Tiga Tokoh Hadhrami Ini Ikut Merintis Kemerdekaan Indonesia

Siapa saja mereka?

Jakarta, IDN Times - "Hal luar biasa dari mereka (penduduk Indonesia berdarah Arab) adalah ketika mereka mengikrarkan bahwa Tanah Air mereka adalah Indonesia. Padahal mereka di bawah ancaman kolonial," ungkap Nabiel A. Karim dengan begitu hikmat.

Nabiel merupakan pengamat sekaligus penulis sejarah Hadhrami. Pernyataan itu diutarakannya saat mengawali seminar sesi pertama Festival Hadhrami yang digelar oleh Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Rabu (24/4).

Hadhrami adalah sebutan bagi masyarakat Indonesia yang memiliki darah keturunan Arab, terkhusus 95 persen leluhur Arab di Indonesia berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan.

Pada kesempatan yang sama, Nabiel menampik asumsi yang mengatakan hanya ada dua orang keturunan Arab di Nusantara yang berkontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia, yaitu A.R. Baswedan dan Hoesin Bafagih.

"Akhir-akhir ini, ketika berbicara masalah peran Hadhrami dalam kebangsaan, biasanya mengarah ke A.R. Baswedan beserta PAI-nya. Tapi ternyata, peran komunitas Arab masih banyak selain mereka," tutur dia di Universitas Indonesia, Depok, Rabu (25/4).

Adapun tokoh Arab yang memiliki peran signifikan bagi kemerdekaan antara lain:

1. Abdurrahman Baswedan

Tiga Tokoh Hadhrami Ini Ikut Merintis Kemerdekaan Indonesia  sejarahri.com

Abdurrahman (A.R.) Baswedan, lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 9 September 1908. Dia merupakan seorang jurnalis berjiwa nasionalis yang menutup usia pada 16 Maret 1986 di usia 77 tahun.

Sejarah mencatat A.R. Baswedan sebagai penggagas Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada 5 Oktober 1934. Sehari sebelumnya, Baswedan bersama sejumlah rekannya mendeklarasikan bahwa Indonesia adalah Tanah Air mereka.

"4 Oktober 1934 menjadi hari kesadaran berbangsa mereka yang berdarah Arab. Luar biasanya adalah ketika mereka mengikrarkan bahwa Indonesia adalah Tanah Air mereka. Itu diutarakannya saat mereka dibungkam oleh kolonial malah," terang pria lulusan FISIP-UNDIP itu dengan begitu antusias.

Nabiel melanjutkan, pada satu hari, Hamka pernah ditegur oleh golongan tua agar A.R. Baswedan tidak eksis bersama PAI. Kala itu, bentuk teguran Hamka kepada Baswedan adalah dengan memberikan pertanyaan kepada dirinya perihal kebangsaan.

"Begini Pak Hamka, ketika kami mengatakan kalau Indonesia adalah Tanah Air, saya tidak izin ke Tjokroaminoto. Saya tidak izin sama siapapun. Karena saya yakin ini Tanah Air saya," terang Nabiel seolah meniru percakapan Baswedan kepada Hamka.

"Kalau seandainya orang Indonesia bilang ini bukan Tanah Air kamu, kalian mau apa?" jawab Hamka saat diperagakan oleh Nabiel. "Ayo berkelahi, buang saya ke laut," jawab Baswedan ketika itu.

Melihat polemik yang terjadi, Ki Hajar Dewantara justru mengatakan, "Apa yang dilakukan oleh mereka, justru penting bagi bangsa Indonesia, selain penting bagi bangsa Arab itu sendiri.".

2. Salim Ali Maskati

Tiga Tokoh Hadhrami Ini Ikut Merintis Kemerdekaan Indonesia  menaracenter.org

Salim Ali Maskati dikenal sebagai sahabat sekaligus mentor A.R. Baswedan. Dia merupakan wartawan keturunan Arab pertama di Indonesia. Perjuangannya bersama A.R. Baswedan dan Hoesin Bafagih dalam PAI membuat mereka menjadi tiga serangkai yang selalu bersama.

"Setelah PAI dibubarkan, dia membentuk Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) segala harta bendanya didedikasikan untuk PSII. Hingga dia hanya hidup dari uang menjahit bersama istrinya," papar Nabiel.

Karena keterbatasan hidup, akhirnya Baswedan bersama Roeslan Abdulgani menawari agar dirinya mendapat gelar perintis kemerdekaan.

"Berkali-kali dia menolak. Namun, setelah dibujuk, akhirnya dia mau. Yang luar biasa adalah saat dia mendapat gelar perintis kemerdekaan dia mengatakan, "Apa yang saya lakukan hanya sebatas kewajiban sebagai warga negara," katanya.

Hingga di tahun 1983, akhirnya Salim tutup usia dan dimakamkan di Surabaya.

3. Ali Baktsier

Tiga Tokoh Hadhrami Ini Ikut Merintis Kemerdekaan Indonesia  IDN Times/Vanny El Rahman

Ali Baktsier dikenal sebagai sastrawan besar Arab. Lebih dari 200 bukunya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Bahkan, tidak sedikit film yang terinspirasi dari karya tulisnya.

"Tapi sedikit yang tahu kalau dia adalah sahabat A.R. Baswedan dan lahir di Surabaya. Dia hidup layaknya orang Arab Surabaya lainnya: makan gado-gado juga bubur madura," beber Nabiel.

Sekitar tahun 1951, Ali mendapat status kewarganegaraan Mesir. "Namun, kecintaan dia terhadap Indonesia tidak terbantahkan," sambungnya.

Sebagai sastrawan, dia berjuang bersama sejumlah pelajar Indonesia yang berdomisili di Mesir. Kala itu, kalangan mahasiswa membentuk Panitia Penyambutan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPPKI).

"Bersama PPPKI dan Ali Baktsier dalam rangka merayakan satu tahun kemerdekaan Indonesia, mereka mementaskan sebuah karya sastra yang memuat kemerdekaan, politik, Bung Karno, Hatta, dan Natsir dalam merebut kemerdekaan," paparnya.

"Tidak kalah luar biasa, Soekarno di sana disebut sebagai Ahmad Soekarno dan lagu Indonesia Raya diubah dalam bentuk bahasa Arab. Setelah dipentaskan, keesokan harinya terbentuk satu opini publik bahwa ada satu negeri jauh di sana yang perlu pengakuan akan kemerdekaan," sambung dia.

Artinya, Ali Baktsier mampu membentuk opini publik melalui karya sastra. Dari pementasan itulah Indonesia mulai mendapat perhatian lebih dari Mesir. 

Baca juga: Menelisik Nenek Moyang Anies Baswedan dan Rizieq Shihab

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya