Bahaya Mengancam di Balik Simpang Siur Data Virus Corona

Yang dikubur dengan protap COVID-19 melonjak

Jakarta, IDN Times - Dunia berubah sejak merebaknya pandemik virus corona. Begitu juga hidup Yayan Gustiawan. Lelaki berusia 34 tahun yang berprofesi sebagai penggali kuburan itu praktis bekerja lebih keras memakamkan jenazah pasien yang dikirimkan rumah sakit di kawasan Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya.

Antrean ambulans membawa jenazah yang harus dikuburkan dengan prosedur pemulasaraan COVID-19 adalah pemandangan sehari-hari di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tegal Alur, di kawasan Kalideres, Jakarta Barat.

Situasi seperti ini dimulai sejak pertengahan Maret 2020. Yayan adalah salah satu dari 40 petugas penggali kuburan yang bertugas di TPU Tegal Alur. Untuk menghindari paparan infeksi virus laknat yang menyebar bak kilat itu, Yayan dan teman-temannya menggunakan pakaian hazmat dan masker saat menguburkan jenazah. 

Belakangan, karena antrean jenazah makin banyak, kerja menggali tanah kuburan pun dibantu ekskavator. Yayan dan teman-teman yang bertugas mengeluarkan peti jenazah dari ambulans, menurunkan ke lubang yang sudah disiapkan dan disemprot disinfektan, menutupinya dengan tanah lagi. Sesudah itu disemprot dengan disinfektan lagi. 

Proses penguburan berlangsung cepat, sekitar 15-20 menitan.  Keluarga pengantar yang jumlahnya dibatasi maksimal satu kendaraan, boleh mendekat untuk mendoakan dan menaburkan bunga. Sebelum mendekat ke kuburan, keluarga juga disemprot cairan disinfektan.

Yayan, bergegas menuju tempat cuci tangan, membilas tangan dan muka dengan sabun, lalu melepas baju hazmat yang nyaris basah karena peluh membanjiri tubuhnya. Apalagi kalau penguburan dilakukan di bawah terik matahari.

Baju hazmat warna putih dijemur di dekat tempat cuci tangan. Diangin-anginkan. Petugas kemudian beristirahat sejenak, sambil menunggu giliran berikutnya. Mereka menggunakan lagi baju hazmat yang dijemur itu.

Setelah 12 tahun bekerja sebagai penggali kubur, baru kali ini Yayan merasa gelisah berhadapan dengan ambulans yang tak kunjung henti membawa jenazah dengan balutan kain kafan dan plastik.

TPU Tegal Alur dan TPU Pondok Ranggon ditetapkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebagai TPU khusus pemulasaraan jenazah yang terkonfirmasi COVID-19.

“Sebenarnya kami semua takut (terinfeksi Corona). Cuma ini tugas kami dan kami juga harus melakukan tanggung jawab ini,” kata Yayan ketika ditemui IDN Times di TPU Tegal Alur, Selasa (7/3).

Sebelum wabah COVID-19 melanda Ibu Kota, Yayan bekerja dari pagi, saat sang baskara muncul hingga senja menyapa. Kini, ia bersama rekan-rekannya dipaksa untuk menggali kubur sampai pukul 21.00 WIB. Bahkan pernah lebih larut malam.

“Hari ini saja sudah masuk 10 dan rencananya hari ini ada 10 jenazah (lagi),” ungkapnya.

Baca Juga: [FOTO] Sepinya Prosesi Pemakaman Jenazah COVID-19 di TPU Tegal Alur

Jenazah terinfeksi COVID-19 dimakamkan dengan protap khusus

Bahaya Mengancam di Balik Simpang Siur Data Virus CoronaSeperti pemakaman umumnya yang menggunakan peti, proses memasukan peti ke dalam liang lahat juga menggunakan alat bantu berupa tali tambang. (IDN Times/Candra Irawan)

Pemulasaraan atau pemeliharaan jenazah dengan protokoler tetap (Protap) COVID-19 mulai diberlakukan oleh Pemprov DKI Jakarta sejak 20 Maret 2020, seiring dikeluarkannya Surat Edaran (SE) Dinas Kesehatan Pemprov DKI Nomor 55 Tahun 2020.

Dalam aturan tersebut, pasien yang meninggal dunia akibat penyakit menular —berdasarkan surat keterangan rumah sakit—harus mendapat perlakuan khusus. Ketika hendak dikebumikan jenazah harus dibungkus plastik yang tidak tembus air, selain dibalut kain kafan. Peti jenazah tidak boleh dibuka dan bagian luarnya harus disemprot cairan disinfektan. Penguburan juga tidak boleh lebih dari empat jam setelah waktu kematian.  

Bahaya Mengancam di Balik Simpang Siur Data Virus CoronaIlustrasi data COVID-19/Arief Rachmat

Aturan yang sama juga berlaku bagi penggali kubur dan keluarga. Mereka harus menggunakan alat pelindung diri (APD) berupa pakaian hazmat lengan panjang yang kedap air, sarung tangan, pelindung wajah dengan kacamata, celemek dan sarung tangan karet, serta sepatu tertutup yang tahan air.

Setelah menunaikan prosesi pemakaman, mereka tentunya harus membasuh wajah dan lengan sampai ke bahu, memanfaatkan air serta sabun yang telah disediakan. Aturan ini merupakan langkah untuk memutus rantai penyebaran virus corona dari orang tanpa gejala (OTG) yang sangat mungkin bersarang pada keluarga korban, tanpa mereka sadari.

“Kami justru khawatir ketularan virus dari pengantar. Soalnya kan kami gak tahu ya mereka itu positif atau gak, kan bisa tanpa gejala,” ungkap Yasan, kolega Yayan, yang ditemui IDN Times pada Senin (6/4) lalu.

Ungkapan Yasan menandakan petugas TPU telah diberi edukasi bahwa jenazah tidak serta-merta bisa menularkan virus bernama SARS-CoV-2 kepada mereka yang masih hidup.

Keputusan pemulasaraan jenazah dengan protap penyakit menular diambil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di tengah situasi pandemik COVID-19 yang semakin meresahkan. Keterlambatan penelusuran OTG dan proses uji swab yang memakan waktu lama menjadi akar masalah.

Apalagi di awal pandemik, pengujian spesimen cairan tenggorokan dari swab dipusatkan di Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Litbangkes). Alhasil, tidak sedikit jenazah yang terkonfirmasi corona setelah meninggal dunia.

Kematian pegawai Telkom di Cianjur seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah. Jenazah baru diketahui meninggal akibat corona setelah diumumkan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, pada 15 Maret 2020. Padahal, pegawai berusia 50 tahun itu meninggal pada 3 Maret 2020. Celakanya, kejadian serupa terulang pada kasus 285 di Makassar dan pasien berusia 65 tahun di Lampung.

Karena sebelumnya tidak dapat informasi positif, maka pasien masih bisa didekati keluarga, juga tenaga medis, yang kemudian terpapar juga.

Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, mengatakan bahwa mayat tidak bisa menularkan SARS-CoV-2 selama dibalut kain kafan dan plastik. Namun, jenazah masih bisa menjadi spreader atau penyebar, apabila dikerumuni keluarga sebelum dikafani. Peristiwa seperti itu sangat mungkin terjadi jika keluarga tidak mengetahui riwayat penyakit korban.

Kejadian serupa terjadi di Jakarta Timur baru-baru ini. Jenazah yang belum diketahui penyebab meninggalnya diminta oleh keluarga untuk dibawa ke rumah duka sebelum dikebumikan. Anggota keluarga berkumpul di sekitar jenazah dan menciuminya. Banyak juga yang melayat karena jenazah merupakan tokoh masyarakat. Keesokan harinya, baru diketahui bahwa yang bersangkutan meninggal akibat COVID-19.  

Hal seperti itulah yang hendak dicegah Anies. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu tidak mau kelalaian pemerintah dan otoritas kesehatan --yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian COVID-19-- menjadi penyebab corona merenggut nyawa lebih banyak orang.

“Pemulasaraan dan pemakaman dengan protap COVID-19, artinya ini mungkin mereka-mereka yang belum sempat dites, karena itu tidak bisa disebut positif. Atau sudah dites tapi belum ada hasilnya kemudian wafat. Ini menggambarkan situasi di Jakarta terkait dengan COVID-19 amat mengkhawatirkan,” kata Anies saat memberikan keterangan pers di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (30/3) lalu.

Baca Juga: Plintat-Plintut Istana Perangi Virus Corona

Permintaan pelayanan pemulasaraan jenazah dengan protap COVID-19 melonjak

Bahaya Mengancam di Balik Simpang Siur Data Virus CoronaIlustrasi penanganan jenazah COVID-19. IDN Times/Arief Rahmat

Semakin hari, jumlah jenazah yang dimakamkan dengan Protap COVID-19 terus bertambah. Pihak yang sepenuhnya berwenang untuk menetapkan cara pemulasaraannya adalah rumah sakit. Artinya, tidak semua orang yang meninggal di tengah pandemik virus corona harus dikebumikan dengan kain kafan berlapis plastik.

Pasien dalam pengawasan (PDP) atau mereka yang memiliki gejala flu, demam tinggi, pneumonia atau infeksi paru-paru basah, dan memiliki riwayat kontak langsung dengan penderita positif virus corona, kemudian meninggal tiba-tiba, juga dimakamkan dengan protap COVID-19.

Dinas Bina Marga Jakarta membuka lahan baru seluas 7.141 meter persegi di TPU Pondok Ranggon untuk menghadapi lonjakan pemulasaraan jenazah yang dianggap terinfeksi virus corona.

“Kami terima order dari dinas kesehatan, yang mengirimkan ambulans untuk membawa jenazah ke TPU. Dinkes dapat order dari rumah sakit rujukan biasanya, “ kata Adi Suhardi, staf administrasi TPU Tegal Alur.

TPU menyiapkan blok pemakaman agak terpisah dari pemakaman lainnya. Areanya dibatasi tali, agar tidak boleh didatangi pengunjung lain kecuali petugas dan keluarga.

Bahaya Mengancam di Balik Simpang Siur Data Virus CoronaIDN Times/Vanny El Rahman

Dari grafik di atas, kita bisa mendapati rata-rata jenazah yang dimakamkan dengan pemulasaraan COVID-19 di Jakarta mencapai 24 jenazah setiap harinya.

Bahaya Mengancam di Balik Simpang Siur Data Virus CoronaIDN Times/vanny El Rahman

Sementara itu, grafik di atas menggambarkan perbedaan angka terkait jenazah yang dimakamkan dengan protap COVID-19 berbanding jumlah kasus meninggal akibat COVID-19 yang diumumkan pemerintah lewat juru bicara COVID-19 setiap harinya. Jika melihat perbedaan angka pada tanggal 6 April 2020, disparitasnya hampir 5 kali lipat.

Sepanjang 25-31 Maret, rata-rata laporan pemulasaraan jenazah mencapai 35 permintaan setiap harinya. Laporan paling signifikan terjadi pada 29 Maret dengan 47 permintaan. Akumulasi selama sepekan mencapai 247 kasus. Pada periode yang sama, total kematian terkonfirmasi corona di Ibu Kota mencapai 50 kasus, dengan angka paling besar adalah 11 kematian pada 30 Maret 2020. Perbedaannya hampir 5 kali lipat.

Memasuki pekan pertama (1-6) April, rata-rata laporan pemulasaraan jenazah mencapai 47 permintaan setiap harinya, akumulasinya mencapai 285 kasus. Jika membandingkan antara pekan pertama April dengan pekan terakhir Maret, perbedaannya cukup signifikan yaitu 38 kasus, itu pun pekan pertama April belum terhitung hari ketujuh.

Untuk periode 1-6 April, jumlah kematian terkonfirmasi corona di DKI Jakarta mencapai 47 kasus. Pelonjakan signifikan terjadi pada 5 April 2020 dengan 24 kasus kematian. Sementara itu, pada tanggal yang sama, laporan pemulasaraan jenazah dengan Protap COVID-19 mencapai 48 permintaan. Jumlahnya beda separuh antara data Pemerintah Pusat dengan fakta pemakaman yang menerapkan SOP menyakit menular di lapangan.

Sulit untuk memprediksi berapa kasus kematian akibat virus yang sudah menginfeksi lebih dari 1,5 juta orang di 209 negara ini. IDN Times mencoba menelusuri data di Jakarta dengan memilah angka-angka di atas berdasarkan dua kategori, yaitu 8 rumah sakit (RS) rujukan virus corona dan 2 TPU yang dikhususkan pemulasaraan jenazah dengan protap penyakit menular.

Sumber data IDN Times adalah Laporan Pelayanan Pemakaman Jenazah Penyakit Menular dari Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Pemprov DKI Jakarta untuk periode 6 Maret-3 April 2020.

Bahaya Mengancam di Balik Simpang Siur Data Virus CoronaIDN Times/Vanny El Rahman

Grafik 1 menggambarkan 141 orang yang meninggal dengan penyakit menular dari 7 RS rujukan COVID-19. Tidak ditemukan pasien meninggal akibat penyakit menular di RS Bhayangkara. Dari 141 orang yang meninggal, ternyata hanya 110 jenazah yang dimakamkan di 2 TPU rujukan virus corona, dengan tambahan 2 dikremasi.

Grafik 2 menggambarkan dua hal, yaitu. Pertama, tidak semua jenazah yang meninggalnya di RS rujukan corona dimakamkan di TPU Tegal Alur serta TPU Pondok Ranggon, meski penyebab kematiannya adalah penyakit menular. Kedua, ada kemungkinan sebagian dari 110 jenazah yang dimakamkan di TPU rujukan belum terdata sebagai kasus positif corona.

Mengapa dikatakan sebagian? Karena data Kementerian Kesehatan dan Pemprov DKI Jakarta hingga 3 April 2020 menunjukkan bahwa corona telah merenggut 98 nyawa. Dengan kata lain, sangat mungkin 12 jenazah lainnya termasuk kasus corona tidak terdeteksi (undetected cases). Jumlahnya tentu bisa menjadi 14 jenazah bila ditambahkan dengan mereka yang dikremasi.

Sebagai keterangan tambahan, data yang diperoleh IDN Times tidak semuanya menuliskan tempat pemakamannya. Dari 141 jenazah, hanya 83 persen yang menuliskan tempat pemakaman.

Kategori kedua, IDN Times memilahnya berdasarkan pemulasaraan jenazah di 2 TPU rujukan. Data di bawah ini tidak terkait apakah pasien meninggal di 8 RS rujukan virus corona atau tidak.

Bahaya Mengancam di Balik Simpang Siur Data Virus CoronaIDN Times/Vanny El Rahman

Grafik di atas menjelaskan bahwa sekitar 427 pasien yang meninggal akibat penyakit menular dimakamkan di 2 TPU rujukan corona. Selisihnya hampir 3 kali lipat dengan jumlah pasien yang meninggal akibat penyakit menular dari RS rujukan corona.

Jika angka-angka di atas dijadikan sebagai prediksi kasus kematian akibat corona yang tidak terdeteksi, maka ada sekitar 12 [jumlah jenazah yang dimakamkan di TPU rujukan corona dari 8 RS rujukan corona - kasus kematian positif corona hingga 3 April] hingga 329 kasus kematian [Jumlah pemulasaraan jenazah dengan Protap COVID-19 di 2 TPU rujukan tanpa memperhatikan distribusi RSnya – kasus kematian positif corona hingga 3 April] yang belum terdata.

Apakah jumlah kematian berdasarkan statistik di atas benar adanya? Untuk tahu apakah jenazah terkonfirmasi corona atau tidak, tentu hanya pemerintah yang bisa menjawab, karena merekalah yang memiliki spesimen pasien.

Kendati begitu, secara faktual, peningkatan pemulasaraan jenazah dengan Protap COVID-19 benar-benar terjadi di lapangan.

“Sehari bisa 7 sampai 8 jenazah. Ada 18 penguburan (dalam waktu satu hari, yaitu pada Minggu 5 April 2020),” kata Yasan.

Baca Juga: [WANSUS] Begini Kata Pejabat WHO Soal Penanganan COVID-19 di Indonesia

Krisis kepercayaan terhadap data pemerintah

Bahaya Mengancam di Balik Simpang Siur Data Virus CoronaPeta Penyebaran Virus Corona hingga Jumat (10/4). gisanddata.maps.arcgis.com/CSSE John Hopkins University

Salah satu penyebab sulitnya mengetahui jumlah kasus positif corona secara pasti adalah rendahnya tingkat pengetesan. Belum lagi prosesnya yang memakan waktu lama karena keterbatasan alat tes polymerase chain reaction (PCR) --metode tes COVID-19 yang dianjurkan WHO karena presisinya mencapai 99 persen-- meski sudah melibatkan 38 laboratorium dari seluruh penjuru Indonesia.

Yang bikin miris, berdasarkan data Worldometers, Indonesia tergolong sebagai negara dengan tingkat pengetesan virus corona terendah di dunia. Sampai 9 April 2020, datanya menunjukkan baru 14.354 orang yang sudah dites atau sekitar 52 orang per 1 juta warga. Sebagai negara dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta jiwa, termasuk yang paling banyak di dunia, angka tersebut tentu sangat ironis.

Angka di atas tidak jauh berbeda dengan klaim Yuri yang mengatakan bahwa pemerintah telah memeriksa 16.500 spesimen hingga Kamis (9/4) kemarin.

Untuk melihat tingkat pengetesan di Indonesia, mari kita bandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara.

  • Vietnam : Total tes 110.124 (1.131/1 juta penduduk)
  • Thailand: Total tes 71.860 (1.030/1 juta penduduk)
  • Singapura: Total tes 65.000 (11.110/1 juta penduduk)
  • Malaysia: Total tes 58.240 (1.799/1 juta penduduk)
  • Filipina: Total tes 24.500 (224/1 juta penduduk)
  • Brunei Darussalam: Total tes 8.845 (20.218/1 juta penduduk)
  • Kamboja: Total tes 5.768 (345/1 juta penduduk)
  • Laos: Total tes 781 (107/1 juta penduduk)
  • Myanmar: Total tes 1.246 (23/1 juta penduduk)

Sebagai tambahan informasi:

  • Korea Selatan: Total tes 477.304 (9.310/1 juta penduduk)
  • Amerika Serikat: Total tes 2.172.976 (6.565/1 juta penduduk)
  • Italia: Total tes 807.125 (13.349/1 juta penduduk)
  • Jerman: Total tes 918.460 (10.962/1 juta penduduk)
  • Iran: Total tes 211.136 (2.514/1 juta penduduk)

Di Asia Tenggara, Indonesia hanya berada satu tingkat di atas Myanmar, bahkan tidak lebih baik dari Laos dan Kamboja. Kuantitas tesnya sangat jauh tertinggal dari Korea Selatan, sebagai negara yang digadang-gadang berhasil mengatasi pandemik COVID-19.

Ironisnya, di tengah situasi seperti itu, Presiden Republik Indonesia Joko “Jokowi” Widodo justru menggarisbawahi posisi negara ini yang tidak tergolong 10 besar kasus COVID-19 terbanyak.   

Berdasarkan data yang dihimpun John Hopkins University per 9 April 2020 pukul 02.20 WIB, sebaran terinfeksi virus corona di berbagai negara adalah sebagai berikut:

  1. Amerika Serikat: 404.352 kasus
  2. Spanyol: 146.690 kasus
  3. Italia: 139.422 kasus
  4. Prancis : 113.951 kasus
  5. Jerman: 110.483 kasus
  6. Tiongkok: 82.809 kasus
  7. Iran: 64.586 kasus
  8. Inggris: 61.471 kasus
  9. Turki: 38.226 kasus
  10. Belgia: 23.403 kasus

"Ini perlu disampaikan mengenai 10 negara dengan kasus tertinggi. Biar kita semua memiliki gambaran bahwa penyakit ini tidak hanya di Indonesia. Biar publik memiliki wawasan bahwa sekarang ini sudah 207 negara yang terdampak. Itu mungkin perlu atau setiap hari, setiap dua hari harus ada yang menyampaikan. Tetapi sekali lagi itu bukan dari kita,” kata Jokowi ketika membuka rapat kabinet pada Senin, 6 April 2020 kemarin.

Jokowi mengabaikan dua fakta, yaitu: jumlah kasus positif selaras dengan angka pengetesan menggunakan metode PCR yang sangat minim. Kemudian, tingkat kematian (case fatality rate) Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia. Per Rabu (8/4) tingkat kematiannya mencapai 8,1 persen, hampir dua kali lipat dari akumulasi global yaitu 5,9 persen.

Di antara dampak pengetesan yang sedikit dan berlarut-larut untuk mendapatkan hasilnya adalah kasus kematian yang tidak diketahui penyebabnya. Bisa jadi lebih buruk lagi, sebagaimana sudah banyak terjadi, konfirmasi positif COVID-19 baru diketahui setelah yang bersangkutan meninggal dunia.

Bahaya Mengancam di Balik Simpang Siur Data Virus CoronaSesudah prosesi pemakaman petugas menyemprotkan disinfektan di sekitar area. (IDN Times/Candra Irawan)

Selama ini, pemerintah baru menggalakkan uji permulaan (screening test) melalui tes cepat (rapid test) dengan darah sebagai spesimennya. Sayangnya, presisi tes ini hanya 70 persen dengan kemungkinan false negative dan false positive.

Artinya, bila hasil tes menunjukkan positif, maka pasien harus dites ulang dengan metode PCR. Bila hasil menunjukkan negatif, maka pasien harus menunggu beberapa hari lagi untuk menjalani tes ulang. Hingga hari pengetesan kedua tiba, pasien harus harus mengisolasikan diri (self-isolation) di kediamannya.

Akhirnya, simpang siur data tes virus corona menyebabkan perbedaan data antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah ihwal kasus positif hingga kasus kematian. Yuri pun tidak bisa menampik fakta bahwa data yang dia pegang belum tentu sama dengan data Pemerintah Daerah.

“Begitu dia (daerah) melakukan pemeriksaan hasilnya dikirim ke pusat. Pusat rekap dengan data besar disertai identitas lengkap. Nah, pada saat tracing dia (daerah) akan menemukan kasus yang dicurigai, mereka mengatakan ODP, PDP. Data ini yang kemudian simpang siur sehingga datanya tidak sama,” kata Yuri kepada IDN Times, Rabu (1/4).

Alumni kedokteran Universitas Airlangga itu menambahkan, “Misal angka kematian, data kita berbasis pada hasil konfirmasi positif (berdasarkan tes PCR). Kalau kemudian pasien meninggal, ini jadi satu pasien meninggal. Tapi di daerah ada orang yang meninggal, hasil lab-nya belum keluar, akhirnya jadi ragu-ragu karena apa. Paling gampang meninggal karena COVID-19. Jadi di daerah meninggal dua, di pusat meninggal satu.”

Kabar baiknya, alat tes PCR yang dipesan dari Roche Swiss sudah tiba di Indonesia. Berdasarkan keterangan Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, rencananya alat ini mulai beroperasi sejak Senin (13/4) mendatang.

Kalau semuanya berjalan normal, kapasitas alat ini mampu menguji 9 ribu hingga 10 ribu spesimen setiap hari. Jika semula tes PCR memakan waktu 1-2 hari, alat ini diklaim bisa memangkas waktunya hingga 2,5 jam. Sehingga, ditargetkan 300 ribu spesimen bisa diuji setiap bulannya.

Berdasarkan pengalaman di negara lain, kenaikan jumlah yang dites akan diikuti jumlah terinfeksi positif. Jika infrastruktur dan penanganan kesehatannya tidak memadai juga, maka  besar kemungkinan jumlah yang meninggal dunia membengkak pula.

Ini beban berat yang harus dijalani Yayan, Yasan dan kawan-kawannya. Mereka, para petugas penggali kuburan ini layak disebut sebagai garda terdepan (frontliners), karena menanggung risiko terpapar jika tidak disiplin memenuhi protap pemulasaraan jenazah.

Tidak heran, mereka berharap badai pandemik segera berlalu. Dengan gaji setara upah minimum regional (UMR), mereka  dipaksa bekerja lembur hampir setiap hari. Belum lagi tekanan batin yang ia rasakan kadang tidak setara dengan jerih payahnya. Betapa tidak, Yayan kerap mendapat stigma buruk dari tetangganya setelah menghabiskan waktu seharian di TPU Tegal Alur.

“Tetangga kita mungkin ada rasa takut, sebagai orang awam terhadap virus ini, kita juga takut. Cuma ini pekerjaan kita,” ungkap dia.

“Untuk sekarang saya hanya minta didoakan terus sama seluruh rakyat Indonesia, mudah-mudahan tukang gali kubur seperti kami sehat terus. Jadi kami bisa kasih yang terbaik buat orang yang sudah meninggal dunia,” demikian sebait harap dan doa dari Yayan.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Cukup dengan berdiam diri di rumah, maka kita sudah membantu tugas Yayan dan kawan-kawan untuk tidak menggali kubur lebih banyak.

Laporan gabungan: Vanny El Rahman, Uni Lubis, Chandra Irawan, dan Gregorius Aryodamar

Baca Juga: Virus Corona: Robohnya Infrastruktur Kesehatan di Negeri Kita

https://www.youtube.com/embed/_UaGd_wwMmY

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Umi Kalsum
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya