Maju Mundur Jalan di Tempat Penanganan COVID-19 Pemerintahan Jokowi

Epidemiolog telah lama memprediksi lonjakan kasus COVID-19

Jakarta, IDN Times - Sudah lebih dari satu tahun pandemik COVID-19 melanda Indonesia, sejak kemunculan pertamanya pada 2 Maret 2020. Bukannya mereda, COVID-19 malah semakin menggila di Tanah Air. Hingga Sabtu (24/7/2021), virus corona sudah menginfeksi  3.127.826 orang. Dari jumlah itu,  2.471.678 orang berhasil sembuh, sedangkan 82.013 orang meninggal dunia.

Lonjakan kasus COVID-19 yang terjadi akhir-akhir ini sebelumnya sudah diprediksi oleh Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman, pada Mei 2021 lalu. Ia mengatakan, puncak penambahan kasus COVID-19 akan terjadi sekitar awal Juli 2021.

"Ini belum puncaknya, prediksi puncak mungkin di akhir Juni, awal Juli, dalam prediksinya bisa sampai 100 ribu bahkan," ujar Dicky kepada IDN Times, Selasa (25/5/2021).

Prediksi itu mengacu pada tren peningkatan kasus baru COVID-19 yang masih akan berlangsung usai Idul Fitri pada 12-13 Mei 2021 lalu.

Bahkan, Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, pada Juni lalu mengatakan, kenaikan kasus COVID-19 sebenarnya sudah terjadi sebelum Idul Fitri. Namun, kenaikannya perlahan dan pihaknya telah mengingatkan soal kenaikan kasus tersebut.

"Kenaikan kasus ini berjalan perlahan-lahan mulai dari 4.000, 5.000, 6.000 per minggu dan tidak ada satu ribu pun yang tertinggal. Sampai kemarin (18 Juni 2021), yang tertinggal 11.000. Dari 9.000 naik ke 12.000. Itu ada yang tertinggal," ujar Masdalina Pane, Sabtu (19/6/2021).

Kini prediksi itu pun menjadi kenyataan. Setelah angka kasus COVID-19 terus naik, pada pertengahan Juli di tanggal 15, Indonesia mencapai rekor kasus harian tertinggi yakni 56.757 orang terkonfirmasi positif COVID-19 dalam waktu 24 jam, dengan jumlah spesimen sebanyak 249.059.

Kenaikan kasus yang jumlahnya beberapa kali lipat dibandingkan pada Mei dan Juni, menyebabkan rumah sakit dan fasilitas kesehatan kolaps, tak kuasa lagi menampung pasien. Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaldi menyebut, faskes kolaps secara fungsi dan semakin sulit diakses masyarakat.

"Parameternya sudah jelas, jika ada penumpukan pasien di UGD sampai membuka tenda di rumah sakit, maka kondisi merupakan keterbatasan fasilitas tempt tidur," ujar Adib.

"Belum lagi ada problem kekurangan oksigen, kemudian masalah kebutuhan obat dan alat kesehatan. Kondisi ini yang saya kira functional collapse terjadi. Namun, kita tak bisa mengatakan secara general," lanjutnya.

Tak hanya itu, hingga 17 Juli 2021, sudah 545 dokter yang gugur akibat pandemik COVID-10, di mana 84 persen di antaranya dokter laki-laki. Hal ini lantaran jumlah persentase dokter laki-laki yang merawat pasien COVID-19 lebih banyak ketimbang perempuan dan didominasi oleh dokter umum. 

Melihat kondisi seperti ini, pemerintah tentu tak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan untuk mengendalikan COVID-19. Namun, tak jarang apa yang disampaikan pemerintah berbeda dengan kenyataan di lapangan.

Baca Juga: [LINIMASA-7] Perkembangan Terkini Pandemik COVID-19 di Indonesia

1. Sebut PPKM tidak efektif, namun akhirnya diperpanjang

Maju Mundur Jalan di Tempat Penanganan COVID-19 Pemerintahan JokowiSuasana Jakarta sekitar MH Thamrin saat PPKM Darurat pada Minggu (4/7/2021). (IDN Times/Sachril Agustin Berutu)

Di saat Indonesia memasuki lonjakan kasus COVID-19, Presiden Joko "Jokowi" sempat mengatakan bahwa adanya lonjakan kasus COVID-19 tersebut membuat pemerintah dan masyarakat bekerja lebih keras lagi untuk mengatasinya agar penularan virus corona dapat berkurang di Tanah air.

"Lonjakan kasus penularan COVID-19 yang terjadi di beberapa daerah membuat kita harus bekerja lebih keras lagi untuk mengendalikan pandemi ini," tulis Jokowi di akun Instagram-nya, @jokowi, Senin (21/6/2021).

Saat Jokowi memberikan pernyataan tersebut, Indonesia sedang menjalankan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro di berbagai daerah sebagai bentuk untuk mengendalikan COVID-19.

Sebelumnya, pemerintah memberlakukan PPKM Jawa-Bali yang diterapkan sejak 11 Januari hingga 25 Januari 2021. Dalam kebijakan PPKM periode pertama tersebut, pemerintah mulai memperketat kegiatan masyarakat, mulai dari bekerja di kantor hanya 25 persen, jam operasional mal hingga 19.00 WIB, dan makan di tempat hanya diperbolehkan 25 persen saja. 

Namun bak mengkritik dirinya sendiri, Jokowi mengatakan, kebijakan PPKM tersebut tidak efektif, Hal itu ia sampaikan pada rapat terbatas 29 Januari 2021 di hadapan para jajarannya.

"Saya ingin menyampaikan mengenai yang berkaitan dengan PPKM, tanggal 11-25 Januari, kita harus ngomong apa adanya, ini tidak efektif," kata Jokowi tegas.

Tapi, tak seperti yang diomongkan, walaupun mengetahui PPKM tidak efektif, pemerintah justru memperpanjang PPKM hingga 8 Februari, namun dengan melonggarkan pembatasan seperti jam operasional mal ditambah hingga pukul 20.00 WIB. 

2. Menteri saling berbeda pendapat soal PPKM, ada yang menyebut sama dengan PSBB, ada yang menilainya beda

Maju Mundur Jalan di Tempat Penanganan COVID-19 Pemerintahan JokowiIlustrasi. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Pro kontra terkait PPKM pun bermunculan. Bahkan sosok dibalik pencetus kebijakan PPKM pun dipertanyakan. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengaku tidak mengetahui pasti, siapa yang mengusulkan PPKM pertama kali.

Ia menyebut sosok dibalik pencetus PPKM kemungkinan antara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko PMK) Airlangga Hartarto atau Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.

Bahkan, Muhadjir mengatakan, implementasi PPKM sebenarnya sama dengan PSBB, hanya saja namanya yang berubah. Padahal pemerintah sempat mengatakan PSBB belum dapat menekan angka penularan COVID-19. 

"Saya tidak tahu persis antara Pak Luhut dan Pak Airlangga. Saya sudah klarifikasi ke Pak Airlangga bahwa PPKM itu ya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)," ujar Muhadjir kepada IDN Times, Senin (1/2/2021).

Seakan membantah hal tersebut, Luhut menegaskan, PSBB dengan PPKM berbeda. Perbedaannya terletak pada poin siapa yang mengusulkan dan memberi instruksi.

"PSBB itu lahir berdasarkan permintaan dari bawah (pemerintah daerah), jadi gak seragam (pemberlakuannya). Tapi, kalau PPKM, itu perintah dari atas (pemerintah pusat). Jadi, kami bisa memberitahukan (saat) PPKM seluruhnya untuk melakukan ini," ujar Luhut ketika menggelar dialog perdana virtual dengan para dokter-epidemiolog terkait penanganan wabah pada Kamis (4/2/2021).

Dikarenakan Jokowi menilai PPKM tidak efektif dalam mengendalikan COVID-19 dan pemerintah tak lagi ingin menerapkan konsep yang sama selama PPKM, akhirnya pemerintah memberlakukan PPKM Mikro, di mana penanganan COVID-19 dilakukan hingga ke level RT, yang dilaksanakan dari 9 Februari 2021 hingga 22 Februari 2021.

"Kami fokus ke micro target, supaya orang tetap bisa jalan. Jadi, misalnya satu kampung dianggap menjadi sumber (penularan), ya kita lockdown saja," tutur Luhut kepada para ahli. 

3. Luhut berkeras klaim kasus COVID terkendali, tapi kemudian mengaku tak terkendali

Maju Mundur Jalan di Tempat Penanganan COVID-19 Pemerintahan JokowiANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Gagal menahan laju penularan COVID-19, Jokowi akhirnya memutuskan untuk memberlakukan PPKM Darurat di Jawa dan Bali, mulai 3 Juli hingga 201 Juli 2021. Kebijakan itu diambil karena kasus COVID-19 di Indonesia semakin merajalela.

"Setelah mendapatkan banyak masukan dari para menteri kesehatan dan juga para kepala daerah, saya memutuskan untuk memberlakukan darurat sejak tanggal 3 Juli hingga 20 Juli, khusus di Jawa dan Bali," kata Jokowi, Kamis (1/7/2021).

Dalam kebijakan PPKM Darurat tersebut, Jokowi mengatakan, ada pembatasan-pembatasan aktivitas masyarakat yang lebih ketat daripada yang selama ini sudah berlaku.

Selama PPKM Darurat berlaku, Luhut mengklaim bahwa penanganan pandemik COVID-19 di Indonesia terkendali. Bahkan, ia menantang siapa saja yang menyebut kasus COVID-19 di Tanah Air tidak terkendali untuk datang langsung menemuinya.

"Jadi kalau ada yang berbicara bahwa tidak terkendali keadaannya, sangat-sangat terkendali. Jadi yang bicara tidak terkendali itu bisa datang ke saya. Nanti saya tunjukkan ke mukanya bahwa kita terkendali," tegas Luhut dalam keterangan persnya yang disiarkan langsung di channel YouTube Sekretariat Presiden, Senin (12/7/2021).

Namun, kata-kata keras Luhut yang menyatakan bahwa COVID-19 terkendali seperti menampar wajahnya sendiri. Tiga hari setelah pernyataan tersebut, Luhut mengaku bahwa varian Delta COVID-19 yang saat ini menyebar di Indonesia tidak mudah dikendalikan. Bahkan, ia mengatakan, penyebaran virus ini bisa enam kali lipat lebih cepat. 

"Supaya kita paham, varian Delta ini yang tidak mudah dikendalikan," kata Luhut, Kamis (15/7/2021).

Bahkan, pernyataan Luhut yang tidak konsisten itu ditanggapi oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Melalui akun Twitternya, @susipudjiastuti, pada Kamis (15/7/2021) Susi menyindir Luhut dengan mencuit, "katanya kemarin terkendali."

Baca Juga: Luhut Minta DKI dan 3 Provinsi Buat Laporan Penyebab Kematian Tinggi

4. Munculnya wacana vaksin berbayar

Maju Mundur Jalan di Tempat Penanganan COVID-19 Pemerintahan JokowiJenis vaksin yang digunakan untuk Vaksin Gotong Royong dan Pemerintah (IDN Times/Sukma Shakti)

Upaya pemerintah mengendalikan COVID-19 salah satunya dengan mempercepat vaksinasi. Namun, masalah vaksinasi sempat ramai karena muncunya wacana vaksin berbayar.

PT Kimia Farma Tbk pada 12 Juli 2021 lalu sempat mengumumkan, layanan vaksinasi COVID-19 berbayar untuk masyarakat tersedia di enam kota dan delapan klinik di Jawa dan Bali, dan menggunakan vaksin Sinopharm.

Hal itu juga sudah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4643/2021 tentang Penetapan Besaran Harga Pembelian vaksin Produksi Sinopharm melalui penunjukan PT Bio Farma dalam melaksanakan vaksin COVID-19 dan tarif maksimal pelayanan untuk pelaksanaan vaksinasi gotong royong.

Dalam keputusan Menkes tersebut ditetapkan harga pembelian vaksin sebesar Rp321.660 per dosis, dengan tarif maksimal pelayanan vaksinasi sebesar Rp117.910.

Namun, vaksin berbayar tersebut menuai banyak kritik dan disorot oleh masyarakat. Menanggapi hal itu, Menkes Budi Gunaidi Sadikin menegaskan bahwa vaksin gotong royong untuk individu atau perorangan yang berbayar merupakan opsional.

"Untuk vaksin gotong royong di ratas tadi juga ditegaskan bahwa vaksin gotong royong ini merupakan opsi. Jadi apakah masyarakat bisa mengambil atau tidak, prinsipnya pemerintah membuka opsi yang luas bagi masyarakat yang ingin mengambil vaksin gotong royong, baik melalui perusahaan maupun melalui individu," kata Budi, Senin (12/7/2021).

Sementara itu, Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Abetnego Tarigan mengatakan, menurut arahan Jokowi, masyarakat tidak perlu khawatir karena program vaksin gratis dari pemerintah tetap ada.

"Jadi bila masyarakat tidak mau dengan vaksin gotong royong tersebut tidak usah khawatir, karena akses terhadap vaksin gratis tetap ada," ujar Abetnego saat dihubungi IDN Times, Selasa (13/7/2021).

5. Ditolak rakyat, Jokowi batalkan rencana vaksinasi berbayar

Maju Mundur Jalan di Tempat Penanganan COVID-19 Pemerintahan JokowiDaftar Lokasi Vaksinasi Tanpa Syarat Domisili. (IDN Times/Aditya Pratama)

Karena ramai penolakan, pelaksanaan vaksinasi berbayar tersebut sempat ditunda dan akhirnya dibatalkan oleh Jokowi. Pembatalan itu disampaikan langsung oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung, pada Jumat (16/7/2021).

"Setelah mendapatkan masukan dan juga respons dari masyarakat, presiden telah memberikan arahan dengan untuk vaksin berbayar yang rencananya disalurkan melalui Kimia Farma, semuanya dibatalkan dan dicabut," kata Pramono.

Sesuai arahan Presiden Jokowi, Pramono mengatakan, semua vaksin harus diberikan secara gratis kepada masyarakat.

Sikap pemerintah yang tidak konsisten soal vaksinasi dikomentari oleh Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera. Dia menilai, pembatalan vaksin berbayar karena tidak matangnya kebijakan yang dibuat pemerintah.

"Ini menunjukkan tidak matangnya kebijakan publik yang dibuat. Mestinya jangan membiasakan kebijakan publik berubah saat sudah di-launching. Kita tidak akan maju jika terus maju-mundur," ujar Mardani saat dihubungi, Sabtu (17/7/2021).

Baca Juga: [LINIMASA-2] Perkembangan Vaksinasi COVID-19 di Indonesia

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya