Hari Masyarakat Adat Sedunia, Pemerintah Diminta Tuntaskan Masalah Ini

Dampak pandemik terasa hingga masyarakat adat

Jakarta, IDN Times - Memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia, Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI Riche Rahma Dewita mengatakan, sebanyak 142 kelompok masyarakat adat yang berada di wilayah dampingan KKI-WARSI telah mendapatkan legalitas dari pemerintah. Namun, pengakuan hukum dari pemerintah di sebagian lainnya masih terus diperjuangkan.

"Pengakuan yang diberikan pemerintah secara hukum kepada masyarakat membuat mereka memiliki kepastian, untuk mengakses pengelolaan hutan serta menjalankan nilai dan pengetahuan yang bersinergi dengan hutan," ujar Riche dalam keterangan tertulis, Senin (9/8/2021).

Baca Juga: Dewan Adat Dayak Tuntut DPR Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat

1. Akses untuk mendapatkan bantuan akibat pandemik COVID

Hari Masyarakat Adat Sedunia, Pemerintah Diminta Tuntaskan Masalah IniOrang Rimba Menerima Bantuan Sosial Tunai. (dok. Warsi)

Pengakuan hukum dari pemerintah, menurut Riche, menjadi penting bagi masyarakat adat, karena adanya pengakuan serta pencatatan identitas tersebut, masyarakat adat dapat mengakses bantuan dari pemerintah.

Ia menyebutkan salah satunya Suku Orang Rimba yang berhasil mereka dorong untuk mendapat pengakuan, hingga akhirnya bisa mengakses bantuan pemerintah untuk mengatasi kedaruratan pangan akibat pandemik COVID-19.

"Pertama, dalam sejarah Orang Rimba hampir merata mendapatkan Bantuan Sosial Tunai (BST) senilai Rp300 ribu per orang per bulannya selama masa pandemik. Dan dilanjutkan dengan bantuan pangan non-tuna," jelas Riche.

2. Dampak pandemik terasa hingga masyarakat adat

Hari Masyarakat Adat Sedunia, Pemerintah Diminta Tuntaskan Masalah IniDesa Rantau Kermas di Kawasan Hulu. (dok. Warsi)

Riche mengatakan adanya bantuan sosial dari pemerintah sangat berarti bagi masyarakat adat. Hal itu karena dampak pandemik yang juga terasa hingga masyarakat adat, termasuk sebagian orang rimba yang hidup secara nomaden atau berpindah-pindah di wilayah dampingan KKI WARSI karena kehilangan mata pencaharian.

"Salah satu masyarakat yang rentan terpapar pandemik adalah orang rimba yang tinggal di area perkebunan, sekitar transmigrasi dan kawasan HTI (hutan industri). Kehidupan mereka bergantung pada penjualan hasil berondolan sawit dan berburu babi untuk dijual ke pengepul," ujar dia.

Namun, Riche mengatakan, bagi orang rimba yang berada di kawasan hutan tidak terlalu terpengaruh karena hutan menyediakan pangan.

"Persoalannya hari ini hutan yang makin sempit, sehingga populasi orang rimba yang tinggal di dalam hutan juga sudah kecil," kata Riche.

3. Masih banyak stereotype pada masyarakat adat

Hari Masyarakat Adat Sedunia, Pemerintah Diminta Tuntaskan Masalah IniOrang Rimba Menerima Bantuan Sosial Tunai. (dok. Warsi)

Pakar Hukum Agraria Universita Gadjah Mada (UGM), Rikardo Simarmata juga menyebut masih ada kesenjangan pada masyarakat adat. Hal itu menurutnya karena masih banyak stereotype dari penyelenggara negara tentang masyarakat adat yang terbelakang dan tidak terdidik.

"Saat ini semakin banyak ketentuan-ketentuan yang mengatakan pengakuan pemerintah terhadap hak ulayat. Sayangnya, masih terdapat kesenjangan antara perbaikan regulasi dengan perilaku praktik penyelenggara negara di lapangan," ujar Rikardo.

Namun, berdasarkan catatannya saat ini sudah ada 56.903 hektare yang diakui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai hutan adat yang tidak berlokasi di kawasan hutan negara, serta 900 ribu hektare yang sedang dicadangkan untuk dijadikan kawasan hutan adat.

"Jumlah ini masih kecil dibandingkan dengan masih banyaknya masyarakat yang tinggal di hutan dan sekitarnya. Saya harap ke depannya, semua bentuk regulasi terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan masyarakat adat bisa lebih efektif untuk mengakomodir hak-hak masyarakat yang hidup di hutan dan sekitarnya," kata Rikardo.

Baca Juga: Tak Punya KTP untuk Dapat Bansos, Orang Rimba Diberi ID Sementara

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya