[WANSUS] KETUM PBNU: Pemilu Bukan Pertarungan Iblis Lawan Malaikat

Di usia NU yang 1 abad, Ketum PBNU beri pesan untuk gen Z

Jakarta, IDN Times - Yahya Cholil Staquf atau biasa disebut Gus Yahya, memimpin
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat organisasi ini memasuki abad yang kedua. Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia satu abad pada 2023 ini.

Untuk memperingati momen bersejarah tersebut, PBNU telah menyiapkan tema khusus yakni Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru. Tema ini dipilih berdasarkan hadis Rasulullah SAW tentang lahirnya pembaharu di setiap satu abad.

"Allah SWT setiap 100 tahun membangkitkan di kalangan umat ini pembaharu," kata Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf.

Selain itu, PBNU juga membuat logo dan mars khusus NU. Dalam logo itu, ada angka satu berwarna hijau. Dilansir laman NU Online, angka tersebut menunjukkan satu abad NU berkiprah menegakkan diri sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia.

NU dibentuk pada 31 Januari 1926 oleh para kiai di daerah Jawa dan Madura. Para kiai kala itu sepakat, pembentukan NU berdasarkan penanggalan Hijriah.

Di dalam penanggalan Hijriah, tanggal 31 Januari 1926 jatuh pada tanggal 16 Rajab 1344. Karena itu, bila menyesuaikan kalender Hijriah, puncak satu abad NU jatuh pada 7 Februari 2023 atau 16 Rajab 1444 H. Pada 7 Februari 2023 ini, NU menggelar puncak peringatan satu abad NU di Sidoarjo, Jawa Timur.

Guna mengetahui bagaimana kiprah dan seperti apa NU dalam umurnya yang sudah satu abad, Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis melakukan wawancara khusus dengan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dalam program "Ngobrol Seru by IDN Times", Rabu, 1 Februari 2023.

Gus Yahya pernah menjadi salah satu juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus
Dur. “Saya menjadi seperti ini karena Gus Dur,” kata dia, dalam sebuah acara di awal pekan
lalu. Dia merujuk kepada pemahaman Islam, Kemanusiaan, Pancasila, Kebinekaan, hal-hal yang menjadi trademark Islam Modern yang dikembangkan Gus Dur, yang juga pernah
menjadi Ketua PBNU. Berikut wawancara dengan Gus Yahya yang lahir di Rembang, 16 Februari 1966.

Baca Juga: Logo dan Mars Khusus Satu Abad NU, Ini Maknanya

Selamat dari IDN Times atas satu abad NU. Bisa diceritakan kenapa memilih tema "digdaya", memangnya selama ini kurang digdaya?

Yang kita maksudkan sebagai kedigdayaan itu kemampuan utuh secara decisive dan delivered, secara menentukan dan terencana, tertata menyumbangkan sesuatu yang lebih bermakna bagi masyarakat. Maka saya katakan ke depan NU ini perlu untuk digdaya. Karena  selama ini sebetulnya NU ini baru berdaya. Berdaya itu artinya kita bisalah hidup di tengah keadaan yang ada ini.

Survive lah ya?

Survive. Tapi kalau kita ingin sungguh-sungguh menyumbangkan sesuatu, memberi makna yang mulia, yang bisa kita sumbangkan kepada masyarakat, kepada peradaban, kita butuh kemampuan lebih. Nah itu yang kita maksud sebagai kedigdayaan. Karena ini momentum yang tidak boleh kita sia-siakan. Kita akan memasuki gerbang abad kedua dari sejarah Nahdlatul Ulama, maka ini harus kita lakukan.

Jadi kalau, dan kita sebut kebangkitan baru karena sebetulnya keberadaan Nahdlatul Ulama itu sendiri adalah kebangkitan dari ulama. Karena ini unpredictable dan sampai sekarang tidak ada organisasi ulama seperti Nahdlatul Ulama ini di manapun, di  belahan dunia yang lain. Dan belum pernah sebelumnya ada organisasi ulama yang mengorganisir diri itu. Sebelumnya belum pernah ada sama sekali.

Nah, itu berarti bahwa keberadaan Nahdlatul Ulama itu sendiri adalah fenomena kebangkitan. Nah, sekarang memasuki abad kedua ini kita perlu kebangkitan baru untuk mengembangkan kemampuan berkontribusi secara lebih strategis di dalam masyarakat dan peradaban.

Berapa jumlah anggota NU sekarang?

[WANSUS] KETUM PBNU: Pemilu Bukan Pertarungan Iblis Lawan MalaikatLogo NU (twitter.com/nahdlatululama)

Jadi, kami tidak punya keanggotaan terdaftar, nda ada. Yang ada ini orang-orang yang mereka sendiri merasa sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama, merasa sebagai... merasa bahwa mereka beragama dengan merujuk kepada Nahdlatul Ulama. Jadi orang menjadi NU itu soal perasaan masing-masing, bukan soal apa namanya, kriteria yang definite, kriteria yang lugas, tapi soal bagaimana dia punya penghayatan masing-masing.

Nah, maka yang kalau ada pertanyaan berapa anggota Nahdlatul Ulama? Yang kita punya adalah data dari hasil survei oleh beberapa lembaga. Misalnya dari lembaga indikator Burhanuddin Muhtadi dia bilang katanya, dari hasil surveinya ada 50,3 persen dari populasi Indonesia ini mengaku dekat atau merujuk kepada Nahdlatul Ulama.

Wah itu gede banget. Pak Menko Marves Luhut waktu di World Economic Forum Davos 2 minggu lalu menyebut populasi Indonesia udah 282 juta.

Sekitar itu. Nah kemudian ada dari.. ini yang dari kawan Sekretaris Lakpesdam NU yang punya Lembaga Survei Alvara, Hasanuddin Ali, dia menyampaikan bahwa hasil surveinya 59,2 persen dari penduduk Muslim Indonesia mengaku merujuk kepada Nahdlatul Ulama.

Saya pernah coba ngitung-ngitung dengan ukuran perkiraan jumlah penduduk Indonesia 275 juta, penduduk Muslim sekitar 238 juta, ya berarti yang mengaku NU berdasarkan data itu adalah sekitar 140 sekian juta.

Baca Juga: 12.500 Ustaz/Ustazah Surabaya Siap Meriahkan 1 Abad NU

Jadi dari segi jumlah aja sebetulnya potensi untuk digdaya itu ada? Nah, bagaimana persisnya digdaya yang diinginkan di era yang juga berubah, era digital seperti ini?

Ada, jelas ada. Ya pertama-tama material kekuatan NU ini banyak apa namanya, macamnya ada lembaga-lembaga pendidikan, ada pesantren, ada warga yang begitu besar ini harus dikonsolidasikan.

Yang kedua harus ada arah yang jelas kita ini mau kemana, kita mau menyumbang apa, dan kemudian dengan memperhatikan konteks realitas yang kita hadapi kita harus rumuskan strategi yang valid supaya kita bisa men-deliver, bisa mewujudkan sasaran-sasaran, tujuan-tujuan yang sudah kita canangkan, ini yang pertama.

Nah, dalam kaitannya dengan ini di antara realitas atau fakta penting yang harus bisa dipertimbangkan adalah tentu saja peta demografis dari masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Saya tidak punya data yang pasti tapi saya dengar dari teman-teman.

Usia milenial dan gen z sekarang lebih besar. Strateginya apa?

Secara demografis, iya, secara demografis generasi (usia milenial dan gen z sekarang lebih besar).

Z ini, generasi milenial dan generasi Z sudah lebih dari 50 persen dari seluruh demografi. Maka, ya nda ada pilihan lain selain harus membangun strategi yang relevan dengan dominasi generasi muda ini.

(Strateginya) Pertama, kita sebetulnya masih butuh untuk membuat sistematika, mensistematisir makna dari segala warisan yang telah kita punya selama satu abad ini. Bahkan juga yang sebetulnya kita terima sejak jauh sebelumnya sebagai pondasi dari peradaban Indonesia yang sekarang kita hidupi. Nah, maka sekarang kita buat narasi-narasi supaya generasi masa kini dan masa depan punya bahan untuk dicerna, sebetulnya kita ini dulu berasal dari mana? Bagaimana asal usulnya gitu? Asal usul kita ini. Kenapa kita sekarang jadi seperti ini? Ini perlu kita buat narasi yang lebih sistematis.

Nah kemudian yang kedua, kita harus punya proyeksi tentang apa yang akan berkembang di masa depan ini, dalam konteks peradaban, dalam konteks kehidupan masyarakat, apa yang akan menjadi model-model pergaulan masyarakat yang signifikan pengaruhnya di dalam masyarakat. Lalu kita harus temukan cara untuk memanfaatkan berbagai macam bentuk model ekspresi kemasyarakatan ini sebagai kendaraan untuk membawakan nilai-nilai yang hendak kita tawarkan kepada masyarakat.

Nah, ini semua ya harus dibangun pertama dalam satu set desiain yang komprehensif, tapi sekaligus juga dengan kesadaran bahwa ini tidak boleh menjadi desain yang mati, tapi harus tetap terbuka untuk perkembangan ke depan. Karena tidak semua hal bisa kita cerna hari ini, bisa kita ramalkan hal ini. Kita hanya menyiapkan pada dasarnya, jadi kalau misalnya bicara soal kepemimpinan PBNU periode ini, kami tidak punya pertensi untuk menyelesaikan semua persoalan hari ini atau dalam periode ini. Tapi kami harus berpikir apa yang realistis untuk dikerjakan dalam periode ini, lima tahun ini, dan kemudian kita persilakan kepada penerus-penerus kepemimpinan ini untuk melanjutkan.

Baca Juga: 31 Januari Hari Lahir Nahdlatul Ulama, Ini Sejarahnya

Tapi quick winnya apa ini? Maksudnya mungkin values. Values-nya NU yang relevan dengan milenial dan gen Z

[WANSUS] KETUM PBNU: Pemilu Bukan Pertarungan Iblis Lawan MalaikatLogo Satu Abad NU (nu.or.id)

Ya sebetulnya berbagai macam elemen dari sistem nilai NU ini sebetulnya sudah banyak yang diinternalisasikan oleh masyarakat. Termasuk bagian yang cukup besar dari generasi milenial dan generasi Z ini. Paling tidak melalui berbagai macam lembaga pendidikan di lingkungan NU.

Tapi seperti yang saya katakan tadi, kita memang butuh sistematika yang lebih baik tentang narasi apa yang sebetulnya, apa yang kita bawakan. Bagaimana titik tolak peradaban yang hendak kita jadikan pondasi bagi pergulatan kita ke depan.

Yang paling urgent hari ini?

Ya yang paling urgent hari ini karena pertama-pertama bahwa Nahdlatul Ulama ini organisasi ulama Islam. Maka, ya ini adalah apa yang kami bawa ini adalah Islam sebagaimana yang kami fahami. Dan semua yang kami kerjakan terkait kebangsaan, peradaban, ekonomi, politik, budaya, apapun itu kami berangkat dari motivasi Islam. Dan motivasi Islam itu kami rumuskan dari mana? Dari pernyataan Rasulullah SAW Muhammad sendiri tentang misi beliau ketika beliau mengatakan bahwa aku diutus bukan untuk tujuan apapun selain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, “innama buistu liutammima makarimal akhlak”, kemuliaan menyempurnakan, kemuliaan-kemuliaan akhlak.

Ini berarti bahwa kemuliaan akhlak itu bahkan sebelum Islam, sebelum diutusnya Rasulullah Muhammad SAW itu sudah ada. Dan yang didahulukan oleh Rasulullah adalah menyempurnakannya, dengan memberikan tambahan dan lain sebagainya, sehingga menjadi lebih baik. Nah akhlak yang mulia itu apa? Kami merumuskan bahwa akhlak yang mulia itu sebetulnya mengandung dua komponen dasar.

Yang pertama adalah melayani Allah. Jadi “ibadatulloh” itu artinya melayani Allah. Yang kedua, memanivestasikan rahmah. “izharur rahmah”. Nah melayani Allah ini artinya apa? Sekarang ini kita memaknainya dengan cara yang lebih universal, dengan mengatakan bahwa karena Allah itu adalah “Al-Haq” Allah itu kebenaran, dan Al-Haq itulah Allah, kebenaran itulah Allah.

Maka melayani Allah itu artinya melayani kebenaran. Apapun yang merupakan kebenaran, kita mengabdi kepada-Nya. Mengabdi dalam arti tidak mengingkarinya, dan bertindak berdasarkan kebenaran itu sendiri dan seterusnya. Berarti juga bahwa kita harus senantiasa jujur dan ini ditugaskan juga oleh Rasulullah Muhammad SAW, ketika beliau mengatakan bahwa seorang mukmin bisa saja berbuat salah, tapi dia tidak akan bisa berbohong.

Tidak boleh?

Tidak bisa berbohong. Karena imannya sendiri. Dan kalau dia betul-betul beriman, tidak mampu berbohong. “Al-mukminu yaksi, wa la yakzib”. Orang mukmin bisa berbuat salah, tapi berbohong dia tidak bisa, karena imannya mencegah, mencegahnya dari bohong. Karena dia beriman untuk mengabdi Allah, mengabdi Allah berarti mengabdi kepada kebenaran.

Nah yang kedua memanivestasikan rahmah, bertindak dengan rahmah, bersikap dan berpikir dengan rahmah. Rahmah itu adalah kasih sayang yang disertai kehendak untuk mengambil tanggung jawab atas kemaslahatan orang lain, kemaslahatan sesak. Jadi bukan cuman kasian saja, sehentak punya kehendak untuk bertindak, mengupayakan kemaslahatan bagi orang-orang itu rahmah. Itu adalah komponen utama dari akhlakul karimah.

Dan inilah sebetulnya makna dari segala macam ajaran, nilai-nilai, norma-norma, yang ada dalam sistem nilai Islam itu sendiri, yang ingin sebetulnya menjadi mandat bagi Nahdlatul Ulama untuk memperjuangkannya. Nah bahwa ada perbedaan pendapat dan lain-lain ini sebetulnya adalah persoalan perbedaan persepsi tentang realitas, apa sebetulnya definisi realitas itu. Orang bisa berbeda-beda. Ya sebagaimana yang kita lihat sekarang, ada realitas sekarang hari ini, ini orang bisa punya persepsi yang berbeda-beda. Yang kedua perbedaan tentang apa yang lebih tepat untuk dilakukan sebagai tanggapan atas realitas itu sendiri.

Itu saja, maka di dalam Islam ada mazhab-mazhab yang beragam, ada pendapat-pendapat keagamaan yang beragam, ini sebenarnya persoalan perbedaan definisi realitas dan pilihan tanggapan terhadap realitas itu sendiri. Tapi nilai dasarnya sama, yaitu menyempurnakan kemuliaan-kemuliaan akhlak yang berarti adalah mengabdi kepada kebenaran dan mengejawantahkan rahmah.

Di era digital sekarang ini, seseorang usia berapa pun bisa mendebat kiai, udah gak ada lagi hirarki di media sosial, nah, bagaimana NU yang sekarang ini mencoba membangun atau meyakinkan nilai-nilai itu di tengah sudah tidak ada lagi strata-strata?

[WANSUS] KETUM PBNU: Pemilu Bukan Pertarungan Iblis Lawan MalaikatKetua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf (IDN Times/Fauzan)

Iya betul. Ya, kuncinya pertama-tama adalah hadir. Kita harus hadir, banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa mukmin ini, seorang mukmin harus hadir. Nah termasuk harus hadir dalam platform-platform digital itu. Nah, harus kita akui bahwa selama ini tingkat kehadiran NU di platform digital ini masih belum, masih belum memadai. Maka memang kita punya kebutuhan untuk mengejar ketertinggalan dengan mengakselerasi kehadiran di platform-platform digital itu.

Nah yang kedua, kita sebetulnya juga masih membutuhkan kehadiran fisik. Apapun juga umat manusia peradaban ini, harus didasarkan pada realitas fisik, backdrop-nya itu tetep harus realitas fisik. Karena kita ini juga adalah apa, makhluk fisik. Tidak semua, kita gak bisa hanya hidup di dunia digital itu, fisik itu juga penting.

Saya jadi ingat, dulu itu ketika awal-awal mulai pasang naik penggunaan platform digital dalam berbagai sendi kehidupan ada pertanyaan tentang keabsahan transaksi digital menurut agama, menurut agama. Jadi, jual beli digital itu sangat rentan, karena di dalam Islam itu, di dalam fiqih ya, dalam fiqih, fiqih ini adalah turunan dari syariat. Itu ada syarat-syarat rinci yang teknis sekali untuk menentukan keabsahan transaksi itu. Nah sekarang transaksi digital yang tidak face to face.

Yang suka pakai handphone ya?

Ya, dan tidak ada jaminan tentang apa namanya, barang yang ditransaksikan dan sebagainya, ini tidak, nah, dengan berbagai macam pengetahuan tentang nature dari transaksi digital itu dan keniscayaannya, keniscayaan penggunaannya, maka pada waktu itu kiai-kiai NU menyatakan bahwa transaksi digital itu sah.

Nah kemudian ada pertanyaan, kalau akad nikah bagaimana? Ini sebetulnya by nature sama dengan transaksi sebetulnya akad nikah ini. Akad nikah secara digital sangat rentan. Nah, ini yang jadi perdebatan karena masalahnya lalu lebih, lebih krusial lah dibanding sederhananya transaksi barang. Nah, ada jawaban menarik dari seorang kiai, Kiai Yusuf Muhammad, Jember, almarhum, pada waktu itu beliau katakan 'ya boleh, sah-sah saja asal segala sesuatu sesudah itu dilakukan melalui internet juga’.

Baca Juga: Canda Jokowi di Satu Abad NU: Banser Sekarang Suka Band Queen 

Kemarin waktu pandemik, akhirnya banyak juga yang digital-digital. Apa karena darurat?

Lah makanya itu, padahal ya tidak semuanya kan bisa dilakukan secara digital. Walaupun akad nikah ini mungkin dalam segi komunikasinya bisa dilakukan secara digital, tapi pergaulannya kan tidak mungkin. Tetap backdrop dari seluruh kehidupan masyarakat adalah dunia fisik, dunia fisik. Maka NU juga harus hadir secara fisik dan kita juga harus, ini sebetulnya menjadi salah satu strategi yang ingin kita jalankan, yaitu yang ingin kita kembangkan, mendoronglah kita meng-encourage masyarakat, termasuk generasi muda untuk juga menghidupi pergaulan fisik ini.

Bukan hanya, bukan hanya pergaulan digital, yang nyata itu ada pada pergaulan fisik itu. Nah, ini berarti bahwa pertama, semua arena pergulatan masyarakat itu ya harus kita ikuti, tidak ada yang bisa kita singkiri. Tapi kita sendiri harus punya titik tolak sebagai penyikapan kita terhadap dinamika yang ada itu.

Kita terima platform digital itu, tapi kita, ya saya katakan, kita ingin bersikukuh bahwa pergaulan fisik itu fundamental.

Melihat situasi yang current seperti sekarang, misal indeks persepsi korupsi turun, pelanggaran HAM, kemiskinan, pandemik membuat jurang antara kaya dan miskin makin lebar, bagaimana wibawa NU terhadap pemerintah untuk bilang, pemerintah harusnya begini, begini. Apakah itu dilakukan atau ada cara yang lain?

[WANSUS] KETUM PBNU: Pemilu Bukan Pertarungan Iblis Lawan MalaikatPresiden Jokowi terima Ketua Umum PBNU di Istana Merdeka, Jakarta (dok. Sekretariat Presiden)

Pertama bahwa wibawa itu sesuatu yang kita upayakan some we earn, bukan hadiah, dan wibawa itu tidak bisa, tidak hanya diukur berdasarkan jumlah pengikut seperti yang tadi saya sebut. Karena ada faktor penguasaan sumber daya-sumber daya dan sebagainya. Nah maka pertama ya kita exercise authority itu, kewibawaan itu sesuai dengan apa yang memang kita punya gitu, itu yang pertama.

Yang kedua, ya kita perlu realistis, apa yang mungkin. Karena katanya, politik itu the art of possible, jadi apa yang mungkin dilakukan dalam keadaan seperti ini. Karena kita juga punya beban yang besar, jadi taruhan yang besar dengan organisasi yang begini besar, dan pada saat yang sama jelas kita butuh untuk memperjuangkan hal-hal yang memang secara prinsip, memang harus kita perjuangkan. Nah, berkaitan dengan pemerintah, jelas NU tidak mungkin tinggal diam dengan apapun yang menjadi persoalan di dalam pemerintahan itu termasuk soal korupsi, soal ketimpangan penguasaan sumber daya-sumber daya, dan lain sebagainya.

Nah, tapi pertama NU tidak ingin, katakanlah memanfaatkan basis pendukung yang besar ini untuk kompetisi apalagi perbenturan politik kekuasaan karena kami menyadari bahaya dari praktik itu. Basis pendukung yang besar ini harus dikonsolidasikan secara bijaksana untuk menyangga keutuhan pertama-tama, menyangga keutuhan dari keseluruhan sistem masyarakat, keseluruhan sistem sosial politik.

Nah yang kedua, kalau kita melakukan artikulasi publik, maka tujuan utamanya harus adalah pendidikan. Jadi kalau misalnya NU menyampaikan kritik, mengadukan kritik secara terbuka di ruang publik, tujuan utamanya harus pendidikan publik tentang masalah yang di-addres itu, bukan untuk melakukan apa namanya, power engagement dengan pemerintah. Nah sedangkan untuk mendorong atau mempengaruhi kebijakan pemerintah, artikulasi itu bisa dilakukan melalui berbagai macam saluran. Ada banyak anggota-anggota parlemen yang punya latar belakang NU, dekat sekali dengan NU, menjadi bagian dari jaringan NU. Bahkan juga di dalam pemerintahan, kita juga punya, di semua. Ya kalau 59,2 persen dari seluruh muslim Indonesia.

Berarti ada dimana-mana ya?

Ada dimana-mana dan kami punya banyak dan kalau kita ingin mendorong ada perubahan, targetnya harus perubahan itu sendiri. Bukan soal mengambil porsi kekuasaan, tapi perubahan itu sendiri. Ya makanya kita melakukan artikulasi berbagai kepentingan itu melalui saluran-saluran yang tersedia. Tanpa harus NU, sekali lagi, memposisikan diri sebagai kompetitor di dalam relasi kekuasaan.

Meskipun punya (anggota) 52 persen?

Karena nda boleh Mba Uni, kita tahu dimana-mana sudah menjadi pelajaran buat kita dimana-mana, kita lihat apa yang terjadi di India, di Nigeria, dan lain-lain. Ketika satu segmen sangat besar dalam masyarakat ini kemudian dijadikan senjata untuk kompetisi kekuasaan, ini berbahaya sekali. Di tingkat elite mungkin persoalan bisa segera lebih mudah diselesaikan. Tapi di basis, ketika ini dipompa terus soal politisasi identitas ini, akan tertanam menjadi mentalitas, karena akan merusak hubungan antar kelompok dalam masyarakat, berbahaya sekali.

Kita dengan basis yang begitu luas ini godaannya pasti besar, tapi penting.

Semua ingin merapat dan memanfaatkan NU?

Sebenarnya juga dari dalam NU sendiri, ini ada godaan ya, godaan 'wah ini pasti besar sekali nih kalau di' kan gitu, dimobilisasikan untuk politik, menggiurkan lah. Tapi kita menyadari bahayanya dan kami ingin berusaha untuk terus menerus menanamkan bahwa ini berbahaya, mari kita hindari.

Apa advice dari Ketua Umum PBNU kepada anak muda Indonesia dalam Pemilu 2024?

Sederhana saja, ini bukan pertarungan habis-habisan, ini adalah hanyalah satu momentum untuk memutuskan pilihan di antara pilihan-pilihan yang berbeda yang dimiliki oleh masyarakat. Kita terima saja nanti hasilnya, orang boleh memilih dan kita terima saja. Ini bukan soal bahwa kalau ada satu pihak yang menang akan terjadi bencana kiamat. Ini bukan soal jihad untuk memperjuangkan kebenaran dan sebagainya. Mari kita hadapi dengan realistis, dengan sikap sederhana, dan menikmatinya sebagai peluang untuk mengekspresikan dan mengartikulasikan kepentingan dan pilihan-pilihan kita. Dan selebihnya mari kita terima apapun hasilnya dengan santai, dengan rasional.

Ini bukan pertarungan iblis lawan malaikat, ini pergaulan biasa seperti kalau misalnya kakak adik bertengkar tentang sesuatu dan kemudian ada pilihan untuk jalan keluarnya. Suami-istri juga bisa sehari-hari beda pilihan, tapi kemudian harus mencari jalan keluar, ini sama. Pemilu ini juga soal bahwa di tengah masyarakat yang begini luas, begini besar, ada perbedaan-perbedaan yang banyak, ini cuma cara untuk menyelesaikan perbedaan itu, gitu.

Terima kasih Gus, semoga anak muda juga semangat untuk memilih dan menjalani pemilu dengan gembira ya Gus?

Saya optimis, saya optimis sekali karena anak-anak muda sekarang ini tidak menanggung trauma kepedihan-kepedihan masa lalu, seperti yang misalnya dirasakan oleh generasi saya.

Jadi anak muda saya ingin lebih merdeka, secara mental lebih merdeka.

https://www.youtube.com/embed/_Lrgyz1KksE

Topik:

  • Sunariyah
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya