2011, Terdakwa II ditemui oleh Andi Agustinus alias Andi Narogong diruang kerja Terdakwa II. Dalam pertemuan tersebut Andi Agustinus alias Andi Narogong menginformasikan kepada Terdakwa II bahwa untuk kepentingan penganggaran, Andi Agustinus alias Andi Narogong akan memberikan uang sejumlah Rp 520.000.000.000,00 (lima ratus dua puluh miliar rupiah) kepada beberapa pihak, diantaranya :

  1. Partai Golkar sejumlah Rp 150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah);
  2. Partai Demokrat sejumlah Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah);
  3. Partai PDI Perjuangan sejumlah Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah);
  4. Marzuki Alie sejumlah Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah);
  5. Anas Urbaningrum sejumlah Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah);
  6. Chaerumann Harahap sejumlah Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan;
  7. Partai-partai lainnya sejumlah Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh iliar rupiah).

Rincian pemberian uang tersebut kemudian dilaporkan oleh Terdakwa II kepada Terdakwa I. Atas laporan tersebut Terdakwa I menyetujuinya,” demikian dakwaan JPU.

Tak cukup di situ, menurut dakwaan JPU, permintaan aliran dana dari Komisi II DPR RI saat itu masih berlanjut.

“Bahwa sekira bulan Mei 2011 setelah Rapat Dengar Pendapat antara Komisi II DPR RI dengan Kementerian Dalam Negeri, Terdakwa I dimintai sejumlah uang oleh Chaeruman Harahap melalui Miryam S. Haryani sejumlah US$ 100.000,00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) guna membiayai kunjungan kerja Komisi II DPR RI ke beberapa daerah. Dalam rangka memenuhi permintaan tersebut Terdakwa I memerintahkan Terdakwa II untuk menyiapkan uang sebagaimana permintaan Miryam S. Haryani. Oleh karena itu Terdakwa II meminta uang sejumlah US$ 100.000,00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) kepada Achmad Fauzi selaku Direktur PT Quadra Solution yang merupakan anggota konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI). Permintaan tersebut dipenuhi oleh Achmad Fauzi dengan memberikan uang sejumlah US$ 100.000,00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) kepada Terdakwa II melalui Yosep Sumartono di SPBU Pancoran Jakarta Selatan. Selanjutnya Terdakwa II memberikan uang tersebut kepada Miryam S. Haryani,” kata JPU.

5. Mengapa Proyek e-KTP melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)?

Mantan Menkeu Agus Martowardojo Kembali Diperiksa dalam Kasus e-KTPpnri.co.id

Sejak awal permufakatan untuk menggolkan proyek KTP Elektronik, para pihak sudah menetapkan agar pelaksana proyek adalah Badan Usaha Milik Negara, dengan alasan agar mudah diatur

Kelanjutan dari bagi-bagi aliran duit dari proyek KTP Elektronik ini dibacakan JPU sebagai berikut:

Pada tanggal 21 Juni 2011 atas usulan Terdakwa II, Gamawan Fauzi menetapkan konsorsium BUMN PNRI sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp5.841.896.144.993,00 (lima triliun delapan ratus empat puluh satu miliar delapan ratus sembilan puluh enam juta seratus empat puluh empat ribu sembilan ratus sembilan puluh tiga rupiah).

Penetapan tersebut kemudian ditindaklajuti Terdakwa II dengan menandatangani kontrak Nomor : 027/886/IK tanggal 1 Juli 2011 dengan jangka waktu pekerjaan sampai dengan 31 Oktober 2012.

Setelah penandatangan kontrak dan berbarengan dengan pembahasan RAPBN Kementerian Dalam Negeri tahun 2012, antara bulan Agustus-September 2011, Terdakwa I kembali memerintahkan Terdakwa II untuk menyediakan uang sejumlah Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) guna diberikan kepada Miryam S.Haryani. Menindaklanjuti perintah tersebut, Terdakwa II meminta uang sejumlah Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) kepada Anang S Sudihardjo guna diberikan kepada Miryam S. Haryani. Atas permintaan tersebut Anang S Sudihardjo memberikan uang sejumlah Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) kepada Yosep Sumartono yang selanjutnya oleh Yosep Sumartono uang tersebut diserahkan kepada Miryam S. Haryani.

Ternyata, sampai dengan bulan Maret 2012 konsorsium PNRI belum dapat menyelesaikan target pekerjaannya, yakni belum merealisasikan pekerjaan pengadaan blangko KTP Elektronik sebanyak 65.340.367 keping dengan nilai Rp1.045.445.868.749,00 (satu triliun empat puluh lima miliar empat ratus empat puluh lima juta delapan ratus enam puluh delapan ribu tujuh ratus empat puluh sembilan rupiah).

Oleh karena itu, pada tanggal 9 Maret 2012 Gamawan Fauzi mengajukan usulan penambahan anggaran dalam APBN-P tahun 2012 kepada Menteri Keuangan. Usulan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan rapat pembahasan antara Kementerian Dalam Negeri dengan Komisi II DPR RI.

Untuk memperlancar pembahasan APBN-P tahun 2012 tersebut, sekitar pertengahan bulan Maret 2012 Terdakwa I dimintai uang sejumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) oleh Markus Nari selaku anggota Komisi II DPR RI. Guna memenuhi permintaan tersebut, Terdakwa I memerintahkan Terdakwa II untuk meminta uang sejumlah Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) kepada Anang S Sudihardjo selaku direktur utama PT Quadra Solution yang merupakan anggota konsorsium PNRI. Atas permintaan tersebut, Anang S Sudihardjo hanya memenuhi sejumlah Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) yang diserahkan kepada Terdakwa II di ruang kerja Terdakwa II. Selanjutnya Terdakwa II menyerahkan uang tersebut kepada Markus Nari di restoran Bebek Senayan, Jakarta Selatan.

Meskipun para Terdakwa telah memberikan sejumlah uang kepada Markus Nari guna penambahan anggaran, namun DPR RI tidak memasukkan penambahan anggaran yang diminta oleh Gamawan Fauzi tersebut dalam APBN-P tahun 2012. Oleh karena itu pada tanggal 27 Juni 2012 Gamawan Fauzi Fauzi dan para Terdakwa mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi II DPR RI guna membahas mengenai penambahan anggaran untuk proyek penerapan KTP berbasis NIK secara nasional (KTP Elektronik).

Dalam rapat kerja tersebut disepakati bahwa tambahan anggaran sejumlah Rp1.045.445.868.749,00 (satu triliun empat puluh lima miliar empat ratus empat puluh lima juta delapan ratus enam puluh delapan ribu tujuh ratus empat puluh sembilan rupiah) untuk penyelesaian pengadaan blangko KTP berbasis chip sebanyak 65.340.367 keping akan ditampung dalam APBN tahun anggaran 2013.

Setelah diperoleh kesepakatan tersebut, kemudian pada sekitar Agustus 2012, Terdakwa I dimintai sejumlah uang oleh Miryam S. Haryani sejumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk kepentingan operasional Komisi II DPR RI. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Terdakwa I memerintahkan Terdakwa II untuk menyiapkan uang sejumlah itu dan langsung diberikan kepada Miryam S. Haryani. Menindaklanjut perintah Terdakwa I, kemudian Terdakwa II meminta uang sejumlah Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) kepada Anang S Sudihardjo dan mengarahkan untuk langsung diberikan kepada Miryam S. Haryani. Perintah Terdakwa II tersebut, kemudian dilaksanakan oleh Anang S Sudihardjo dengan langsung memberikan uang sejumlah Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) kepada Miryam S. Haryani.

6. Miryam S. Haryani diduga bagi-bagi duit e-KTP untuk politisi di DPR RI

Mantan Menkeu Agus Martowardojo Kembali Diperiksa dalam Kasus e-KTPANTARA FOTO/Putra Haryo Kurniawan

Bagaimana proses bagi-bagi duit E-KTP menurut dakwaan JPU?

Sebagian uang yang diberikan para Terdakwa kepada Miryam S. Haryani tersebut diatas, dibagi-bagikan kepada pimpinan dan anggota Komisi II DPR RI secara bertahap dengan perincian sebagai berikut:

a. 4 (empat) orang pimpinan Komisi II DPR RI yang terdiri dari

Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Teguh Djuwarno dan Taufik Effendi masing-masing sejumlah US$ 25.000,00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat).

b. 9 (sembilan) orang Ketua Kelompok Fraksi Komisi II DPR RI masing-masing sejumlah US$ 14.000,00 (empat belas ribu dolar Amerika Serikat) termasuk kapoksi yang merangkap sebagai pimpinan komisi.

c. 50 (lima puluh) orang anggota Komisi II DPR RI masing-masing sejumlah US$ 8.000,00 (delapan ribu dolar Amerika Serikat) termasuk pimpinan komisi dan kapoksi.

Miryam kemudian divonis lima tahun penjara atas perkara pemberian keterangan palsu dalam sidang e-KTP.  Dia juga diganjar denda Rp 200 juta.

Baca Juga: Divonis Lima Tahun Penjara, Miryam Haryani: Saya Akan Kejar Novel Baswedan

7. Para politisi yang disebut menerima aliran dana e-KTP membantah tudingan itu

Mantan Menkeu Agus Martowardojo Kembali Diperiksa dalam Kasus e-KTPkemendagri.go.id

Sebagian dari nama-nama yang disebut dalam dakwaan JPU membantah menerima aliran dana dari skandal proyek KTP Elektronik. Setya Novanto, Ganjar Pranowo, sampai Yasonna Laoly yang kini menjadi Menteri Hukum dan HAM di kabinet Presiden Joko “Jokowi” Widodo membantah mengetahui dan menerima aliran duit e-KTP.

Politisi Partai Demokrat Marzuki Alie mengatakan bahwa namanya dicatut dan melaporkan Andi Agustinus serta terdakwa I dan II ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.

Jaksa Irene Putrie memastikan pihaknya telah memiliki bukti kuat terkait dugaan keterlibatan Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Irene menanggapi bantahan Setya tentang tudingan penerimaan uang dalam dugaan korupsi e-KTP.

"Setiap kalimat dalam surat dakwaan itu kami sudah konfirmasi minimal dengan dua alat bukti. Jadi kalau ada yang membantah, kami sudah punya alat bukti yang kuat," ujar jaksa Irene Putri di Pengadilan Tipikor, usai sidang perdana, Kamis (9/3/2017)

Setya Novanto kemudian dijatuhi vonis penjara 15 tahun dalam skandal korupsi e-KTP.  Vonis ini lebih rendah dari tuntutan JPU, yaitu 16 tahun penjara.

Baca Juga: Breaking: Setya Novanto Dijatuhi Vonis Penjara 15 Tahun

Sejauh ini sudah delapan tersangka perkara e-KTP yang ditangani KPK. Sebagian sudah dijatuhi vonis, sebagian lainnya masih dalam proses.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya