Azyumardi Azra: Perlu Ada Database Ustaz di Indonesia

BIN diam-diam screening calon rektor

Jakarta, IDN Times - Keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Itulah pemikiran yang giat digaungkan Azyumardi Azra. Menurut dia, unifikasi tiga konsep tersebut menjadi “peluru tajam” yang paling ampuh untuk membendung radikalisme.

Azyumardi merupakan guru besar sejarah dan kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Lelaki kelahiran Padang Pariaman, Sumatera Barat, 4 Mei 1955 ini satu-satunya orang Indonesia yang mendapat anugerah gelar bangsawan “Sir” dari Kerajaan Inggris. Ia juga pernah menjabat sebagai rektor UIN Jakarta 1998-2006.

Alumni Colombia University ini menghabiskan waktunya untuk meneliti perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, secara khusus, dan Asia Tenggara, secara umum. Disertasinya berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesia "Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”, yang secara simultan diterbitkan di Canberra, Honolulu, dan Leiden pada 2004.

Kamis (13/6) lalu, IDN Times sempat berbincang dengan Azyumardi di Penang Bistro, Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Sembari santap siang, dia mengulas fenomena radikalisme yang masih menghantui Indonesia. Dengan perkembangan internet dan media sosial sekarang ini, dia menyebut radikalisme menjadi lebih kompleks ditanggulangi.

Berikut tanya-jawab antara IDN Times dengan Azra:

Belakangan ini aksi terorisme dilakukan oleh perempuan dan tidak jarang melibatkan anak-anak. Bagaimana Anda menanggapi fenomena tersebut?

Agak unik memang aksi terorisme membawa istri dan anaknya yang masih kecil, itu saya kira kejadian yang relatif baru, satu keluarga melakukan aksi bunuh diri (seperti bom Surabaya). Biasanya kan pelakunya tunggal atau dua orang yang tidak ada hubungan keluarga, nah ini berhubungan keluarga.

Di Palestina sudah ada perempuan yang menjadi pelaku terorisme, tapi jumlahnya sangat kecil dibanding laki-laki. Begitu juga di Indonesia. Mungkin karena perempuan dianggap lebih introvert, lebih mendalam, karena itu tidak mudah sebetulnya untuk merekrut perempuan jadi pelaku terorisme. Sementara laki-laki lebih open, mudah sosialisasi. Jadi itu yang membedakan kenapa sebagian besar pelaku terorisme adalah laki-laki.

Tapi sekarang dengan kemajuan internet, perempuan bisa menjadi lebih rentan terpapar paham radikalisme, bahkan bisa menjadi pelaku, atau membuat bom di kamarnya. Ini yang harus diwaspadai. Ketika zaman belum ada internet, belum ada media sosial, Facebook dan Telegram, mungkin lebih kecil peluang perempuan itu terjerumus ke dalam paham radikal, kecuali kalau mereka berinteraksi langsung dengan orang-orang yang sudah radikal atau punya kecenderungan radikalisme

Apakah perempuan yang menghabiskan waktunya di rumah saja memiliki potensi terpapar paham radikal lebih besar?

Tidak juga, yang kerja dan di rumah (memiliki potensi yang sama). Mungkin di rumah lebih besar, tapi tidak berarti yang bekerja tidak. Yang bekerja malah terkontaminasi dengan bacaan, interaksi tertentu di kantornya, atau pengamatannya. Itu juga mendorong untuk jadi teroris.

Pada era media sosial, banyak preferensi ulama/ustaz yang menjadi tokoh dalam mempelajari agama. Tapi kenapa banyak yang mendengarkan ustaz dengan muatan ceramah yang mengafirkan, alih-alih yang moderat?

Ini terkait lingkungan sosial, ekonomi, politik yang lebih luas. Di bidang ekonomi misalnya, susah dapat kerja. Kekecewaan pada demokrasi misalnya, itu juga bisa mengakibatkan orang terjerumus ke dalam paham-paham yang dangkal. Atau gangguan-gangguan yang lain, seperti gangguan sosial, kultural, ini juga mempengaruhi orang kemudian rentan terpapar paham radikal. Sehingga menyelesaikan masalah dengan kekerasan menjadi pilihan yang mungkin (dilakukan) bagi mereka.

Akhirnya ustaz-ustaz yang anti-rezim, anti-penguasa dipilih, yang memberikan tawaran-tawaran instan pemecahan masalah, bahwa segala sesuatu bisa diselesaikan dengan doa. Ya sebetulnya tidak bisa begitu, tapi orang-orang yang tadi mengalami gangguan, bahkan mengalami gangguan agama, dengan mudah membeli tawaran instan dari ustaz itu, yang itu memabukkan. Tawaran instan masuk surga misalnya tanpa harus amal soleh, cuma dengan bawa bom.

Untuk mencegah provokasi dari tokoh agama pada era media sosial, apakah keputusan Kementerian Agama membuat sertifikasi ustaz adalah hal yang diperlukan?

Saya kira perlu. Menurut saya Kemenag dan ormas Islam itu perlu membuat database tentang ustaz-ustaz dan rekam jejak mereka, termasuk pendidikan, keahlian, gaya dakwahnya kayak apa, harusnya ada database. Itu akan lebih baik. Sehingga dakwah akan lebih sistematis, lebih tertib juga. Bisa dihindarkan dakwah sebagai ajang provokasi. Sekarang ini kan ada dakwah sebagai ajang provokasi jamaahnya.

Bisa gak dikatakan tokoh agama atau institusi Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah kurang efektif dalam memainkan perannya sebagai pengusung Islam moderat?

Ya mungkin karena NU dan Muhamamdiyah masih dakwah konvensional. Masih dakwah bil lisan, melalui mimbar, atau bil hal, atau tidak dakwah bil medsos misalnya. NU dan Muhammadiyah tidak melahirkan dakwah kontra wacana radikalisme. Kalaupun ada hanya pernyataan-pernyataan selintas, bukan upaya-upaya sistematis dan terarah. kebanyakan begitu, makanya gak efektif.

Apakah dengan demikian paham radikal rentan masuk ke kampus-kampus?

Karena memang mahasiswa atau kampus menjadi target bagi kelompok-kelompok radikal untuk direkrut, kalau SMA melalui OSIS, kalau di kampus melalui kelompok pengajian. Dan memang peluang bagi kelompok radikal itu mendapatkan anggota atau pengikut cukup besar juga, karena pertama mahasiswa baru itu banyak yang mengalami disorientasi. Mereka datang dari kampung, susah menghadapi perkuliahan, kadang kesulitan ekonomi, mereka inilah yang jadi target. Dibantu mereka kuliahnya, kemudian dikasih subsidi. Jadi memang lingkungan kampus dan mahasiswa itu cukup kondusif bagi kelompok radikal untuk merekrut anggota.

Anda sempat menyebut Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sebagai sarang radikalisme. Apakah itu karena tidak hadirnya organisasi mahasiswa berbasis Islam moderat di kampus?

Bulan puasa 2018, ketika ramai diskusi mengenai adanya tujuh perguruan tinggi negeri yang terpapar paham radikal, saya mengusulkan agar ormas-ormas yang dikenal sebagai Kelompok Cipayung (HMI, PMII, IMM, GMNI, GMKI, dll) itu diizinkan masuk ke kampus. Ormas ini dilarang oleh Menteri Pendidikan Daoed Joesoef, waktu dia menerapkan NKK/BKK akhir tahun 70an. Akibatnya apa? Kelompok mahasiswa, termasuk LDK dan KAMMI kemudian dengan mudah beroperasi di kampus. Mereka tidak punya saingan, jadi tidak ada kontra wacana bagi mereka. Oleh karena itu saya usulkan kepada Menristekdikti supaya ormas mahasiswa diizinkan kembali beroperasi di kampus. Setelah itu, beberapa bulan yang lalu Menristekdikti mengambil keputusan ormas Cipayung Plus untuk bergerak lagi di kampus.

Berdasarakan temuan BNPT, BIN, dan Gusdurian, kenapa kebanyakan kampus-kampus yang rentan terpapar paham radikal adalah kampus yang jurusan eksaktanya dominan?

Iya, karena ilmu-ilmu pada bidang seperti itu tidak memberikan latar belakang dan pendekatan yang cukup kuat dalam memahami Islam. Latar belakang keilmuannya lemah, sehingga dengan mudah mereka digiring oleh kelompok radikal agar mengikuti mereka, bisa melalui cuci otak.

Apakah ada pengaruh dari pendekatan studi/jurusan yang mereka ambil?

Iya, memang karena studinya hitam-putih, itu juga terkait karakter ilmu eksakta. Dampaknya itu lebih mudah menyampaikan agama secara hitam-putih. Kalau di bidang ilmu sosial, bidang humaniora, kan tidak harus hitam-putih, ada kawasan yang abu-abu. Agama gak bisa dilihat secara hitam-putih.

Apakah itu berarti kurikulum keagamaan yang ada di kampus hari ini kurang optimal?

Saya kira kurikulum pendidikan agama itu isinya terlalu normatif, terlalu kognitif hanya untuk pengetahuan. Kurang menyentuh aspek psikomotorik, pengamalannya kurang. Kedua, kurikulumnya tidak terkontekstualisasi dengan misalnya realitas Indonesia yang majemuk, yang NKRI, yang Pancasila, Bhineka Tunggal Ika. Jadi kurikulumnya hanya untuk dihapal.

Oleh karena itu, saya mengusulkan kurikulum pelajaran agama Islam harus direvisi. Silabusnya harus lebih kontekstual, harus menekankan pada integrasi keindonesiaan, keislaman, dan Kemodernan. Selama ini kan cenderung dipertentangkan Indonesia dan Islam, harusnya jangan seperti itu. Buku-buku teksnya juga harus ditulis ulang. Kontekstualisasinya harus ada.

Bagaimana dengan kurikulum mata pelajaran agama di pesantren-pesantren?

Ada (standarisasinya) kalau mereka ikut kurikulum Mendikbud dan Menag. Sebagian pesantren ikut kurikulum. Kenapa kurikulumnya Mendikbud? Karena kalau pesantren itu pakai sistem sekolah Islam atau madrasah, mereka harus ikut kurikulum. Tapi ada pesantren yang punya kurikulumnya sendiri, nah itu harus dapat pengakuan. Sering yang belum dapat pengakuan adalah pesantren salafi yang berorientasi ke Wahabi, ke Saudi. Itu sering tidak sejalan dengan kurikulum nasional. Itulah yang harus ditertibkan, pesantren salafi dan Wahabi.

Apakah kampus sudah melakukan gerakan untuk mengahalau radikalisasi?

Sudah mulai ada kesadaran dari pimpinan universitas atau dari kerja sama pimpinan kampus atau kementerian. Sekarang ini calon-calon rektor secara diam2 di-screening oleh Badan Intelijen Nasional (BIN), apakah dia punya latar belakang radikal, sehingga gak mudah lagi bagi orang yang punya track record HTI misalnya untuk jadi rektor. Yang terakhir UNPAD, calon rektornya ditolak oleh menteri karena punya rekam jejak radikal.

Menurut Anda, apakah program deradikalisasi yang digaungkan pemerintah sudah optimal?

Deradikalisasi masih dilakukan secara sporadis. Memang ada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menyelenggarakan berbagai kegiatan, tapi kegiatannya sering tidak berkelanjutan. BNPT seharunya bisa melakukan kerja sama yang berkelanjutan, tidak hanya kesannya membagi-bagi proyek, misalnya proyek deradikalisasi Rp100 juta atau Rp200 juta, itu gak cukup. Harus bekelanjutan jangka pajang.

Pasca-pelarangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan semakin ketatnya pengawasan media sosial, apakah itu justru menjadi pemicu radikalisme?

Ya gak juga, saya kira kelompok radikal malah tiarap dan mencari cara baru dalam penyebaran radikalismenya. Saya kira mesikipun HTI dilarang, tapi dalam praktiknya mereka masih beroperasi menggunakan nama lain. Inilah yang harus diantisipasi oleh aparat keamanan, termasuk oleh pimpinan kampus, karena mereka hadir memakai nama lain.

Indonesia pernah punya sejarah DI/TII dan NII, apakah itu menjadi salah satu faktor pendorong suburnya radikalisme?

Tidak, itu hal lain. Kalau kelompok radikal sekarang karakternya beda, sekarang ini lebih transnasional dan lebih didorong oleh ideologi keagamaan. Kalau DI/TII didorong oleh faktor politik-militer lokal, Konflik di dalam TNI, rasionalisasasi tentara.

Baca Juga: Dari Firanda hingga Rahmat Baequni, Azra: Harus Ada Penertiban Ustaz

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Rochmanudin
  • Sunariyah
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya