Biografi Solichah, Ibu Presiden Gus Dur Single Parent dengan 6 Anak

Saat berusia 30 tahun, Solichah sudah 2 kali ditinggal suami

Jakarta, IDN Times - “Sebagai single parent, ibu telah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Ibu memiliki kekuatan seorang laki-laki dan kelembutan seorang perempuan. Dia juga ibu bagi orang banyak. Dia ibu yang nyaris sempurna,” ungkap Salahuddin Wahid, mengenang ibunya, Solichah, sebagaimana tertuang dalam buku 'Ibu Indonesia dalam Kenangan' karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto.
 
Solichah, yang juga ibu dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid  atau Gus Dur, lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 11 Oktober 1922. Ibunya, Noer Khodijah, merupakan keturunan ulama besar dari pondok pesantren di Tambakberas. Adapun ayahnya, Bisri Syansuri, adalah ulama dari pesantren di Lasem. Masa gadis hingga remajanya dihabiskan di lingkungan pesantren Denanyar.
 
Tumbuh dengan nilai-nilai keislaman ternyata tidak mengekang kepribadian serta pola pikir Solichah menjadi pribadi yang kolot. Sebaliknya, dia merupakan figur yang progresif. Tatkala perempuan masih tabu berjuang di ranah politik, Solichah malah terpilih menjadi anggota parlemen lebih dari tiga periode. Begitu pula di ranah sosial, Solichah merupakan sosok penting di balik eksistensi Muslimat Nahdlatul Ulama (NU).
 
Sebagai seorang ibu, dia berhasil menjadikan meja makan sebagai ruang dialektika. Gus Solah, sapaan akrab Salahuddin Wahid, kerap mendapati ibunya silang pendapat dengan anak-anaknya. Satu contoh, Solichah sempat mengeluh tentang Syiah kepada Lily Chodidjah, salah satu anaknya. Alih-alih mengiyakan keluhan sang ibu, Lily justru menjawab sebaliknya.
 
“Menurut saya, Syiah itu adalah kelompok ahlul bait yang ibadahnya mungkin lebih baik dari pada kita-kita. Hanya ada satu masalah, yaitu masalah politik yang mendasari perbedaan kita dengan mereka,” kata Lily.
 
Sebagai seorang ning, sebutan anak perempuan keturunan kiai, bukan berarti hidup Solichah serba mudah. Ketika berusia 15 tahun, dia telah menyandang status janda dengan usia perkawinan yang tidak lebih dari satu tahun.

Pada perkawinan keduanya, suami Solichah juga lebih dulu meninggal akibat kecelakaan. Solichah harus membesarkan anak-anaknya seorang diri sebagai seorang ibu dan sekaligus harus menghidupi keluarganya bak seorang ayah. Meski diterpa beragam ujian, pada akhirnya dia berhasil membesarkan seluruh anaknya menjadi tokoh bangsa.

Baca Juga: Wanita Tangguh Tuti Marini Puspowardojo, Biografi Ibu Presiden Habibie

1. Solichah tumbuh sebagai sosok yang egaliter

Biografi Solichah, Ibu Presiden Gus Dur Single Parent dengan 6 AnakRumah tempat Solichah dilahirkan dan dibesarkan (Buku "Ibu Indonesia dalam Kenangan"/Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk., 2004)

Solichah kecil lebih sering berinteraksi dengan santri dan para pengasuh di pesantren. Masa kecilnya terbilang penuh dengan privilage. Masyarakat masa itu memandang kiai beserta keluarganya sebagai pembawa berkah. Hal itulah yang menyebabkan masa kecil Solichah penuh kasih sayang, bukan hanya dari keluarga, tapi juga santri, teman-teman, dan tetangganya. Membuat seorang ning senang juga bagian dari mencari berkah.  
 
Pengalaman dan aktivitas di pesantren membentuk karakter pemimpin Solichah. Dengan prinsip keislaman yang diajarkan kepadanya, dia mampu menempatkan kedudukan “terhormatnya” tanpa merendahkan orang lain. Solichah sangat egaliter, tidak melihat latar belakang untuk bergaul dengan seseorang.
 
Sama seperti santri perempuan lainnya, Solichah tidak boleh mengenakan pakaian seperti nonik dan nyonya Belanda. Dia dituntut untuk menggunakan pakaian warisan tradisional para leluhur, yaitu kebaya dengan selembar kain yang menutupi kepalanya. Solichah juga dilarang memotong pendek rambutnya bak nyonya landa dan tacik kala itu.
 
Untuk kesenian, karena hidup di pesantren, Solichah lebih menggemari membaca salawat serta dibaan dengan lantunan hadrah daripada aneka musik dengan keroncong dan gamelan. 
 
Masa remaja Solichah dipenuhi kegelisahan akibat eskalasi Perang Dunia II. Pada fase ini dia memahami betapa pentingnya hidup yang berorientasi pada kebahagiaan sejati, yaitu memperoleh kebahagiaan di akhirat. Solichah melihat tujuan dari para kolonial adalah kebahagiaan di dunia, berorientasi pada harta dan kekuasaan, makanya mereka serba kekurangan.
 
Suasana itulah yang membentuk kultur “gak elok” bagi perempuan untuk menempuh pendidikan umum. Satu-satunya alternatif pendidikan tingkat lanjut bagi perempuan adalah pesantren. Hal ini pula yang menyebabkan Solichah tidak memiliki riwayat pendidikan formal. Masa remajanya dihabiskan untuk mendalami nilai-nilai agama.

2. Usia pernikahan yang sangat singkat

Biografi Solichah, Ibu Presiden Gus Dur Single Parent dengan 6 AnakSosok Solichah (Buku "Ibu Indonesia dalam Kenangan"/Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk., 2004)

Solichah, yang juga memiliki nama lain Munawaroh, menikah pada usia 14 tahun dengan Abdurrohim, lelaki pilihan Kiai Hasyim Asy’ari, ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Abdurrohim merupakan putra dari Kiai Cholil dari Malang.
 
Pada masa itu, pernikahan dengan sistem perjodohan adalah hal lumrah. Adapun pertimbangan untuk menentukan pasangan hidup bagi anaknya adalah nasab atau keturunan, bukan harta atau jabatan. Di sisi lain, salah satu bentuk ketundukan terhadap kiai adalah meminta yang bersangkutan untuk memilihkan calon suami untuk anaknya.
 
Solichah yang tidak mempertanyakan pilihan Kiai Hasyim itu langsung menikah dengan Abdurrohim pada bulan Rajab, sekitar tahun 1936. Namun sayang, pada bulan Sya’ban di tahun yang sama, Abdurrohim meninggal dunia. Selepas ditinggal suami, Solichah diminta kembali ke Denanyar untuk menjalani masa iddah.

3. Menikah lagi dengan Wahid Hasyim

Biografi Solichah, Ibu Presiden Gus Dur Single Parent dengan 6 AnakFoto bersama Solichah bersama dengan anak-anaknya (Buku "Ibu Indonesia dalam Kenangan"/Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk., 2004)

Selang beberapa tahun, Solichah Kembali diperkenalkan dengan laki-laki yang sarat nilai-nilai pesantren. Berbeda dengan suami pertamanya, Kiai Bisri kali ini mengizinkan anaknya untuk berkenalan dengan calon suaminya dan diberi keleluasaan untuk menentukan pilihannya. Sosok yang akan menikahi Solichah adalah Wahid Hasyim, putra kandung Kiai Hasyim Asy’ari.
 
Wahid bertemu dengan Solichah ketika ta'ziyah atas wafatnya Nyai Hanifah di Desa Ngeedang, desa tetangga Denanyar. Bermula dari pandangan pertama, Wahid memberanikan diri untuk menemui Kiai Bisri dengan tujuan melamar anaknya. Solichah yang diberi tahu ayahnya hanya diam. Dalam pandangan masyarakat Jawa, seorang perempuan yang diam ketika dimintai tanggapan atas lamaran bermakna setuju. 
 
Pernikahan mereka diselenggarakan pada 10 Syawal 1356 Hijriah atau 1938 Masehi. Keganjilan terjadi menjelang prosesi pernikahan. Ketika rombongan pengiring telah berkumpul di Pesantren Tebuireng menunggu kedatangan pengantin, ternyata Wahid malah pergi sendirian mengendarai mobil ke Denanyar. Kala itu dia mengenakan kemeja lengan pendek, bersarung tanpa sabuk, dan mengenakan kopiah, selayaknya pakaian salat sehari-hari.
 
Di tengah penantian, rombongan pengiring justru mendapat kabar bahwa Wahid telah tiba di Denanyar. Rombongan tersebut segera bertolak ke Denanyar, namun begitu mereka sampai, pesta pernikahan sudah hampir usai. Solichah menikah dengan Wahid saat berusia 16 tahun.
 
Mereka menikmati tempat tinggal yang mondar-mandir antara Denanyar dan Tebuireng. Di awal pernikahan, Solichah masih sering mampir ke Denanyar untuk mengajar santri perempuan dan adik-adiknya pada hari Jumat. Sementara, selama di Tebuireng, Solichah hanya sibuk mengurusi rumah tangga karena pesantren tersebut tidak menampung santri perempuan.
 
Solichah dikabarkan sempat tertekan karena mertuanya yang serba mengatur, terlebih perkara makanan. Mertuanya selalu mencicipi makanan yang dimasak oleh Solichah sebelum disajikan di meja. Solichah sempat sulit beradaptasi dengan budaya keraton yang melekat pada mertuanya.
 
Dari perkawinan ini, mereka dikaruniai enam orang anak, empat laki-laki dan dua perempuan. Mereka adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Siti Aisyah, Salahuddin Wahid atau Gus Sholah, Moh Umar, Lily Khadijah, dan M. Hasyim atau Gus Im. 
 
Ketika melahirkan anak pertamanya, Solichah menghendaki agar Gus Dur meniru jejak ibunya dengan lahir di Denanyar. Perkara inilah yang menenangkan psikologi Solichah karena anak pertamnya dibesarkan oleh ibunya sendiri.

4. Perjuangan sebagai single parent

Biografi Solichah, Ibu Presiden Gus Dur Single Parent dengan 6 AnakSolichah mengantarkan putranya Salahuddin Wahid menikah dengan Farida Aifuddin, 8 Februari 1968 (Buku "Ibu Indonesia dalam Kenangan"/Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk., 2004)

Usia perkawinan Solichah dengan Wahid hanya berlangsung 15 tahun, karena pada 18 April 1953 suaminya meninggal dunia karena mobilnya bertabrakan dengan truk di dekat Padalarang. Usia Solichah kala itu baru menginjak 30 tahun. Dia ditinggal bersama lima anaknya dan satu anaknya yang masih di dalam kandungan.
 
Kala itu, Solichah sudah bermukim di Ibu Kota karena suaminya diangkat menjadi Menteri Agama Republik Indonesia untuk periode 1949-1952. Di masa duka, Solichah sempat diminta keluarga untuk pulang ke Denanyar. Dia menolak. Keluarga di Denanyar sempat menawarkan supaya sebagian anaknya dirawat oleh pamannya, tapi dia juga menolak. Solichah tetap gigih untuk mempertahankan keutuhan keluarganya dan mendidik anak-anaknya.
 
Untuk menyambung hidup, dia menjual seluruh barang-barang miliknya. Meskipun Solichah adalah janda mantan menteri, tapi suaminya adalah seorang pejuang, bukan tipe pejabat yang menumpuk harta demi kepentingan pribadi. Solichah bahkan tidak malu untuk berjualan beras ke pegawai Kementerian Agama. Dia juga menjual material bangunan seperti pasir, bambu, dan batu di kawasan Tanjung Priok.
 
Karier politik Solichah terbilang luar biasa. Sejak 1955, dia terpilih sebagai anggota DPRD Jakarta Raya, kemudian anggota DPRGR, anggota DPR mewakili Partai NU pada 1971, dan terpilih Kembali melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk Pemilu 1977 dan 1982. Karier politiknya khatam pada 1987, ketika dia pensiun dari anggota dewan.
 
Ketika terjadi peristiwa G-30 S/PKI, Solichah mendengar banyak tokoh NU muda di Jakarta yang terancam hidupnya. Tanpa pikir panjang, dia menjadikan kediamannya di Taman Matraman Barat No 8 sebagai posko bagi kalangan NU. Selama hampir dua bulan rumahnya menjadi tempat bernaung kader muda NU.
 
Solichah adalah sosok yang enggan mengeluh dengan keadaan yang tidak mendukungnya. Pada satu waktu, Umar Wahid yang merupakan seorang dokter pernah mengeluh karena tugas beratnya sebagai Direktur RSUD di Koja. Dia mengeluh karena peralatan medis maupun manajemennya tidak lebih baik dari RSUD Pasar Rebo, tempatnya bekerja sebagai wakil direktur, dan RS Persahabatan, tempatnya bekerja sebagai dokter ahli paru-paru.
 
Atas saran ibunya, dia mengingatkan Umar agar tidak menghindari tugas yang sudah diberikan kepadanya. Dia juga mengatakan, lebih baik menjadi seorang pemimpin daripada dokter biasa.

Kata dia, “itu adalah tantangan yang harus kamu hadapi dan tunjukkan bahwa kamu bisa menjawab tantangan itu dengan menjadikan RS Koja sebuah rumah sakit yang bagus.”

5. Solichah meninggal pada 1994

Biografi Solichah, Ibu Presiden Gus Dur Single Parent dengan 6 AnakDalam suasana santai dan familiar, Solichah memimpin rapat Muslimat NU (Buku "Ibu Indonesia dalam Kenangan"/Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk., 2004)

Tangan lembut Solichah berhasil mengantarkan seluruh anak-anaknya menjadi tokoh bangsa. Bahkan anak pertamanya, Gus Dur, menjadi Presiden Keempat Republik Indonesia.
 
Solichah meninggal dunia pada Jumat, 29 Juli 1994 sekitar pukul 23.00 WIB di RS Cipto Mangunkusumo. Sebelumnya, dia telah menjalani rawat inap selama 17 hari akibat sakit jantung dan gula.
 
Di hari duka itu, lebih dari 20 ribu pelayat memadati pemakaman Tebuireng-Jombang. Bukan hanya warga Nahdliyin dan Muslimat NU, tapi juga pejabat pemerintahan datang memberikan penghormatan terakhir. Perempuan berujuk “Ibu Umat” itu disemayamkan pada 30 Jui 1994 sekitar pukul 17.20 WIB.

Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalaman unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di saat mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.

Baca Juga: Biografi Soekirah Ibu Presiden Soeharto, Alami Pahit Manis Kehidupan 

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Sunariyah
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya