Arti Pungli, Kegiatan yang Termasuk Tindak Pidana Korupsi

Ada sejumlah pasal yang menjerat pungli

Jakarta, IDN Times - Pungutan liar atau pungli masih banyak terjadi. Banyak kegiatan sehari-hari yang tak terlepas dari pungli.

Berdasarkan jurnal Pungutan Liar (Pungli) dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi yang dikutip dari situs resmi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), pungli adalah tindakan meminta pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut.

Pungli bisa dilakukan siapa pun, baik masyarakat umum, pegawai negeri sipil (PNS), bahkan pejabat negara.

Pungli termasuk kategori kejahatan jabatan. Dalam jurnal tersebut dijabarkan pungli adalah kegiatan yang dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dengan menyalahgunakan kekuasaannya untuk memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, termasuk kejahatan jabatan.

Baca Juga: Viral Wisudawan Nekat Kritik Banyak Pungli di UNSRAT Manado

1. Istilah pungli pada masa lampau

Arti Pungli, Kegiatan yang Termasuk Tindak Pidana KorupsiIlustrasi Memberi dan Menerima Uang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Sebelum ada istilah pungli, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengidentifikasi transaksi ilegal tersebut dalam beberapa istilah, antara lain pemerasan (Pasal 368), gratifikasi/hadiah (Pasal 418), serta tindakan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang (Pasal 423).

Pada 1977 silam, Kaskopkamtib yang bertindak selaku Kepala Operasi Tertib bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) gencar melancarkan Operasi Tertib (OPSTIB), di mana sasaran utamanya adalah pungli. Usai kegiatan tersebut, istilah pungli menjadi terkenal.

Kala itu, penertiban pungli disertai penertiban Usil (uang siluman), merujuk kepada mobilisasi uang yang diparkir dalam jangka waktu tertentu untuk dana taktis kantor.

Saat itu juga populer uang-uang pungli yang dilakukan oknum atau lembaga/LSM tertentu, baik dalam bentuk uang pengamanan, uang beking, maupun uang koordinasi, dan sebagainya.

Tak hanya itu, ditemukan juga istilah-istilah Susu Ibu (sumbangan sukarela iuran bulanan), susu tekan (sumbangan sukarela tanpa tekanan) yang menunjukkan adanya praktik pungli secara terstruktur dan melembaga.

2. Faktor pemicu tindakan pungli

Arti Pungli, Kegiatan yang Termasuk Tindak Pidana KorupsiIlustrasi korupsi (IDN Times/Mardya Shakti)

Dalam jurnal yang ditulis PFA Bidang Investigasi, Moh Toha Solahuddin tersebut, dijabarkan ada enam faktor pemicu tindakan pungli, sebagai berikut:

  1. Adanya ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan sehingga masyarakat menyerah ketika berhadapan dengan pelayanan publik yang korupsi.
  2. Penyalahgunaan wewenang, Jabatan atau kewenangan yang ada/melekat pada seseorang.
  3. Faktor ekonomi. Penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup atau tidak sebanding dengan tugas/jabatan yang diemban membuat seseorang terdorong untuk melakukan pungli.
  4. Faktor kultural dan budaya organisasi, yang terbentuk dan berjalan terus menerus di suatu lembaga agar pungutan liar dan penyuapan, dapat menyebabkan pungutan liar sebagai hal biasa.
  5. Terbatasnya sumber daya manusia.
  6. Lemahnya sistem kontrol dan pengawasan oleh atasan.

Baca Juga: 5 Daerah di Jabar Ini Paling Rawan Aksi Pungli PPDB 2022! 

3. Pasal-pasal terkait tindakan pungli

Arti Pungli, Kegiatan yang Termasuk Tindak Pidana KorupsiIlustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada sejumlah pasal terkait tindakan pungli atau penerima hadiah (gratifikasi). Berikut rinciannya:

Pasal 12 huruf e

"Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri."

Pasal 12 huruf f

"Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang."

Pasal 12 huruf g

"Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang."

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya