Maulid Nabi Muhammad SAW, Belajar Islam dari Mohammad Natsir

Islam ajarkan berlomba menuju kebaikan

Jakarta, IDN Times – Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW 1442 H, saya ingin berbagi soal Islam dalam pandangan Mohammad Natsir.

Mohammad Natsir sering disebut sebagai “pembawa hati nurani umat”. Dianggap sebagai sosok pemikir dan pejuang yang menyelamatkan negeri ini dari perpecahan. Natsir pernah memimpin Jong Islamiten Bond (JIB) Bandung (1928-1932). Natsir juga pernah aktif di Partai Islam Indonesia (PII) dan Persatuan Islam (PERSIS), serta anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tahun 1945-1946. 

Natsir pernah menjabat sebagai menteri penerangan tiga periode pada era kabinet Sjahrir dan Hatta (1946-1949). Dia menjabat Ketua DPP Masyumi (1949-1958). Pada saat Indonesia menjadi negara Serikat (RIS), sebagai produk Konferensi Meja Bundar (KMB), Natsir menolak tawaran Bung Hatta menjadi Perdana Menteri negara bagian RI di Yogyakarta.

Abibullah Djaini memaparkan bahwa Natsir tetap melakukan lobi menghubungi negara bagian lainnya, agar membubarkan diri dan bersatu kembali dengan negara kesatuan RI di bawah pimpinan Sukarno-Hatta.

Usaha ini ternyata tidak mengecewakan. Dalam sidang Parlemen RIS, 3 April 1950, Natsir menyampaikan mosi yang memungkinkan RI bersatu kembali setelah terpecah-belah menjadi 17 negara bagian.  Mosi ini sangat populer dan dikenal dengan nama “Mosi Integral Natsir”.

Atas jasanya ini, Bung Karno mengangkat Natsir sebagai Perdana Menteri. Jadi, Natsir adalah PM pertama RI. Jenjang tertinggi dalam karier politik Natsir. Saat itu Natsir berusia 42 tahun.

Natsir lahir di Alahan Panjang, 17 Juli 1908. Dia meninggal dunia pada 7 Februari 1993.

Buku “Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir”, adalah kumpulan tulisan dan hasil seminar yang dilakukan Youth Islamic Study Club Al-Azhar pada Juli 1994 di Jakarta. Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, dan disunting Abibullah Djaini. 

Dalam bab Capita Selecta, di buku itu, Ahmad Muflih Saefuddin,  politisi Partai Persatuan Pembangunan yang pernah menjadi Menteri Pangan dan Hortikultura era Presiden BJ Habibie menuliskan beberapa pokok pikiran Natsir soal Agama dan Kebangsaan.

Baca Juga: 10 Inspirasi Ucapan Maulid Nabi Muhammad SAW 2020, Bisa Jadi Status WA

1. Islam anti-Ashobiyah Jahiliyah, fanatik buta atas kesukuan

Maulid Nabi Muhammad SAW, Belajar Islam dari Mohammad NatsirSuku Baduy (ANTARA FOTO)

Dalam ajaran Islam disebutkan, bahwa manusia ini dijadikan golongan, bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa yang berbeda-beda,  Bahasa pun bermacam-macam. Ini adalah fitrah dan ‘'natuur’.  Dikatakan di ujung ayat itu, lita’arofu, supaya kamu kenal mengenal satu dengan yang lain (QS. Al Hujarat : 13).

Keragaman adalah Undang-Undang Tuhan yang telah berlaku dalam kemanusiaan. Janganlah mentang-mentang kita berkulit putih, lantas merasa lebih tinggi dari bangsa yang berkulit sawo, sehingga mendapatkan hak asasi menjajah mereka. Atau kalau kebetulan kita berkulit sawo, janganlah merasakan diri lebih tinggi dari yang berkulit hitam.

Yang demikian bukanlah kebangsaan yang sehat. Itu sudah sampai kepada kecongkakan bangsa, kesombongan bangsa, kefanatikan bangsa. Paham kebangsaan yang begini, dilarang oleh Islam. Islam adalah suatu sistem yang memberantas kefanatikan bangsa, chauvinisme yang sempit. Rasialisme, kalau kata orang saat ini. Cari ilmunya dari faqih-faqih kita, yang dilarang oleh Islam itu adalah, “Ashobiyah Jahiliyah”.

Saya hendak mengatakan sekali lagi bahwa jauh dari pada kehendak menghapuskan bangsa dan kebangsaan, Islam adalah meletakkan dasar-dasar untuk subur hidupnya bangsa dan suku-suku bangsa atas dasar harga-menghargai, kenal-mengenal, memberi dan menerima.

Kalau kita bangsa Indonesia, silakan merasa bangga menjadi bangsa Indonesia, tapi awas jangan merosot sampai menjadi chauvinisme sempit, yang akan menuju kepada facisme dan totaliterisme. Saudara jangan tidak khawatir, bahwa di negara kita tidak akan tumbuh facisme, totaliterisme dan sebagainya itu.

Bisa saja ia tumbuh! Facisme dan sebagainya itu adalah suatu alam pikiran yang tidak tergantung apa kulitnya putih, hitam atau sawo matang, dan lain-lain. Kita harus hari-hati agar facisme dan sebagainya itu jangan tumbuh di negara demokrasi kita yang berkeTuhanan Yang Maha Esa. Ini adalah kewajiban tiap Muslim!

2. Islam menghormati multi-ras

Maulid Nabi Muhammad SAW, Belajar Islam dari Mohammad NatsirIlustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Rasialisme, diakui adalah salah satu dari sumber penyakit dunia yang menimbulkan peperangan demi peperangan. Chauvinisme menimbulkan bentuk-bentuk kebangsaan yang lebih berbahaya untuk masyarakat.

Kita lihat bagaimana warna kulit rakyat di Afrika Selatan, di AS, telah menimbulkan masalah, yang rupanya tidak dapat diatasi dalam zaman demokrasi modern saat ini. Kita mengetahui bagaimana celakanya kehidupan suatu bangsa apabila sudah memuncak rasialisme, sebagaimana dalam falsafah hidup kamu Nazi.

Sejarah juga menunjukkan kepada kita, bagaimana celakanya apabila cinta kepada bangsa dan tanah air merosot menjadi kecongkakan bangsa berupa xenofobia atau kebencian terhadap semua orang yang berbangsa asing.

Bagi golongan-golongan yang lebih senang mendengarkan pandangan dalam buku bahasa asing, dari yang berbangsa Inggris misalnya, saya ingin memperkenalkan seorang profesor bernama Arnold Toynbee, sejarawan Inggris. Dalam bukunya, “Civilization on Trial”, atau ancaman terhadap kebudayaan, dia menulis sebagai berikut: “Dunia sekarang mempunyai dua penyakit, yang belum dapat dicarikan obatnya. Penyakit itu adalah rasialisme dan alkohol.“

Dengan gamblang Toynbee menyatakan bahwa rasialisme dan alkohol adalah sumber keguncangan dunia. “Kalau ada satu sistem yang bisa menghancurkan rasialisme dan alkohol, sistem itu  hanyalah Islam,” tulis Toynbee.

Toynbee penganut Kristen. Sebagai ilmuwan, saintist ia menganalisa fakta-fakta.

Sekali lagi, Natsir membuktikan bahwa Islam mendukung sikap multi-ras berdasarkan firman Allah SWT surat Al Hujurat ayat 13 itu, “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu  berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.  Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”

3. Islam anti-eksploitasi dan kemiskinan

Maulid Nabi Muhammad SAW, Belajar Islam dari Mohammad NatsirSeorang tunawisma tertidur di depan Taman Lapangan Banteng pada Sabtu, 8 Agustus 2020 (IDN Times/Besse Fadhilah)

Nabi Muhammad SAW adalah sosok pemimpin revolusi. Salah satu dari anasir revolusi Nabi adalah memberantas tiap-tiap eksploitasi manusia oleh manusia (exploitation of man by man), dan memberantas kemiskinan dan kemelaratan. Ajaran Islam berisi dan ditujukan hal di atas.

Beliau berkata, “Kemiskinan dan kemelaratan itu adalah dekat sekali ke kekufuran, “Kadal faqru an-yakuna kufran”, dalam bahasa Arabnya.  Jadi, janganlah kemiskinan dan kemelaratan merajalela di sekeliling kita, sebab kemiskinan dan kemelaratan itu membawa manusia kepada kemungkaran. Manusia yang baik bisa menjadi ingkar. Jika ingin akhlak tidak merosot, demoralisasi tidak merajalela, maka salah satu obatnya adalah memberantas kemiskinan dan kemelaratan.

AM Saefuddin menyimpulkan beberapa pandangan Natsir di atas:

“Tiap kebajikan adalah kebaikan, yang sangat dimuliakan dalam Islam. Menurut Natsir, kebaikan adalah jasa baik, berkecenderungan kepada damai atau perdamaian, adil dan berkeadilan, anti-eksploitasi sesama manusia atau bangsa dan anti-kemiskinan dan anti-kemelaratan.”

Selamat merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, seraya berlomba-lomba menuju kebaikan!

Baca Juga: Ini 7 Salawat Nabi Teristimewa untuk Rayakan Maulid Nabi 1442 Hijriah

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya