5 Fakta Limbah Medis di Pembuangan Bantar Gebang

Botol infus digeluti pengepul karena nilai jualnya tinggi

Jakarta, IDN Times- Pandemik COVID-19 memaksa seluruh rumah sakit di Indonesia bekerja ekstra. Potensi penularannya yang tinggi menyebabkan rumah sakit kelimpungan. Meski sebagian dari pasien dengan gejala terpapar corona bisa menjalani isolasi mandiri di rumahnya, tidak sedikit pula yang harus menjalani rawat inap bahkan bernapas dengan bantuan ventilator di rumah sakit.
 
Aktivitas rumah sakit yang tinggi sejalan dengan penggunaan alat medis yang kian meningkat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana rumah sakit mengelola limbah medis yang volumenya meningkat dari tahun-tahun sebelumnya?
 
Temuan Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) limbah medis yang tergolong bahan berbahaya dan beracun (B3) masih banyak ditemukan di sejumlah tempat pembuangan akhir, termasuk di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang. Lebih mengerikan lagi, limbah medis tersebut diketahui berasal dari rumah sakit yang menjadi rujukan COVID-19.
 
“Ketahuan dari rumah sakit mana bisa dilihat dari struk yang satu plastik sama limbah medisnya,” kata Ketua KPNas, Bagong Suyoto, kepada IDN Times baru-baru ini.
 
Untuk memastikan hal itu, IDN Times mendatangi tempat pembuangan akhir (TPA) di Sumur Batu dan Burangkeng. Kami berbincang dengan sejumlah pemulung, pengepul, dan aktivis persampahan untuk mengetahui fakta di balik limbah medis yang dibuang sembarangan di masa pandemik. Bagaimana temuannya? Simak selengkapnya di bawah ini.  

1. Rumah sakit atau klinik tidak menggunakan jasa pengelola limbah B3

5 Fakta Limbah Medis di Pembuangan Bantar GebangLimbah medis (IDN Times/Reynaldi)

Bagong menjelaskan, limbah medis yang berakhir di TPA atau TPST merupakan bentuk pelanggaran rumah sakit terhadap Peraturan Pemerintah 11/2014 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun.
 
Secara umum ada dua skema bagaimana rumah sakit mengelola limbah medisnya, yaitu pemusnahan secara mandiri atau menggunakan jasa ketiga untuk memusnahkan limbah medis. Satu hal yang Bagong garisbawahi, dua skema itu memakan biaya yang tidak murah.
 
“Hanya rumah sakit besar yang punya alat untuk memusnahkan limbah medis dengan incinerator yang panasnya minimal 800 derajat celcius,” kata dia.
 
Di masa pandemik yang menyebabkan volume limbah medis meningkat, Bagong turut menyebut skema ketiga, yaitu antara pihak ketiga yang nakal atau rumah sakit yang tidak mengelola limbah medisnya dengan benar.
 
“Sampahnya kan banyak, berlebih, pihak ketiga atau rumah sakitnya juga kewalahan tuh, karena alat mereka juga terbatas. Akhirnya ya udahlah dijual ke pengepul aja sebagiannya,” tutur Bagong.  

2. Limbah medis dibuang bersama sampah lainnya

5 Fakta Limbah Medis di Pembuangan Bantar GebangLimbah medis (IDN Times/Reynaldi)

Baca Juga: Survei: Bukan Militer, Wabah Corona Sebaiknya Ditangani Pejabat Sipil

Ketika IDN Times mendatangi sejumlah lokasi pembuangan sampah, kami mendapati limbah medis yang berada di dalam satu plastik dengan sampah lainnya. Ada botol infus yang lengkap dengan selang infusnya. Hanya jarum infus yang tidak ada.
 
Menurut Bagong, cara itu digunakan rumah sakit untuk mengelabui petugas TPA atau TPST. Sebab, petugas bisa mengetahui pihak mana yang membuang sampah dari truk yang mengangkutnya. Sedangkan, truk yang membawa sampah itu tidak menyadari bahwa limbah medis berada dalam tumpukan sampah yang diangkut.
 
“Limbah medisnya sengaja dicampur dengan sampah rumah tangga. Biar gak ketahuan (asal rumah sakitnya),” tutur Bagong.
 
Kami juga mewawancarai seorang pengepul sampah. Dia menjelaskan,  limbah medis seperti botol infus, masker, bahkan alat suntik, sudah tercampur dengan sampah rumah tangga.
 
“Ya saya gak tahu ya itu asalnya dari mana, tapi di satu karung sampah itu di dalamnya pasti ada campuran botol infus gitu,” kata Adi, bukan nama sebenarnya.

3. Botol infus memiliki harga tinggi

5 Fakta Limbah Medis di Pembuangan Bantar GebangLimbah medis (IDN Times/Reynaldi)

Siti, nama samaran juga, bercerita bila dia sering menemukan limbah medis di tumpukan sampah. Tidak tanggung-tanggung, dia bahkan sering menemukan suntikan masih lengkap dengan jarum-jarumnya. Menurut dia, fenomena seperti ini tidak sporadis selama pandemik semata.
 
“Ya itu mah udah dari dulu, gak baru-baru ini aja gara-gara corona, enggak,” Siti mengungkapkan.
 
Menurut Siti, botol infus memiliki nilai jual yang tinggi karena kualitas daur ulangnya berbeda dengan kualitas daur ulang sampah lainnya. Untuk satu kilo botol infus, bisa dihargai oleh pendaur ulang Rp6.000 hingga Rp10.000 per kilo.
 
Adapun untuk sampah yang borongan, biasanya per karung dihargai Rp6.000. Bila dalam satu karung itu pengepul bisa mengumpulkan 2 kilo saja botol infus, maka dia sudah mengantongi keuntungan yang cukup besar.
 
Tingginya nilai limbah medis inilah yang menyebabkan rumah sakit atau pihak ketiga mencari keuntungan dari barang bekas tersebut. Tidak sedikit rumah sakit yang sudah kongkalikong dengan pengepul untuk menyuplai limbah medis.
 
“Satu truk kalau khusus limbah medis biasanya dibayar Rp200 ribu hingga Rp250 ribu oleh pelapak. Disortir sama mereka, untungnya bisa sampai Rp2 juta. Ya kalau kuli atau pemulungnya mah sistem borongan, paling Rp75 ribu sampai Rp100 ribu sehari,” Bagong menambahkan. 

4. Bau busuk bekas nanah dan darah

5 Fakta Limbah Medis di Pembuangan Bantar GebangLimbah medis (IDN Times/Reynaldi)

Kendati menggiurkan, tidak semua pengepul tertarik untuk memulung limbah medis. Puri, bukan nama asli, mengaku resah dengan pengepul yang menjadikan limbah medis sebagai komoditas bisnisnya. Sebab, bau busuk menyeruak dari limbah bekas rumah sakit itu.

“Itu kadang ada yang masih ada darahnya gitu, itu bau banget, baunya busuk,” kata Puri.
 
Meski jijik, Puri tidak bisa berbuat banyak. Dia tidak enak hati juga bila melaporkan ke pihak berwajib karena akan banyak pemulung yang kehilangan pekerjaan.

5. Sejak pandemik pemulung ogah pungut limbah medis

5 Fakta Limbah Medis di Pembuangan Bantar GebangIlustrasi pemulung (IDN Times/Rohman Wibowo)

Satu-satunya yang bisa Puri lakukan, itu pun karena khawatir terpapar COVID-19, adalah menghalangi mobil pengirim limbah medis masuk ke kawasan pengepul. Puri berkata bahwa mobil yang biasanya mengirim limbah medis datang pada malam hari.
 
“Udah satu setengah bulan mobilnya gak datang lagi, waktu itu kami tutup di sini, pada takut,” kata dia.
 
Selain itu, pemulung yang biasanya memunguti limbah medis juga ogah untuk bekerja lagi. Mereka khawatir bila botol infus, jarum suntik, atau bahkan alat pelindung diri (APD) yang mereka pungut ternyata mengandung SARS-CoV-2.
 
“Itu yang biasanya mungutin botol-botol infus juga udah pada gak mau kerja lagi,” ujar Puri.  

Baca Juga: Duh! Limbah Medis Ditemukan di TPA Sumur Batu Bekasi

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya