Belum Punya Kurva Epidemi, Pemerintah Jangan Longgarkan PSBB

Ada rencana warga usia 45 tahun ke bawah boleh kerja lagi

Jakarta, IDN Times - Ketika karantina wilayah atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sedang galak-galaknya, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan yang kontra-produktif dengan mengizinkan warga berusia 45 tahun ke bawah untuk kembali beraktivitas.

Menurut Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo, kebijakan itu diambil sebagai langkah meminimalisasi agar angkatan kerja di usia produktif tidak kehilangan mata pencahariannya.

“Kelompok ini kami beri ruang untuk beraktivitas lagi, sehingga potensi terkapar karena PHK (pemutusan hubungan kerja) akan bisa kami kurangi,” kata Doni yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada video konferensi pers, Senin (11/5) kemarin.

Pemilihan usia 45 tahun ke bawah berlandaskan data pemerintah bahwa mereka tidak tergolong kelompok yang rentan terpapar virus corona. Doni meyakini, imunitas kelompok usia 45 tahun ke bawah ini masih sangat bagus, sehingga mereka tidak akan mudah terjangkit COVID-19.

“Mereka secara fisik sehat, punya mobilitas tinggi, dan rata-rata, kalau toh mereka terpapar, mereka belum tentu sakit, mereka tidak ada gejala. Saat ini seluruh bangsa di dunia telah berupaya keras menjaga keseimbangan tidak ada masyarakat yang terpapar virus, tetapi juga tidak ada yang terpapar karena PHK,” sambung dia.

Baca Juga: Warga di Bawah 45 Tahun Boleh Bekerja untuk Bantu Stabilitas Ekonomi

1. Presiden Jokowi wanti-wanti rencana relaksasi PSBB

Belum Punya Kurva Epidemi, Pemerintah Jangan Longgarkan PSBBDok. Biro Pers Kepresidenan

Tak pelak kebijakan ini memicu kontroversi. Sebab, pemerintah dianggap belum bisa mengendalikan penyebaran virus corona yang telah menewaskan 991 warga Indonesia per Senin (11/5) kemarin.

Salah satu bukti belum siapnya pemerintah merelaksasi PSBB adalah kekecewaan Presiden Jokowi terhadap kapasitas uji polymerase chain reaction (PCR), yang masih jauh dari ekspektasi.

“Saya baru mendapatkan laporan bahwa kemampuan pengujian spesimen untuk PCR sekarang ini sudah mencapai 4.000 sampai 5.000 sampel per hari. Saya kira ini masih jauh dari target yang saya berikan, yaitu 10.000 spesimen per hari," kata Jokowi.

Dia menambahkan, "Saya lihat, terutama kesiapan SDM yang terlatih, ini perlu lebih diperhatikan lagi. Juga yang berkaitan dengan masalah alat pengujian yang masih kurang, terutama untuk reagen PCR, RNA, dan VTM, saya minta diselesaikan minggu ini.”

Sengkarut komunikasi politik di jajaran elite kembali terlihat setelah Jokowi mengingatkan jajarannya untuk berhati-hati dalam memberikan pelonggaran PSBB. Melalui rapat terbatas kabinet pada Selasa (12/5), mantan Gubernur DKI Jakarta itu berharap apa pun keputusan terkait COVID-19 harus dilandasi data lapangan, salah satunya adalah evaluasi dari sejumlah daerah yang telah menerapkan PSBB.

“Kita ingin ada evaluasi yang detail pada provinsi, kabupaten, dan kota mengenai data tren penambahan atau penurunan kasus positif baru di setiap daerah yang menerapkan PSBB maupun tidak. Ada daerah yang penambahan kasus barunya mengalami penurunan gradual, konsisten tapi tidak drastis. Ada juga yang penambahan kasusnya turun tapi belum konsisten. Hal-hal seperti ini harus digarisbawahi, ada apa?” katanya.

2. WHO beberkan syarat kondisi yang memungkinkan pelonggaran lockdown

Belum Punya Kurva Epidemi, Pemerintah Jangan Longgarkan PSBBDirektur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. Foto diambil dari media sosial. twitter.com/DrTedros

PSBB atau di beberapa negara menyebutnya sebagai lockdown, merupakan langkah yang efektif untuk menekan penyebaran COVID-19. Negara-negara yang terlebih dahulu menerapkannya seperti Italia, Jerman, Korea Selatan, dan Tiongkok, sudah mulai melonggarkan kebijakan lockdown.

Terkait restriksi ruang gerak, Indonesia tergolong terlambat. DKI Jakarta sebagai provinsi dengan jumlah kasus positif COVID-19 terbanyak di Indonesia, baru menerapkan PSBB pada 10 April 2020 lalu. Ketika rencana itu diumumkan pada 7 April 2020, sudah ada 141 orang yang meninggal imbas virus ini.

Dirjen World Health Organization (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyadari bahwa lockdown/karantina wilayah/PSBB adalah ujian berat bagi banyak negara. Di DKI Jakarta misalnya, indikasi peningkatan tunawisma mulai terlihat imbas kehilangan pekerjaan. Meski situasinya tidak menguntungkan, Tedros berharap kebijakan yang diambil pemerintah harus berorientasi terhadap keselamatan nyawa.

“Beberapa negara dan masyarakat berhasil bertahan selama beberapa minggu dari restriksi ekonomi dan sosial. Beberapa ada yang mulai mempertimbangkan untuk menghentikan pembatasan tersebut, sementara lainnya ada yang baru menerapkannya. Keduanya harus dilandasi atas kepentingan kesehatan masyarakat,” kata dia saat konferensi pers, Selasa (12/5).

Lebih lanjut, mantan Menteri Kesehatan Ethiopia itu membeberkan enam kondisi yang  harus dipertimbangkan setiap negara ketika hendak menyudahi atau melonggarkan lockdown.

  1. Negara sudah bisa mengendalikan transmisi virus
  2. Kapasitas kesehatan yang ada sudah dipastikan bisa melakukan pendeteksian, pengetesan, isolasi, dan perawatan
  3. Negara bisa menekan risiko dari virus
  4. Harus ada langkah-langkah pencegahan di tempat kerja, sekolah, dan fasilitas publik lainnya
  5. Risiko dari kegiatan importasi bisa dikendalikan
  6. Masyarakat sudah teredukasi dan bisa menyesuaikan diri dengan kondisi “new normal”

Dengan demikian, sambung Tedros, secara garis besar negara bisa menjawab tiga pertanyaan ini, “apakah epidemik sudah bisa dikendalikan? Apakah sistem kesehatannya memadai? Apakah sistem pengawasannya bisa melakukan penelusuran dan pengandilan kasus?” tulisnya melalui akun Twitter @DrTedros pada, Selasa (12/5) pukul 02.10 WIB.

3. Indonesia belum memiliki kurva epidemi

Belum Punya Kurva Epidemi, Pemerintah Jangan Longgarkan PSBBIlustrasi Corona (IDN Times/Arief Rahmat)

Segudang rekomendasi yang Tedros paparkan bisa diaplikasikan jika setiap negara memiliki kurva epidemi. Sayangnya, di tengah situasi Indonesia yang tidak memiliki kurva epidemi, pemerintah justru berencana melonggarkan PSBB.

Ironi lainnya adalah pemerintah yakin bahwa PSBB berdampak terhadap pelambatan transmisi virus corona di DKI Jakarta. Padahal, sekali lagi ditekankan, Indonesia belum memiliki kurva epidemi.

“Alat visualisasi standar untuk menjelaskan perlambatan ini (virus corona) adalah kurva epidemiologis. Masalah utamanya, sudah 68 hari setelah kasus pertama COVID-19 diumumkan, Indonesia belum menampilkan kurva epidemi COVID-19 yang sesuai dengan standar ilmu epidemiologi,” demikian tulis Iqbal Elyazar bersama rekan-rekannya, sebagaimana dipublikasikan oleh The Conversation, Jumat (8/5) kemarin.

Menurut penulis, kurva yang selama ini ditunjukkan oleh pemerintah hanya menampilkan peningkatan kasus harian. Padahal, jumlah kasus konfirmasi tambahan tidak sama artinya dengan jumlah kasus baru.

Kurva epidemi mengharuskan pemerintah untuk menampilkan kapan seseorang mulai terinfeksi COVID-19, kapan gejalanya mulai keliatan, hingga kapan sampelnya diambil. Dengan demikian, pemerintah bisa memprediksi kapan puncak dari pandemik ini sekaligus mengevaluasi apakah kebijakan yang diambil sudah berdampak positif.

Ketiadaan kurva epidemi menandakan pemerintah yang belum transparansi dalam membeberkan data seputar virus corona. Tanpa data atau alat ukur yang valid dan akurat, kebijakan yang akan diambil cenderung berakhir blunder.

“Sudah saatnya pemerintah Indonesia mengeluarkan kurva epidemi. Data tersebut sudah tersedia di rekam medis, sistem informasi fasilitas kesehatan. Pemerintah perlu terbuka dan transparan menyampaikan data jumlah pemeriksaan PCR dan lamanya waktu pemeriksaan untuk setiap provinsi untuk menaikkan kepercayaan publik terhadap kurva epidemi yang dikeluarkan pemerintah,” demikian tulis Iqbal sebagai bentuk harapannya.

Sebagai catatan tambahan, jika usia 45 tahun ke bawah diberi kelonggaran untuk beraktivitas semasa pandemik dengan alasan daya tahan tubuh yang bagus, maka pemerintah seharusnya melihat data kasus positif berdasarkan usia sebagaimana tertuang dalam corona.jakarta.go.id.

Untuk kasus DKI Jakarta, ternyata ada 2.875 penderita corona yang berusia 49 tahun ke bawah. Angka itu lebih tinggi daripada penderita corona yang berusia 50 tahun ke atas, yaitu 2.188. Perbandingan antara dua rentan usia tersebut adalah 1 (kelompok 50 tahun ke atas): 1,3 (kelompok 49 tahun ke bawah).

Hal ini berarti usia muda atau angkatan kerja produktif tidak menjamin imunitas yang mereka miliki terbebas dari SARS-CoV-2. Data di atas juga bisa dibaca, setiap ada 3 orang penderita corona yang berusia 50 tahun ke atas, maka ada 4 orang penderita corona yang berusia 49 tahun ke bawah. 

Dalam situasi seperti itu, apakah pemerintah tetap melonggarkan PSBB bagi kelompok usia 45 tahun ke bawah demi mencegah PHK?

Baca Juga: Pemerintah: Warga di Bawah 45 Tahun Boleh Bekerja Lagi

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya