Menkes Budi: Tuhan yang Menentukan Kapan Pandemik Ini Berakhir

Kisah di balik layar dua tahun COVID-19

Jakarta, IDN Times - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, sebagaimana sering dia sampaikan ke publik, tidak pernah terbayang bakal duduk di “kursi panas” jabatan publik saat terjadi pandemik COVID-19. Sejak diangkat sebagai menteri kesehatan, 23 Desember 2020, lulusan Teknik Fisika Nuklir, Institut Teknologi Bandung (ITB) yang punya rekam jejak panjang sebagai bankir swasta maupun pemerintah itu langsung disambut sejuta persoalan.

Budi mengalami masa-masa berat saat varian Delta menyerang Indonesia dan ribuan pasien meninggal dunia setiap hari. Krisis oksigen dan sulitnya kamar perawatan yang luar biasa parahnya Juli 2021. “Itu adalah momen paling menyedihkan bagi saya,” tutur Budi, dalam wawancara kami untuk program spesial #SuaraMilenial by IDN Times, Kamis 24 Februari 2022 di kantornya, Kementerian Kesehatan.

2 Maret 2020 adalah tanggal resmi versi pemerintah soal kehadiran pandemik COVID-19 di Indonesia. Pada tanggal itu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan dua kasus positif pertama di Indonesia. Per 1 Maret 2022, hampir dua tahun pandemik di negeri ini, ada 5,56 juta kasus COVID-19, 148 ribuan meninggal dunia, dan angka kesembuhan yang terus meningkat hingga sekitar 4,8 juta orang.

Indonesia menunjukkan tingkat vaksinasi yang membaik, termasuk yang terbaik di antara negara di dunia, begitu juga dalam hal penanganan pandemik, Budi diperintahkan oleh Presiden Jokowi menyiapkan Indonesia memasuki fase endemik, ketika masyarakat bersiap hidup bersama virus.

Bagaimana kisah-kisah di balik layar mengurusi pandemik, dan ke mana arah masa depan penanganan kesehatan di Indonesia? Simak wawancara khusus dengan Menkes Budi di bawah ini:

Baca Juga: [LINIMASA-9] Perkembangan Terkini Pandemik COVID-19 di Indonesia

Sehari berapa kali rapat via Zoom?

Kita agenda meeting-nya 10-12 sehari, masing-masing ada yang 30 menit, ada yang satu jam, paling lama ya diupayakan 90 menit. Jarang sih yang di atas dua jam. Duduk kelamaan panas juga ya, tapi sampai malam itu, biasanya di-break dulu saat salat, termasuk Maghrib, lanjut malam hari.

Soalnya, teman-teman sekalian, Pak Menteri ini sangat efektif kalau rapat, beberapa kali zoom dengan pemimpin redaksi, jamnya tuh jam nanggung, satu jam sebelum azan Maghrib. Supaya Maghrib sudah beres, yang penting sudah sampaikan update-nya. Karena kami punya WAG Menteri Kesehatan dengan Pemimpin Redaksi, beberapa ahli dan ada juga influencer.

Pak Menteri, kemarin saya wawancara dengan Raffi Ahmad, influencer, yang sedang isoman. Dia bilang meskipun dia sebenarnya gak positif COVID-19, tapi sempat kontak-erat dengan yang positif, Pak Menkes sarankan isoman, untuk memberikan contoh ke masyarakat. Jadi punya banyak WAG ya? Sama influencer juga?

Jadi waktu itu kita buat WAG dengan pemimpin redaksi, kan. Terus ada penasihat yang bilang, jangan digabungin, belum tentu rukun tuh antara media formal dengan media sosial. Ada yang sudah sempat masuk satu influencer (Deddy Corbuzier). Akhirnya kita bikin sendiri yang khusus sama influencer. Tapi niatnya sama , karena kesehatan itu kan butuh involvement masyarakat. Gak ada pandemik yang bisa diatasi tanpa keterlibatan masyarakat. Jadi saya lagi berusaha tuh agar kita geser lebih banyak ke masyarakat, sehingga masyarakat sadar, bahwa ini gak bisa diselesaikan kalau hanya dilakukan pemerintah. Saya kasih contoh misalnya, flu. Kalau flu itu sudah berhasil, kenapa? Kalau musim hujan banyak yang flu, ya rakyat sudah tahu kalau masuk musim hujan, jangan hujan-hujanan. Boleh masuk kantor gak? Boleh, tapi ya pakai payung atau jas hujan. Kalau dia kehujanan dia tahu, pulang sampai rumah dia mandi, keramas, lalu tidur. Nah itu kan gak perlu diajari, gak perlu program pemerintah, orang udah tahu.

Begitu juga demam berdarah, masyarakat sudah tahu, jangan ada genangan air di sekitar kita. Kalau bisa rutin disemprot kebunnya. Dan kalau sudah sore Maghrib, tutup jendela supaya nyamuknya gak masuk kan. Jadi hal-hal seperti ini semua sudah tahu. Kalau kita mau mengubah dari pandemik ke endemik, latihan perilaku masyarakat agar bisa berubah taat prokes, gak perlu tergantung Kemenkes. Misalnya sekarang mengapa harus pakai masker, ya karena pandemik COVID-19 lagi naik. Kenapa sih gak boleh berjubel-jubel? Ya karena lagi naik. Kalau sudah turun ya kita bisa ke mal, atau di luar gak pakai masker. Harusnya anti masyarakat sudah paham sediri. Pada saat itu lah, pada titik itu, kita sudah berhasil mengendalikan pandemik.

Kalau dibandingkan, antara WAG Pemred dengan influencer, pertanyaannya lebih banyak mana?

Menkes Budi: Tuhan yang Menentukan Kapan Pandemik Ini BerakhirPemimpin Redaksi IDN TImes Uni Lubis dan Menkes Budi Gunadi Sadikin (IDN Times/Rendy Anwar)

Lebih banyak pertanyaan grup pemred. Karena pemred itu kan selalu sistematik, curiosity-nya tinggi. Kalau influencer kan lebih banyak happy, lebih ke broadcasting, lebih seperti itu. Mereka gak dibayar kok. Mereka membantu publik.

Influencer itu mulai masuk ketika kita ada aktivitas membantu masyarakat menyediakan oksigen lewat Indonesia Pasti Bisa. Kan kurang, kita lagi panik, pusing-pusing, ada datang bantuan, rezeki anak soleh, anak-anak muda semua, Pak Menkes lagi kurang oksigen. Kita bantuin ya. Tapi budgeting-nya lama. Kita bantuin deh urunan. Dia masuk website Kitabisa.com, si Alfatih Timur bikin, kita masukin Maudya Ayunda, Raffi Ahmad, Ariel NOAH, dan lainnya, tahu-tahu 10 juta dolar terkumpul. Aku mau kasi uang juga, waduh, nanti pusing, kena KPK dan lain-lain. Mereka langsung beli oksigennya, kita cuma kasih rumah sakit yang memerlukan, di sini nih perlu, didistribusi ke sini, mereka kirim sendiri, lebih cepat dan rapi.

Dari situ kita lihat sebenarnya modal sosial rakyat Indonesia besar juga ya, kalau kita bisa rajut. Dan orang-orang ini powerful juga karena dilihat orang banyak. Yang penting kita bisa jelasin nanti ngomongnya begini ya, jangan begini. Kadang-kadang mereka debat juga, mengeluh, ya kita dengerin. Jadi mereka bantu sih.

Dari pertama jadi menteri kesehatan sampai dua tahun pandemik ini, apa lima highlight-nya? Yang dirasakan, dilakukan? Level personal atau terkait sebagai menkes?

Pertama, kita gak pernah berhenti belajar dan gak boleh sok tahu. Karena banyak sekali yang kita gak tahu di sini. Jadi kita dengerin semua orang, siapa tahu punya ide bagus.
Kedua, Kita gak bisa jalan sendiri. Kita harus selesaikan bersama-sama. Jadi jangan eksklusif, harus inklusif. Jangan pendekatannya program ... program vaksinasi, jangan gitu. Ini harus jadi kayak movement. Jadi vaksinasi kan, ditanya sama Bapak Presiden, kita vaksinasi udah lumayan juga ya, The Economist bilangnya kita cepat juga ya, Pak Menkes lakukan apa? Saya jawab, sebenarnya saya gak lakukan apa-apa, beliau tertawa, kenapa? Karena yang melakukan paling banyak kan polisi, TNI, alumni SMA (sebut beberapa nama) mungkin juga partai politik merah, kuning, biru dan lainnya. Semua melakukan dan mereka senang melakukannya sendiri tanpa kita suruh-suruh.

Saya bilang, keberhasilan kita karena semua orang mau melakukannya, influencer membantu, media membantu, pemred membantu juga, ya kita diomelin juga, tapi kita dengerin. Bantu juga. Membangun suatu gerakan untuk membantu menyelesaikan problem besar bangsa ini salah satu yang key, kunci, menurut saya, kok bisa jadi akhirnya bergerak jalan ke depan.

Ketiga, ini pandemik, medical, yang benar-benar dihadapi dengan science. Bahwa saya sadar ada faktor ekonomi, politik, budaya pada saat kita mau maju ke depan, tapi sebenarnya medical itu medical science. Itu alasannya mengapa masuk ke kedokteran harus dari jurusan IPA. Ini basisnya science. Karena itu debat kusirnya harusnya lebih kurang sih. Karena seemosi apapun kita, tapi kalau datanya sangat saintifik.

Keempat, transformasi digital dalam penanganan pandemik. Itu mulainya, ada lucu-nya nih. Istilahnya connecting the dot kalau kata si Steve Jobs (pendiri Apple), saya tuh waktu wakil menteri BUMN, pegang farmasi, rumah sakit BUMN di holding-nya, sama Telkom. Jadi kita lihat, oh di Singapura tuh bulan April 2020 dia bikin aplikasi namanya Trace Together.

Kita suruh Telkom bikin. Mereka bikin, jadi bagus. Gimana caranya supaya semua perusahaan telekomunikasi mau ikut, kita bujuk-bujukin ke Kominfo, ada tuh dirjennya Pak Profesor Ramli tuh, bantuin, ah masuk. Gimana caranya supaya bisa dipakai, kita kasih ke Kominfo, jadi sebenarnya yang bikin teman-teman Telkom tuh, Faizal Rocmad Djoemadi yang kemudian dirutnya PT Pos Indonesia, kita kasih ke Kominfo, eh gak diizinkan nyambung ke Kemenkes. Karena datanya kan ada di Kemenkes. Waktu itu masih belum diiizinkan. Gak jadi tuh yang namanya PeduliLindungi itu. Terusnya kok tiba-tiba saya ditunjuk jadi menteri kesehatan, ya dibuka lagi prosesnya, dintegrasikan dengan data Kemenkes, sekarang menjadi aplikasi nomor satu di dunia yang diunduh orang. 

Karena orang jadi butuh vaksinasi dan aplikasi untuk masuk ke mal, misalnya. Habis itu udahlah, yang terakhir mungkin, saya mesti kasih tahu, untuk Omicron ini, yang meninggal, either dia belum divaksinasi atau vaksinasi sekali, lansia dan komorbid. Kita tahukah, kalau kita tes terus positif, sehari langsung berubah statusnya jadi hitam. Gak bisa ke mana-mana. Sekarang kita pakai tuh PeduliLindungi ketika dia positif, hitam, kita kirim ke Telemedicine supaya mereka kontak dan bisa dilayani. kita kirim juga datanya ke rumah sakit dan ke Puskesmas juga. Kalau termyata kita cek ke Dukcapil usianya di atas 60 tahun, kita cek database vaksinnya belum, kita sekarang udah koneksi data ke BPJS.

Mereka yang punya data, termasuk komorbid, oh ternyata komorbidnya darah tinggi sama diabetes nih, walaupun dia Orang Tanpa Gejala (OTG) langsung kita kasih jalur khusus, supaya masuk ke rumah sakit, kita WA ke Puskesmas supaya bisa segera masuk rumah sakit. Jadi akhirnya terus berkembang dari platform yang kita bikin di awal. Fiturnya menambah terus.

Kementerian Kesehatan keputusan kontroversialnya adalah orang masuk mal harus sudah divaksinasi kalau ggak hitam statusnya di PeduliLIndungi. Tapi itu ternyata mempercepat lansia divaksinasi, karena lansia itu termyata susah divaksinasi. Segala macam alasan. Kita baru sadar, lansia itu naik tinggi jumlahnya yang divaksinasi, gara-gara ingin ke mal, jadi saya bingung, rupanya lansia ingin sama-sama dengan cucu, gembiranya kalau main sama cucu, dan gembira kalau bawa cucu ke mal. Jadi begitu dia bisa bawa cucunya ke mal, atau cucunya masuk ke mal tapi dia gak boleh karena belum vaksinasi, ternyata itu memberikan dorongan positif kepada lansia untuk divaksinasi. Jadi banyak aspek sosial budaya juga yang kita pelajari di sini.

Kelima, saya sih melihatnya ya mungkin karena keseriusan dari Pak Presiden juga. Gak banyak orang tahu ya, beliau setiap minggu gak pernah absen rapat penanganan COVID-19. Aku gak tahu di negara lain bagaimana ya. Pak Presiden tuh setiap hari Senin, selalu rutin ikut rapat. Saya tahu persis, sejak saya masuk ke Kemenkes, saya punya semua presentasi untuk beliau, gak berhenti tiap minggu, itu kalau didokumentasikan, setiap minggu gak pernah absen. Saya gak bisa rekam aja omongannya. Setiap minggu beliau telepon. Sabtu Minggu pasti beliau telepon menanyakan, Senin di rapat mau seperti apa? Jadi itu menunjukkan bahwa kerja ini mesti tekun, mesti ada diligent-nya, rajin mesti ada persisten-nya, terus rutin kita lakukan , sehingga gak ada yang lepas. Kita memang agak kendor Juli itu (puncak varian Delta, 2021), tapi kan kita banyak yang gak ngerti juga saat itu. Tapi belajar dari situ karena kita cepat memperbaiki diri, ada ketekunan untuk memperbaiki diri, sekarang relatif harusnya lebih baik. Dan, cukup banggalah dibandingkan dengan negara-negara maju, even kita juga setara lah.

Most happiest moment sejak jadi menkes itu kapan?

Sebenarnya lucu ya, the most happiest moment, jujur ya, is close to the most sad moment. Jadi waktu Juli (2021) itu kan yang masuk rumah sakit, WA tuh penuh. Saya paling cepat tidur jam 1, jam 2 malam itu sebenarnya membalas WA yang masuk, either WA marah-marah, minta rumah sakit ... yang paling banyak minta rumah sakit. Jadi kita minta tolong ke Prof (Abdul) Kadir (Dirjen Pelayanan Kesehatan Masyarakat) , kalau Prof Kadir udah lima-enam orang saya WA, saya kasih, minta tolong ke dirut ini, dirut RS ini. Kadang-kadang kita capai juga ya, jam 1 jam 2 malam kita teler, begitu bangun, pagi, kita lihat di WA, oh ini ada dibalas kan. Yang paling sedih kalau balasannya, “Pak sudah meninggal dunia”.

Tapi yang paling senang, kalau kemudian dapat balasan WA, “Pak Budi terima kasih, saya kirimin pisang tanduk ya, karena orang tua saya sembuh.” Jadi the most happiest moment adalah saat kita terima WA terima kasih karena pasiennya keluarganya, selamat. Apalagi kalau sebelumnya dia sudah caci maki kita. Ini susah banget dapat rumah sakit, pemerintah gimana. Kita kan gak boleh emosi nerima itu, kita harus layani. Tapi begitu mereka ternyata tertangani dan sembuh, itu WA-nya bisa, bacanya gak habis-habis. Itu the happiest moment.

G20 Presidensi Indonesia, satu dari tiga tema utama Indonesia adalah arsitektur kesehatan global. Apa yang ditawarkan Indonesia?

Menkes Budi: Tuhan yang Menentukan Kapan Pandemik Ini BerakhirData COVID-19 (IDN TImes/tangkapan layar webinar)

Bapak Presiden kasih tiga kan, arsitektur kesehatan global, digitalisasi dan transisi energi. Jadi kepada Bapak Presiden saya sampaikan, usulan kami begini. Ada tiga prioritas isu. Pertama, membangun sistem ketahanan kesehatan global. Kedua, membangun harmonisasi dari protokol kesehatan global. Ketiga, meredistribusi kemampuan manufaktur pabrik vaksin global dan riset global. Desentralization global manufacturing hub dan global reserach hub, gitu bahasa Inggrisnya.

Nah yang pertama itu , ada tiga deliverable, target yang ingin kita capai, Pak Presiden kan sangat spesifik ya untuk membangun sistem ketahanan kesehatan global. Saya share ke beliau, Pak saya ini dari keuangan. Di keuangan itu, setiap kali ada krisis, saya sudah mengalami beberapa kali krisis, gede-gede, di mana pun negaranya, jika dia mengalami krisis moneter atau finansial, in term of weeks, bukan in term of months ya, ada lembaga yang namannya IMF (Dana Moneter Internasional), masuk. Diobatin tuh balance sheet-nya negara yan masih krisis itu. Krisis 1997-1998, 2008, tep masuk IMF kan. Kita juga pernah kebagian, 2008 alhamdulillah gak. Dengan modal yang cukup, dengan peraturan yang jelas, participatory modal yang jelas, governance yang jelas, tata kelola yang jelas. Dan lembaga seperti IMF ini di sektor kesehatan gak ada.

Jadi kalau ada negara misalnya kena, tuh ada health crisis, atau sekelompok negara misalnya di Afrika kena, you are on your own, sendirian. Indonesia mengalami kan (saat awal COVID-19), kena, cari masker, cari sendiri. Cari vaksin, ya kudu cari sendiri. Gak ada tuh suatu badan yang siap untuk membantu keuangan. Saya suka cerita ini, dan waktu bicara di forum G20 Finance saya bilang, humanity in the aftermath after World War II, humanity kan raised beyond disparity and confllict. Kan di di tahun 1944, pemimpin-pemimpin dunia berkumpul di Bretton Woods, untuk bikin IMF ini. Dua institusi keuangan dunia yaitu IMF dan World Bank menjadi dua pilar utama sistem keuangan global. Nah kita perlu membuat yang sama di sistem kesehatan global. Institusi yang bisa raise fund.

Indonesia mau bikin itu. Ini beda dengan WHO ya karena ini untuk raising fund. WHO lebih ke bikin aturan , riset, kajian, policy, seperti itu. Orang-orangnya jauh berbeda. Periset-periset bagaimana dia bisa raise fund, totally berbeda. Tapi ada yang kedua yang berbeda dengan IMF dan World Bank. Karena kalau terjadi krisis kesehatan dan punya uang, seperti Indonesia, gak punya akses jadi masalah juga. Jadi deliverable yang kedua, kita harus bikin itu yang kayak commitment to provide access for emergency health countermeasures.

Jadi kita mesti deal dengan perusahaan-perusahaan farmasi besar, perusahaan manufaktur alat kesehatan besar, atau negara-negara yang punya kapasitas produksi besar kayak China dan India, sehingga kalau nanti ada krisis, tolong dong jangan diblok tuh yang namanya ventilator, vaksin, masker, dan lainnya. Dibilangnya tuh therapeutic, vaccine sama diagnostic tools itu dibutuhkan saat darurat pandemik. Kita mesti setuju di awal, produk-produk cadangan kesehatan ini mesti disiapkan, saat terjadi, ini harus dibuka aksesnya. Yang ketiga, kita belajar juga, bahwa kita harus bikin global surveillance platform yang sama. Jadi kebayang lah, kaalau kita diserang sama Alliens, pasti yang namanya radar sistem pertahanan udara AS, Rusia, China bersatu kan? Untuk menangkis musuh ini.

Jadi, sama halnya jika ada virus, pertahanannya harus bersatu, namanya sistem pertahanan kesehatan. Perlu global surveilance lab, lab yang bisa genome sequencing. Jadi mengapa ketika kejadian pertama di Wuhan, Moderna, dan Pfizer bisa bikin vaksin? Surprisingly, sebenarnya, itu ada saintis China, yang menemukan varian Corona ini, dan dia upload ke Gisaid, ini perusahaan swasta sebenarnya. Tapi semua saintis pakai mereka karena percaya, trusted intitution. Dia kirim ke sana, jadi saintis Moderna bisa lihat, saintis BioNTech Pfizer bisa lihat, dia bikin itu yang namanya vaksin mRNA itu dalam enam bulan. Keluar cepat. Ini harus diinstitusionalisasi. Supaya kalau kejadian lagi, mau di China, Afrika, di Brasil, di manapun, kita bisa dengan cepat diindentifikasi dibagikan informasinya, dan seluruh saintist di dunia bisa keroyokan menemukan senjata untuk melawan virus atau bakteri seperti ini.

Yang keempat deliverable-nya untuk global health protocol saya selalu bilangnya , kenapa sih kalau kita jalan sekarang. Aku masuk Korea Selatan, syarat vaksinasinya begini, syarat tes PCR-nya begini, karantinanya begini. Masuk daerah lain beda-beda. Kok kalau imigrasi gampang tuh, dokumennya cuma satu, paspor, prosesnya sama mau masuk atau mau ke luar negara manapun. Coba kita bikin yang seperti itu.

Yang kelima, terakhir adalah redistribusi dari global manufacturing hub sama global research hub. Kan itu tadi kalau di AS tiba-tiba kena, rusak semua, kita harus punya tempat lain. Kalau di sana sibuk mengurusi produksi buat rakyat sana, Afrika kan harus ada buat mengurusi rakyat di sana, Asia Selatan harus ada, di Amerika Selatan harus ada juga, dan seterusnya. Kita baru saja ditunjuk WHO untuk menjadi vaksin mRNA, hub untuk Asia Tenggara. Ini saya berterima kasih sama WHO, meskipun demikian saya ada catatan juga, karena kita masih menjadi sub-nya Afrika Selatan, sebenarnya kita bilang, tolong treat Indonesia sejajar dong dengan Afrika Selatan.

Kita penduduknya lebih banyak, kita sudah punya Biofarma yang juga pasok obat untuk WHO, kenapa sekarang kita masih di-treat, yang technology development-nya masih di Afrika Selatan, kita hanya menjadi subnya? Itu yang secara formal saya bilang ini unfair. Harusnya Indonesia dikasi sejajar dengan Afrika Selatan.

Apakah tiga proposal ini sudah dibagikan ke negara G20? Bagaimana responsnya?

Sudah dibagikan, secara prinsip mereka mendukung, yang paling contentious adalah yang global health fund. Karena ini uang besar. Mudah-mudahan saya gak salah ya, karena pengetahuan saya waktu di perbankan, IMF tuh punya sekitar US$200 miliar kalau perlu apa-apa, dan dia bisa leverage itu kalau ada krisis. Dia bisa naikin itu lima kali lipat, pinjam sana-pinjam sini , bisa jadi satu US$ 1 triliun. World Bank mungkin punya sekitar US$600 miliar. Itu real money yang punya power to delivered. Karena biar bagaimana kan begini, saat kejadian krisis itu terjadi, vaksin itu gak bisa kita ujuk-ujuk raise fund, misalnya US$20 miliar tuh, gak bisa.

Untuk beli jumlah vaksin dan bisa mendistribusikannya. Bahkan sampai sekarang masih struggle. Karena apa? Karena memang WHO tidak disiapkan dan dilengkapi untuk itu. WHO seperti saya katakan, untuk bikin policy, bikin riset. Tapi bukan untuk raising fund, US$15 miliar, US$16 miliar, atau US$100 miliar untuk masuk ke sana. Jadi kita udah share proposal itu, otomatis kan terjadi diskusi ya karena ini ada concern geopolitik, ada yang namanya World Bank ada yang namanya World Health Organization, itu semua yang nama depannya ada World kan ada seninya sendiri menghadapi mereka. Tapi kita mencoba meyakinkan, kalau misalnya untuk raising fund memang ahlinya World Bank dan IMF, biarkan mereka melakukannya. Tapi nanti uang ini kan gak cukup. Harus diubah menjadi access to emergency health countermeasures ya, seperti ventilator, vaksin, masker dan sebagainya. Ini bidangnya WHO. Jadi harus kerjasama. Kita merangkul dua organisasi ini agar bisa bekerjasama.

Pengalaman sebagai bankir ternyata ada manfaatnya untuk jadi menteri kesehatan saat pademik ini ya? Memikirkan raising fund segala?

Sangat. Terutama kemarin sama Ibu Sri Mulyani (menkeu), diundang berbicara di G20 meeting dengan seluruh gubernur bank sentral dan seluruh menteri keuangan. Kenapa saya bilangnya begitu, teman-teman di sini kan tahu bahwa di semua krisis keuangan yang bantu IMF dan World Bank. Dua institusi itu pilar utama sistem keuangan global, dibentuk pasca perang, di tahun 1944 di Bretton Woods, oleh para pemimpin dunia dengan semangat solidaritas pada waktu itu. Nah sekarang terulang lagi kan, ada perang besar, musuhnya beda, yaitu virus, dan world citizen. Lagi-lagi kembali ke World Leaders saat ini, apa yang akan kalian lakukan untuk memperbaiki sistem kesehatan global, bukan sistem keuangan global.

Dulu waktu krisis ekonomi, kan pada bikin organisasi sistem keuangan global yang bisa mengubah kehancuran ekonomi dari perang dunia kedua dan kehancuran ekonomi berikutnya menjadikan kita masyarakat sipil modern seperti sekarang. Jadi sekarang adalah tugas kita, sebagai pemimpin dunia, menghadapi kebutuhan masyarakat dunia. Ya mengapa tidak membuat hal yang sama untuk mereformasi arsitektur kesehatan global, supaya bisa sama, membangun sistem kesehatan yang modern untuk generasi masa depan. Saya ngomongnya begitu, dan mereka jadi teringat kan, karena ini kejadian buat mereka juga, jadi connected.

Perburuan vaksin di awal pandemik. Bagaimana cerita behind the scene di awal pandemik?

Menkes Budi: Tuhan yang Menentukan Kapan Pandemik Ini BerakhirData COVID-19 (IDN TImes/tangkapan layar webinar)

Waktu itu saya jadi wamen BUMN Oktober 2019. Salah satu tugas yang diberikan Pak Menteri BUMN kepada saya kan disuruh bikin holding farmasi. Jadi holding farmasinya terbentuk di Januari 2020, waktu itu butuh Rapat umum Pemegang Saham (RUPS) dan RUPS-nya Februari kalau gak salah, minta izinnya ke Pak Terawan (menkes saat itu). Saya ke sini nih, minta izin holding farmasi. Terbentuknya gara-gara itu, terus pandemk terjadi.

Memang kalau boleh jujur ya, yang trigger pertama kali cari vaksin itu Biofarma. Jadi Biofarma tuh cukup forward looking juga. Pada saat pandemik itu terjadi, di kita kan resminya tanggal 2 Maret 2020, Di China kan Desember 2019, nah waktu itu di bulan Desember, Biofarma sudah kontak sama Sinovac. Jadi saya sudah tahu di awal Januari 2020 saya sudah tahu ya, sebagai wakil menteri saya dengerin pembicaraan mereka. Hobinya kita kan dengerin hal yang kita gak ngerti ya (ketawa), ini apa sih, vaksinnya gini gini, kenapa gak bikin sendiri, gini ...  gini, jadi waktu itu memang sudah ada kontak dengan Sinovac.

Jadi waktu itu kena, kita udah prepared, sudah ada yang dilakukan oleh Biofarma. Jadi saya meneruskan. Habis itu kena kita berkembang dengan cepat kan, pas waktu itu rumah sakit BUMN oleh Pak Erick Thohir disuruh juga ke saya untuk mengurusin. Waktu itu sempat Pak Tiko (Kartiko Wirjoatmojo, Wamen II BUMN) yang pegang, kemudian Pak Tiko masih konsentrasi ke Wisma Atlet, saya disuruh ngurusin merger rumah sakit, masuk juga ke situ. Jadi, ketemu dengan orag-orang kesehatan ya, seperti dr Erlina Burhan (ahli paru-paru di RSPI), masih ingat saya pertama kali itu. Di situ kita terekspos, oh ternyata vaksinnya ada beberapa juga yang lain. Sambil belajar saya.

Maret-April 2020 itu kita sudah mulai kerja. Karena Biofarma yang mulai, saya sebagai wamen di-update oleh Biofarma mengenai Sinovac. Habis gitu kita jalan kemudian, dengan Astra Zeneca (Inggris). Kita sempat kontak Pfizer, cuma pihak Pfizer gak mau, kontak Moderna, mereka juga gak mau. Jadi , biasa kan perusahaan-perusahaan AS nih.

Akhirnya kontak Astra Zeneca. Lucu juga, ternyata sebelumnya Astra Zeneca sudah kontak Biofarma. Cuma Biofarma hanya bisa bikin di hilirnya. Astra Zeneca ingin bikinnya dari hulu sampai ke hilir, ya apesnya kita telat investasi sehingga mereka akhirnya bikinnya gak di Biofarma, ketarik ke luar. Mereka bikin di India kemudian di Thailand, agak sedih kita. Kemudian masuk WHO, WHO adakan program penelitian untuk mengembangkan vaksin COVID-19, Indonesia masuk, ternyata dulu sudah sempat ditawarin, CEPI, koalisi global untuk persiapan inovasi epidemik itu. Tapi Indonesia gak mau bayar iuran. Jadi gak bisa masuk. Masuk lagi kan ditanya sama mereka, lho dulu gak mau masuk kok sekarang mau masuk. Jadi, itu ada cerita lucunya juga kita jadi bingung, aduh, gimana caranya masuk nih. Padahal kita butuh akses ke vaksin.

Waktu itu kita tahunya CEPI belum GAVI, atau aliansi vaksin. Lalu kita lihat siapa di belakang CEPI? Bill and Melinda Gates. Kita cari siapa yang dekat dengan Bill dan Melinda Gates? Ibu Menkeu Sri Mulyani. Kita telepon Ibu Sri Mulyani, Bu minta tolong, ketemuin dong dengan Melinda Gates. Ketemu tuh dengan Melinda Gates, mungkin Mei atau Juni 2020, masih di awal pandemik lah, kita belum jelas juga vaksinnnnya apa. Dibukain jalan begitu, akhirnya bisa masuk CEPI.

Nah, terus kita berpikir, bagaimana caranya supaya Indonesia bisa menjadi co-chair? Aku melihat, lho kalau saya masuk kan, ya wamen mana bisa? Dan biasanya kalau di Eropa kan sukanya perempuan, gender concern kan. Akhirnya kita usulkan Bu Retno (Menlu masuk). Jadi ceritanya berkembang begitu lah. Diskusi perdebatan kesel-keselnya tektokan, aku juga lihat ada dinamikanya itu, paling penting kita is going to the right direction sih. Gak semua bisa diceritain di sini.

Saat jadi bankir, aktif di Twitter, setelah jadi Menkes kok gak lagi?

Terus-terang saya dulu aktif di Twitter karena Pak Dahlan Iskan. Pak Dahlan itu bilang, Pak Budi kan sudah jadi dirut (Bank Mandiri). Itu banyak yang complaint tuh di Twitter. Jadi saya masuk Twitter untuk menerima complaint. Jadi dirapihkan. Sekarang kenapa gak? Baik di Twitter maupun Instagram setelah jadi menteri gak aktif lagi? Karena saya gak mau high profile. Karena kalau high profile upaya membangun gerakannya gak akan terjadi. Mungkin orang akan berpikir, ini menteri kan posisi politik, dan banyak yang melihat, nanti takutnya orang melihat motivasi kita berbeda.

Tapi saya memonitor social media conversation. Saya sangat perhatikan, saya suka ngecek ke Bu Wiwid (Kepala Biro Humas Kemenkes). Bu Wiwid ini banyak banget yang belum dijawab. Saya kirim. Walaupun memamg jadi tidak sesistematis dulu, kalau dulu kan karena saya aktif saya bisa tahu langsung. Ini kan saya baca setiap hari summary-nya. Which is karena summary, bisa aja ada yang missed, saya kadang baca complaint-nya orang-oarang bisa ketahuan. Dulu sempat paling banyak masalah pembayaran insentif nakes. Banyak. Makanya setiap hari meeting selama tiga bulan tuh supaya bisa membayarkan itu. Gak bisa, aku panggil semua dokter resident, vicon tuh, semua video conference, vicon, semua complaint tuh, dokter-dokter saya ajak vicon, complaint semua soal insentif. Itu masih sama seperti itu. Tapi complaint itu memberikan masukan yang sangat berharga.

Peristiwa di Bogor, video Presiden viral, menegur menkes karena obat kurang tersedia di apotek. Apakah itu satu-satunya momen ketika menkes ditegur atau diingatkan presiden?

Karena media dan masyarakat tidak tahu lengkapnya seperti apa, persepsinya seperti itu. Tapi kalau kita kan tahu, lengkapnya seperti apa? Ceritanya nanti sesudah pensiun... hehehe.

Kalau kita ngalami, memang lucu, orang kalau gak lihat gajah megang ekornya aja kan bisa punya persepsi lain. Jadi saya tahu benar pikiran yang ada di Presiden apa? Karena sesudahnya kan ngobrol, oh begini. Buat teman-teman, kita tahu Presiden kita tuh suka datang mengecek di lapangan, bukan karena niat buruk, Pak Presiden senangnya blusukan dari dulu. Jadi datang ke sana, sini, lihat sana, sama dengan menteri lain, kalau dia ingin ada yang segera perlu diperbaiki, langsung beliau telepon.

Saat awal pandemik, Korsel termasuk yang jadi rujukan, selain Singapura. Di Korsel, yang mengerjakan tes kit adalah level UMKM, jadi profesor, doktor, periset, bikin startup, langsung bisa menciptakan alat tes COVID, apakah arah kita ke sana juga? Jadi tidak tergantung kepada satu, dua, tiga atau empat perusahaan gede, tetapi menjadi industri kesehatan yang bsia melibatkan startup, UMKM?

Saya kan dikasih tugas oleh Bapak Presiden tiga ya, kesatu vaksinasi, kedua mengatasi pandemik, ketiga melakukan reformasi total kesehatan. Saat diminta jadi menkes, saya tanya, kenapa saya Pak? Beliau jawab, ya karena Pak Budi dulu mengalami dua kali krisis ekonomi besar skala dunia, disebabkan oleh perbankan. Jadi Pak Budi jadi mengerti apa yang harus dilakukan. Sekarang krisis besar dunia kali ini penyebabnya di sektor kesehatan, ya beresin aja sekalian, dan seingat saya Indonesia kalau ada krisis, selalu berhasil melakukan major reform, itu beliau bilang demikian. Benar kan, bukan hanya reformasi politik ya, saya bisa katakan reformasi keuangan paling besar paling signifikan di Indonesia terjadi gara-gara krisis ekonomi 1998. Bank Indonesia dilepas jadi independen, konsolidasi, ada bank ditutup dan sebagainya.

Nah, salah satu yang mau direform, saya sudah lapor ke beliau, adalah reformasi sistem teknologi kesehatan. Itu ada dua, sistem teknologi informasi kesehatan, sama sistem bioteknologi kesehatan. Itu seperti yang dilakukan di Korsel. Karena ke depan diagnostic-diagnostic itu testing ya artinya, kita lihat tes darah segala macam, maupun theraupetic, atau perawatan, itu bergeser berbasis bioteknologi. Jadi kayak Moderna, Pfizer, itu kan bukan chemical base, itu biotechnology base. Obat-obatan Covid-19, itu biotechnology base.

Bioteknologi ini ke depannya, menurut saya sangat mirip dengan Information Technology Startup. Kalau saya lihat sekarang kan, saya terlibat ya sebagai bankir, Indonesia kan sudah ada IT startup menjadi unicorn, nilainya di atas US$1 miliar. Padahal mereka perusahaan kecil, mulai dari awal, bergerak di any bidang, mulai dari media, travel, hotel dan segala macam, tapi IT startup karena mengikuti yang terjadi di West Coast, di Californian Belt.

Nah yang saya mau bangun sekarang, adalah ekosistem yang sama, di mana kita bisa mendapatkan multiples return, bukan percentage return-nya, tapi di biotech startup yang kiblatnya di East Coast yang ada di Boston dan Massachusett. Contohnya apa? Moderna. Moderna itu before this is US$500.000 US company. Sekarang US$35 billion. BioNTech Pfizer? Sama. Saya kasi contoh di Indonesia apa? Yang kita terlibat dari awal dan kita bantu, Nussantic. Perusahaan ini selain dia bikin gargle test PCR itu, kerjasama dengan Biofarma (kerjasama partner tranparansi dengan IDN Media). Dia SGTF, yang kita pakai dia sekarang. Karena SGTF itu dibutuhkan semua orang di awal-awal, susah sekali kan dapatnya, itu biotech. Oh profil mutasinya begini, dia bikin cetakannya, disitensis DNAnya dia dapat, diurutkan (sequencing) jadi d PCR yang bisa deteksi Omicron.

Nussantic adalah startup company. Nah ini harus kita lakukan, tapi kita butuh waktu, cuma saya beruntung karena sudah melakukan di IT startup kita udah bikin di sini. Kita udah panggil itu investor-investornya yang mendanai startup-startup itu, sudah kita kumpulin, yuk bikin yuk, daripa a uangnya berlebih, bioteknologi juga bisa bikin obat kanker.

Sekarang, diagnostic, surveilance itu penting sekali, buat pengobatan penyakit. Bukan hanya COVID1-9, TBC misalnya penting, Malaria penting dan lainnya. Bagaimana kalau semua tes masih di lab? Yang di Pulau Seram, misalnya, kan susah bikin lab di sana. Nah, Korsel itu pinter, dia bikin semua lab dipindahin jadi rapid test kit. Jadi, kayak tes kehamilan aja, semua tes, ya dia mau tes TBC, HIV test, tes Dengue, semua bisa dilakukan sendiri, pakai rapid test kit. Misalnya HIV, mana sih orang mau ke Lab? Mereka mungkin malu kan? Sama kayak kehamilan, kadang-kadang malu. Tapi kalau dilakukan sendiri kan dia senang, praktis. Tinggal sekarang kita kasi barcode aja.

Jadi begitu tes, langsung di barcode, set langsung masuk ke NAR, bisa dapat obat gratis. Itu semuanya biotechnology kan. Molecular base. Biology base. Jadi ke depan, setelah saya lihat, nanti akan ada startup-startup baru. Saya sudah ke Korsel, banyak tuh profesor punya US$ 00 juta company, lumayan kan, US$50 juta company, dimulai dari profesor, researcher, PhD, dia ajak anaknya, bikin perusahaan. Cuma ini butuh keilmuan. Itu yang mudah-mudahan saya lagi dorong supaya universitas mau develop talent-talent seperti itu juga di sini.

Dalam konteks penanganan pandemik, apa pentingnya artificial inteligence?

Di pandemik ini saya belajar bagaimana cara membedakan Alpha, Beta, Delta sama Omicron. Kalau positif kan tesnya pakai PCR, empat sampai enam jam selesai, harganya Rp300 ribu. Kalau mau membedakan Delta sama Omicron, bisa gak pakai PCR? Gak bisa, tesnya ada yang namanya Genome Sequencing, selesainya lima sampai enam hari, harganya Rp 5 juta-Rp6 juta per tes. Oh, jadi saya mengerti, genome sequence test bagus ya. Iya, dia bisa melihat virus yang 30 ribu gene, saya baru tahu, ternyata, gara-gara beli alat buat genome sequence, itu alat bisa juga sequence (mengurutkan gene) manusia.

Cuma kalau virus 30 ribu gene, manusia itu 3 miliar, gene-nya. Dan Mbak Uni ingat kan kalau dokter itu masuk mesti dari IPA. Karena ini is the real science. Jadi genome sequence itu yang kan menentukan, kita sedang sakit apa? Dan kita akan sakit apa? Akannya itu bisa tahu. Contoh, analoginya, kita dulu kalau mau periksa kondisi kita sehat atau gak periksa darah kan? Ambil darah. Dilihat SGOT, SGPT, LDL, HDL, kolesterol segala macam. Teknologi berkembang, selain periksa darah, pakai CT Scan sama MRI.

Berkembang terus kecanggihan. Tujuannya supaya bisa mendiagnosa organ-organ tubuh kita sehat apa gak? Dan di atasnya MRI dan CT Scan, kalau saya lihat ya, genome sequence. Ini paling mahal, paling sophisticated, paling modern diagnostic technology. Jadi kalau dulu periksa kesehatan organ tubuh kita pakai darah, kemudian naik ke CT Scan sama MRI, lebih tinggi kemudian dengan genome sequence. Jadi saya membayangkan 10 tahun lagi, 20 tahun lagi orang datang ke rumah sakit bukan untuk mengambil darah. Orang datang ke rumah sakit untuk genome sequence. Oh ini ada potensi breast cancer, ya di genome sequence, di tes aja, karena itu langsung ketahuan secara dia dia sakitnya di mana? Mutasi nya terjadi karena apa, ke depannya bisa sakit apa?

Seperti di film-filmnya Hollywood ya? Makanya kreator di Hollywood disebut sebagai futurist? Meramalkan masa depan, dan insinyur merealisasikannya?

Menkes Budi: Tuhan yang Menentukan Kapan Pandemik Ini BerakhirMenkes Budi Gunadi Sadikin (IDN Times/Rendy Anwar)

Mengapa AI penting? Karena satu orang ada 3 miliar gene, datanya. Kalau satu virus 30 ribu. Kalau bakteri mungkin 300 ribuan, jadi kalau kita mau bilang, kita ambil database manusia sehat. Di AS genome sequence biasanya 100 ribu orang, kita ambil 10 ribu orang yang sehat, kita ambil 10 ribu orang yang breast cancer, penyebab kematian paling banyak buat perempuan, kan. Laki-laki banyak yang kanker saluran pernafasan atau kanker paru. Kita mau lihat kan, yang sehat sama yang kena kanker paru-paru, wanita sehat sama wanita yang kanker paru gene-nya bedanya di mana sih?

Coba bayangin kalau 3 miliar gene (satu manusia), dikali 1.000 orang, kan 3 triliun , kalau 10 ribu, 30 triliun, itu 30 triliun gene yang sehat dibandingkan dengan 30 triliun gene yang kena kanker paru-paru, gene mana tuh itu dicari, dimana tuh bedanya? Itu komputasi kalau tanpa komputer dengan AI gak mungkin. Keburu wafat kita. Ini menghitung per mutasi. Kombinasi kan, mungkin karena lulusan IPB Mbak Uni tahu kan menghitung per mutasi kombinasi. Bagaimana menghitung 30 triliun data, kali dua, untuk menentukan dia kena breast cancer bagaimana? Itu sebabnya AI penting.

Kedua yang lebih gampang. Sekarang kan banyak data digital? Ibu lahir, melahirkan, lima juta setahun di Indonesia. Melahirkannya di 300 ribu Posyandu, Puskesmasnya 10 ribu, yang punya alat USG cuma 2.000, spesialis obgyn yang bisa mengoperasikan USG cuma berapa? Nah saya baru tahu ibu-ibu melahirkan banyak yang gak di USG. Makanya banyak yang meninggal anaknya. Nah begitu di USG yang bisa baca gak ada. Bagaimana karena dokternya sedikit. Nah kesehatan mesti ada alat USG baru, nanti si ibu hamil di-scan ketahuan, kalau segini, bayinya berarti kurang panjang tuh, kalau begini kebalik nih, sungsang dia, begitu.

Itu yang sederhana begitu sudah ada. Jadi yang namanya modern health care services, itu bisa masuk ke seluruh pelosok, karena hanya dengan dia punya alat itu, hasil USG-nya dikirim aja ke dokter yang sedang duduk di Balikpapan, dia lihat nih oh ini pasien yang dari Nunukan, dia ini sungsang nih ibunya, dikirim ke RS deh jangan melahirkan di rumah.

Dua tahun pandemik ini kemampuan kita menanganinya dan mengantarkan warga bangsa menuju endemik bagaimana?

Banyak pertanyaan bilang kapan kita mencapai endemik, saya jawabnya terus-terang saya gak tahu. Banyak orang-orang lebih pintar dari saya, Phd-Phd,  lulusannya universitas yang hebat-hebat, bikin model, aku lihat aku Google gak ada yang benar. Salah. Nah, aku rasa kali ini Tuhan yang akan menentukan, selesai apa gak. Tapi kalau buat saya, pandemik ini dalam sejarah umat manusia, selalu semuanya jadi endemik. Gak ada yang terus-terusan jadi pandemik, karena umat manusia terbukti mampu beradaptasi. Dan mengatasi pandemik ini, jadi, kalau saya bilang harusnya bisa. Mana yang paling kritikal, kalau buat saya paling kritikal, masing-masing kita individu sudah tahu harus ngapain, dan kita melakukan tanpa dipaksa oleh pemerintah, sama seperti tadi saya sampaikan, ya kalau hujan, musim flu, ya boleh keluar tapi pakai payung dan jas hujan dong. Kalau kehujanan ya mandi keramas dong, terus tidur. Jangan kemana-mana.

Kalau demam berdarah bagaimana. Kalau kesadaran itu sudah ada di masyarakat, movement itu akan terbentuk, itu yang akan membuat umat manusia bisa mengatasi pandemik. Tapi selama pandemik itu masih, oh ini tugasnya pemerintah, pemerintah musti gini begitu,  tuding-tudingan itu masih terjadi, gak akan selesai. Jadi kita lihat nih, once the maturity of the society reach that state,  di mana mereka merasa oh saya udah ngerti kok, mengatasi pandemik seperti ini, ini tanggung jawab saya kok supaya saya gak wafat dan bisa hidup sehat, kita akan bisa menjadi endemik.

Dalam konteks kecukupan vaksin, saat ini sudah terbukti, karena stok 417 juta, kita akan dapat lagi 100 jutaan, padahal kita butuhnya kan 234 dikalikan dua, 464 jutaan, sekarang banyak yang menawarkan, akhirnya kita tolak-tolakin. Udah kebanyakan.

Pernah dapat komentar apa dari istri dan anak selama jadi menkes? Dengan segala kesibukan, dan banyak?

Jadi sejak jadi menkes belum pernah liburan, kita cari kesempatan di mana ada tugas bisa bawa istri lalu sambil nengokin anak yang sekolah di luar negeri. Anak saya masih ada satu yang sekolah di luar negeri.

Jadi menteri paling disoroti publik? Mereka gak baca komentar kalau aku lihat sih, udah biasa lihat bapaknya begitu ya udah, gak apa-apa, biarin aja, bapaknya seperti itu. Liburan tahunan dulu bisa setahun dua kali, sejak jadi menkes udah gak ada, udah gone.

Waktu Juli (2021) berat badan menurun, sekarang naik. Jadi kesimpulannya apa? Stres banyak berat badan turun, stres turun berat badan naik hehehe.

Baca Juga: Profil Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan Pengganti Terawan

Topik:

  • Umi Kalsum
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya