Disrupsi Media Sosial Jadi Tantangan Kebebasan Pers

Selamat Hari Kebebasan Pers Sedunia

Jakarta, IDN Times - Bertepatan dengan peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia hari ini, Senin (3/5/2021), Anggota Dewan Pers Ahmad Djauhar mengatakan disrupsi dari pelaku media sosial yang tidak mengusung jurnalisme, menjadi tantangan kemerdekaan dan kebebasan pers.

"Karena mereka, untuk beberapa kasus justru membuat keruh informasi yang seharusnya diterima dengan jernih oleh masyarakat," ujar Djauhar seperti dikutip dari ANTARA, Senin.

Baca Juga: Indeks Kebebasan Pers 2021: Timur Tengah Ranking Terbawah

1. Tantangan disrupsi dari pelaku media sosial di wilayah tertentu

Disrupsi Media Sosial Jadi Tantangan Kebebasan PersIlustrasi Jurnalis (IDN TImes/Arief Rahmat)

Saat ini, kata Djauhar, kebebasan pers dihadapkan tantangan disrupsi dari pelaku media sosial.

"Terutama di provinsi tertentu. Disrupsi itu kadang berasal dari teknologi, yakni media sosial yang tidak mengusung jurnalisme," kata dia.

2. Media sosial akan kaya informasi jika punya jiwa jurnalisme

Disrupsi Media Sosial Jadi Tantangan Kebebasan PersIlustrasi Reporter-Jurnalis (IDN Times/Arief Rahmat)

Menurut Djauhar, jika saja pelaku media sosial memiliki jiwa jurnalisme, maka media sosial akan kaya khasanah informasi di masyarakat.

"Jurnalisme pada dasarnya adalah prinsip memverifikasi setiap informasi yang disampaikan kepada khayalak. Sehingga khalayak menerima informasi yang betul-betul valid atau sah," ujar dia.

3. Pers sebagai institusi pengusung jurnalisme

Disrupsi Media Sosial Jadi Tantangan Kebebasan PersIlustrasi press conference (IDN Times/Arief Rahmat)

Walaupun begitu, Djauhar mengatakan, kebebasan pers kini semakin membaik. Hal ini terbukti berdasarkan hasil survei Indeks Kebebasan Pers (IKP) yang diselenggarakan Dewan Pers di 34 provinsi.

Maka itu, ia mengatakan, pers sebagai institusi media pengusung jurnalisme bertugas membuat informasi yang kurang jernih menjadi sejernih mungkin, dan memperkaya informasi dari berbagai sudut pandang. Sehingga, kata Djauhar, informasi akan sempurna dan sesuai yang dibutuhkan masyarakat.

4. Negara Timur Tengah dan Afrika Utara kembali mendominasi kawasan terburuk dalam memperlakukan media

Disrupsi Media Sosial Jadi Tantangan Kebebasan PersIlustrasi Jurnalis. IDN TImes/Arief Rahmat

Sementara, berdasarkan rilis tahunan Reporters Without Borders (RSF) terkait kebebasan pers di dunia pada Selasa, 20 April 2021,  negara Timur Tengah dan Afrika Utara kembali mendominasi kawasan terburuk dalam memperlakukan media, dengan banyak jurnalis independen yang dilaporkan masuk ke penjara.

Tahun ini, RSF juga menyebutkan pandemik COVID-19 semakin mengekang kebebasan pers, dengan sedikitnya negara menawarkan lingkungan yang mendukung jurnalisme. Mengukur pembatasan akses informasi dan hambatan dalam meliput berita, RSF menyatakan jurnalisme "benar-benar diblokir atau dihalangi secara serius" di 73 negara dan "dibatasi" di 59 negara lainnya. Jumlah itu pun mewakili lebih dari 73 persen dari total 180 negara yang di survei, melansir dari Time.

Menurut RSF, negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara masih menjadi yang paling mendominasi ranking paling bawah dalam menegakkan "kebebasan pers". Iran yang berada di posisi 174 misalnya, telah berada di peringkat bawah RSF sejak daftar indeks dibuat pertama kalinya pada 2002.

Negara itu juga tercatat sebagai negara teratas yang telah mengeksekusi jurnalis dalam jumlah tertinggi selama 50 tahun terakhir. "Republik Islam tidak menunjukkan tanda-tanda akan meredakan pelecehan terhadap jurnalis independen dan media, atau melonggarkan cengkeramannya yang erat pada lanskap media secara keseluruhan," tulis RSF.

Selain Iran, Arab Saudi juga masih berada di daftar terbawah dengan menempati peringkat 170. Negara kerajaan minyak itu dilaporkan telah melipatgandakan jumlah jurnalis yang ditahan secara sewenang-wenang, sejak Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) berkuasa pada 2017. RSF menyebut jurnalis di sana akan secara otomatis menjadi tersangka, bila memilih netralitas ketimbang mengikuti jalur media resmi pemerintah.

Hal yang sama pun berlaku di Mesir yang berada pada peringkat 166. RSF mencatat sejak Presiden Abdel Fattah el-Sisi menggulingkan Presiden Demokratis Mesir, Mohamed Morsi, ia telah mengubah negara itu menjadi salah satu penjara jurnalis terbesar di dunia, bersanding dengan Turki dan Arab Saudi.

Berbeda dengan Timur Tengah, RSF melaporkan negara-negara di Afrika yang dikenal penuh kekerasan justru menunjukkan peningkatan signifikan dalam kebebasan pers bila dibandingkan tahun sebelumnya.

Contohnya saja Burundi di Afrika Timur yang melonjak 13 peringkat menjadi 147, setelah empat jurnalisnya menerima 'pengampunan' presiden. Sierra Leone naik 10 peringkat menjadi 75, usai undang-undang pidana tentang pencemaran nama baik dihapuskan. Begitu pula dengan Mali, naik menjadi ranking 99 karena adanya penurunan tajam terkait pelanggaran jurnalisme.

Di kawasan Asia-Pasifik, kebijakan yang mengekang pers selama masa pandemik membuat peringkat Malaysia jatuh paling banyak hingga ke posisi 119. Sementara Tiongkok, negara keempat terparah di dunia dalam hal "kebebasan pers", mempertahankan posisinya di 177 dan terus membawa sensor, pengawasan, dan propaganda Internet ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Situasi pers di Myanmar tak jauh berbeda dan bahkan menjadi semakin berbahaya sejak kudeta militer. Sedangkan, India yang duduk di posisi 142, menggunakan undang-undang untuk membungkam segala bentuk kritik pada pemerintah sehingga jurnalis yang berani melakukannya akan dianggap sebagai "anti-negara" atau bahkan "pro-teroris".

"Asia-Pasifik memiliki tradisi menjadi wilayah yang sangat sulit untuk kebebasan pers dan dalam beberapa tahun terakhir ada kejatuhan di hampir setiap wilayah," kata Cédric Alviani, kepala biro RSF Asia Timur. "Kami dapat melihat pengaruh Tiongkok di latar belakang, karena beberapa dari negara ini telah mengadopsi peraturan yang hampir disalin dan ditempelkan dari Tiongkok, seperti kontrol internet dan peraturan anti-berita palsu."

Sementara itu, negara-negara Nordik mulai Norwegia, Finlandia, Swedia dan Denmark kembali menduduki peringkat terbaik 1-4 dalam memberlakukan kebebasan pers. Hal itu kemudian disusul oleh Kosta Rika yang naik dua peringkat dari tahun lalu.

Menurur RSF, wilayah Eropa dan Amerika masih mendominasi peringkat teratas kebebasan pers, meskipun pada saat yang sama juga ada penurunan. Di AS misalnya, jumlah jurnalis yang diserang atau ditangkap mengalami kenaikan, tetapi kebebasan pers di sana masih dianggap "cukup baik" sehingga peringkatnya ada di urutan ke-44 dalam daftar.

Di sisi lain, laporan tersebut turut menginformasikan hal positif di mana jurnalisme mampu memerangi informasi yang salah terkait virus. Seperti di Brasil dan Venezuela, saat pejabat berusaha mempromosikan pengobatan COVID-19 yang tidak memiliki dukungan ilmiah, wartawan investigasi pun muncul untuk melawan klaim pemerintah.

“Untungnya, jurnalisme investigasi oleh media seperti Agência Pública dari Brasil dan cerita mendalam oleh beberapa publikasi independen Venezuela yang tersisa, mampu melawan klaim mereka (pemerintah) dengan fakta,” kata RSF.

Baca Juga: Kompolnas: Telegram Kapolri Membatasi Kebebasan Pers

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya