Suara Papua: Kami Menyuarakan Kaum Tak Bersuara

Our News Room Episode 3: IDN Times dan Suara Papua

Jakarta, IDN Times - Our Newsroom adalah program terbaru IDN Times yang membahas tentang proses di balik layar kegiatan para jurnalis IDN Times dan media lainnya, dalam melaporkan sejumlah peristiwa terkini di masyarakat.⁣ Program ini tayang secara langsung di Instagram @idntimes setiap Jumat malam.

Dalam episode ketiga Our Newsroom, Editor in Chief IDN Times, Uni Lubis bersama Arnold Belau, Pemimpin Redaksi Suara Papua (suarapapua.com) mengupas lebih jauh tentang kebijakan redaksi Kantor Berita Suara Papua.

Yuk, simak beberapa behind the scene dan kebijakan editorial dari Suara Papua berikut ini.

1. Suara Papua hadir untuk menyuarakan kaum tak bersuara

Suara Papua: Kami Menyuarakan Kaum Tak Bersuarainstagram.com/idntimes

Salah satu fungsi jurnalis adalah voicing the voiceless, atau menyuarakan yang tak bersuara. Hal inilah yang menjadi pegangan kuat dari Suara Papua sampai hari ini. Pendiri sekaligus Pemimpin Redaksi Suara Papua, Arnold Belau menyampaikan bahwa tujuan didirikannya media ini adalah untuk menyuarakan kaum tak bersuara, yang sampai sekarang dijadikan tagline utama kantor berita Suara Papua.

Awalnya, Arnold dan temannya, Almarhum Oktovianus Pogau melihat penyerangan markas OPM oleh TNI di Papua dan menyadari tidak ada media yang memberitakan hal tersebut pada Agustus sampai September 2011 silam. Dari keresahan tersebut, Arnold dan Okto mendirikan Suara Papua pada tanggal 10 Desember 2011 lewat sebuah blog, tepat di hari HAM.

Baca Juga: Agar Bertahan saat Pandemik, Industri Media Peroleh 4 Insentif  

2. Misi Arnold adalah mendidik anak-anak Papua untuk menulis, loyal, dan berani

Suara Papua: Kami Menyuarakan Kaum Tak Bersuarainstagram.com/idntimes

Saat ditanya tentang misinya bersama Suara Papua, Arnold menjelaskan bahwa dirinya ingin mencari, menemukan, dan mendidik anak-anak Papua untuk menulis tentang jati diri mereka. Suara Papua juga menetapkan seleksi yang cukup ketat bagi wartawan yang ingin menjadi bagian dari mereka. Dari 48 lamaran yang masuk di 2019 lalu, akhirnya terpilih 7 orang yang sekarang bergabung dengan Suara Papua.

Arnold menambahkan bahwa ada beberapa tantangan yang ia rasakan dalam mendirikan dan mengelola media di tanah Papua, salah satunya mencari anak Papua yang bisa menulis, loyal, dan berani. Tantangan lainnya adalah, banyaknya ancaman yang menanti di lapangan serta kesetiaan pada panggilan menjadi jurnalis.

3. Suara Papua pernah alami pemblokiran di tahun 2016

Suara Papua: Kami Menyuarakan Kaum Tak Bersuarainstagram.com/idntimes

Di tahun 2016 lalu, Suara Papua pernah diblokir oleh pemerintah. Namun, sampai sekarang, tidak pernah terjawab siapa yang melaporkan Suara Papua agar diblokir dan apa alasan pemblokiran tersebut. Arnold sampai meninggalkan kuliahnya untuk mengurus Suara Papua agar terbebas dari pemblokiran tersebut.

Berbicara mengenai modal bisnis, Arnold mengaku bahwa awal didirikannya Suara Papua ini hanya dengan bermodalkan semangat dan berani. Namun, untuk sekarang ini Suara Papua mendapatkan pemasukan dari Google Adsense. Tak hanya itu, pada tahun 2018 Suara Papua juga bekerjasama dengan Pemda setempat.

Sebagai warga Papua, Arnold mengharapkan agar media di kota-kota besar di Indonesia tidak hanya mengandalkan informasi dari pemerintah saja, melainkan terjun langsung ke Papua untuk memberitakan kebenaran yang ada. Arnold juga berharap agar janji Presiden Jokowi dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM dapat ditepati.

Sukses selalu untuk Suara Papua! 

Baca Juga: Melongok Dapur Redaksi LKBN ANTARA Selama Pandemik 

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya