Bukannya Menjaga, Pemerintah Justru Menjagal Masyarakat Adat

Webinar #MenjagaIndonesia by IDN Times

Jakarta, IDN Times - Mengenakan kemeja hitam lengan panjang dengan balutan kain tenun emas menyilang, Presiden Republik Indonesia Joko “Jokowi” Widodo memasuki pelataran Gedung DPR/MPR. Penampilannya semakin lengkap dengan sarung, sabuk, dan kalung yang juga berwarna emas. Tidak ketinggalan kain yang diikat di kepala menyerupai topi.

Orang nomor satu di Indonesia itu memang pandai mencuri perhatian publik. Kesempatan itu menjadi momen bersejarah, karena baru pertama kalinya presiden mengenakan pakaian adat Sabu, Nusa Tenggara Timur (NTT), 14 Agustus 2020, saat menghadiri Sidang Tahunan MPR yang digelar setiap tahun jelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.

Jokowi memanen pujian dari pendukungnya. Pilihan busana mantan Gubernur DKI Jakarta itu ditafsirkan mulai dari ajakan untuk mencintai produk dalam negeri hingga bukti keberpihakan Jokowi terhadap masyarakat adat.

Ironisnya, sehari setelah perayaan HUT RI ke-75, masyarakat adat Besipae di NTT jadi korban intimidasi. Rumah dari 29 kepala keluarga harus dirobohkan oleh pemerintah setempat karena menolak relokasi dari kawasan hutan Pubabu. Rencananya, hutan tersebut akan digarap sebagai area peternakan, perkebunan, dan pariwisata. Jokowi bungkam.

Tekanan kepada penghuni hutan adat Pubabu sudah terjadi sejak Februari 2020. Perusakan rumah sudah terjadi tiga kali pada Februari, Maret, dan Agustus. Di tengah peliknya situasi, keterhubungan Jokowi dengan NTT sebatas gimik politik belaka. Fungsi Jokowi sebagai pengayom bagi seluruh etnis tidak pernah hadir.

“Gestur Presiden patut kita banggakan, setiap ritual-ritual, upacara di istana, presiden mengenakan baju-baju adat. Ini patut diapresiasi. Tapi, di sisi lain, semakin tahun masyarakat adat semakin sesak. Sejak pemerintahan Jokowi, masyarakat adat justru semakin suram. Sehingga kita susah untuk berkomentar, apakah mengapresiasi atau menangis,” kata Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, dalam webinar #Menjaga Indonesia yang diselenggarakan IDN Times, 18 Agustus 2020.

Webinar dengan tema “75 Tahun Merdeka, Bagaimana Nasib Masyarakat Adat?” itu menghadirkan pembicara Rukka Sombolinggi, tokoh masyarakat Sunda Wiwitan Dewi Kanti Setyaningsih, Ketua Dewan Adat Dayak Penajam Paser Utara Helena Samuel Legi dan aktor Nicholas Saputra.

1. Noktah hitam 75 tahun kemerdekaan Indonesia bagi penghayat Sunda Wiwitan

Bukannya Menjaga, Pemerintah Justru Menjagal Masyarakat AdatDewi Kanti (IDN Times/Wildan Ibnu)

Nestapa juga dirasakan oleh masyarakat Adat Karuhan Urang (AKUR) Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat. Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menyegel pembangunan makam berupa batu satangtung di Curug Go’ong dengan dalih tidak mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB).

Secara sepihak, pemerintah mengategorikan batu yang menjulang tinggi itu sebagai tugu. Di mata pemkab, sekalipun pembangunannya berdiri di atas tanah pribadi, bangun tugu tetap harus memiliki IMB.

Resistensi dari masyarakat sekitar meresahkan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Desa Cisantana khawatir batu satangtung menjadi sumber kemusyrikan.  Mengatasnamakan “kondusivitas lingkungan warga”, mereka mendesak pembangunan situs tersebut dihentikan.

Pernyataan tokoh agama setempat seolah-olah menjustifikasi aksi diskriminatif ratusan anggota organisasi masyarakat (ormas) yang menggeruduk makam tersebut. Alhasil, pembangunan batu satangtung yang merupakan wasiat dari orang tua pemilik tanah harus dihentikan.

Tokoh Sunda Wiwitan Dewi Kanti mengatakan, hak-hak spiritual merupakan bagian dari kehidupan masyarakat adat yang seharusnya dijamin negara. Tanpa adanya regulasi khusus, cukup merujuk pada UUD 1945 dan Pancasila, seharusnya tindakan diskriminatif yang dirasakan AKUR Sunda Wiwitan tidak sepatutnya terjadi.

“Kami yang masih meyakini ajaran leluhur itu rentan sekali didiskriminasi dengan alasan-alasan yang cenderung politis. Ketika hak spiritual yang menjadi dasar jati diri leluhur Nusantara tidak mendapat ruang, maka disanalah pencabutan ruang hidup dan kebudayaan masyarakat adat,” kata Dewi dalam webinar.

Kedudukan penghayat kepercayaan, salah satunya Sunda Wiwitan, terbilang unik di Indonesia. Meski eksistensinya diakui dalam administrasi kependudukan, tapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menjamin penghayat kepercayaan bebas dari tindakan diskriminatif.

“Pasca judicial review UU Adminduk, itu baru menyasar pengadministrasian KTP, tetapi pada persoalan perkawinan, keperdataan kematian, masih bermasalah,” tambah Dewi yang juga Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024.

Dewi hendak mengatakan, negara tidak bisa mengakui hak-hak masyarakat adat secara parsial. Negara harus bisa menempatkan penghayat kepercayaan layaknya penganut enam agama besar lainnya. Keresahannya kian memuncak karena aksi diskriminatif seperti ini terjadi di tengah pandemik COVID-19.

“Masyarakat adat itu tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah keormasan karena dia hidup sebelum Indonesia ada. Pengakuannya tidak seperti ormas yang di-review lima tahun sekali. Stigma ini sudah sekian lama terlembaga. Sehingga pengadministrasian makam saja harus sampai pakai IMB,” papar dia.

Permasalahan ini telah sampai pada meja Komnas HAM dan Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Namun, pada akhirnya, kasus ini membuktikan betapa negara tidak bisa mengambil sikap dalam mendukung hak-hak kelompok minoritas.

“Akhirnya kami dimediasi oleh Komnas HAM juga KSP. Tapi pada gilirannya, memang kembali ke masyarakat harus seolah-olah prosedural. Padahal kalau mau jujur, tidak pernah ada makam itu harus diseragamkan bentuknya,” ungkapnya.

Dewi menambahkan, “ketika persoalan kami itu dipaksakan argumentasinya harus ada IMB dan tidak memberikan ruang kepada kelompok-kelompok yang punya keinginan lain, itu melenceng dari apa yang menjadi amanat konstitusi.”

Baca Juga: 75 Tahun Indonesia Merdeka, Ini Harapan Masyarakat Sunda Wiwitan

2. Menggusur masyarakat adat demi membangun ibukota negara baru

Bukannya Menjaga, Pemerintah Justru Menjagal Masyarakat AdatIlustrasi masyarakat adat tergusur pembangunan di calon Ibu Kota Negara (IDN Times/Arief Rahmat)

Ketidakjelasan sikap pemerintah menyeret masyarakat adat Paser ke dalam jurang anomali. Kawasan mereka bermukim, Penajam Paser Utara (PPU), ditunjuk oleh Jokowi sebagai lokasi ibu kota negara (IKN) yang baru.

Sebagian dari mereka tentu senang karena pembangunan infrastruktur akan digalakkan. Tapi, mereka juga gamang dengan kehidupan di masa mendatang. Hutan yang selama ini menjadi sumber penghidupan akan dibabat habis demi membangun jalan raya, gedung-gedung megah, hingga istana negara.

Isu pemindahan IKN hilang ditelan pandemik. Masyarakat adat Paser semakin khawatir. Hal ini memperlihatkan betapa pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam merancang suatu kebijakan. Jika pemindahan IKN yang anggarannya mencapai ratusan triliun tidak dikawal dengan baik, bagaimana dengan perlindungan masyarakat adat?

“Dengan wacana perpindahan IKN, kami sangat was-was suatu saat kami akan terpinggirkan. Karena sampai saat ini sangat kurang perhatian terhadap masyarakat adat Paser. Satu-satunya harapan kami adalah meminta kepastian hukum, segera RUU Masyarakat Adat disahkan,” kata tokoh masyarakat adat PPU, Helena Samuel Legi.

Jokowi sempat menemui tokoh adat setempat dalam rangka kulo nuwun pemindahan IKN. Sayangnya, kebijakan itu dianggap “gimik” politik belaka. Pertemuan seharusnya berisi dialog, tidak lebih sekadar monolog dari sang tokoh utama. Sekalipun ada satu-dua tanggapan dari tamu undangan, suara itu tidak mewakili masyarakat adat Paser yang terdampak langsung pemindahan IKN.

“Tokoh-tokoh yang bertemu beliau (Jokowi) tidak sepenuhnya mewakili masyarakat yang ada. Memang ada ketua Lembaga Adat Paser (LAP), tapi beliau tidak punya kesempatan berbicara langsung,” Helena menambahkan.

Masyarakat adat Paser tidak pernah dilibatkan dalam perkara substansial. Dalam sayembara desain IKN misalnya. Alhasil, desain IKN yang dimenangkan sama sekali tidak mewakili kepentingan masyarakat adat.

“Kami (bersama ketua LAP) langsung ke Jakarta dan menyampaikan untuk dilibatkan secara langsung dalam setiap proses penyusunan dan perencanaan regulasi. Faktanya, setelah sayembara dilakukan, kami sama sekali tidak ditemui. Nuansa pemenang desain IKN sama sekali tidak memuat kearifan lokal. Jadi kami ya merasa kecewa,” ungkap perempuan yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Adat Dayak PPU itu.

Jangankan sebelum ibu kota dipindahkan, di tengah situasi normal saja banyak hak-hak masyarakat adat yang terbengkalai. Di antaranya, pemerintah daerah dan pusat belum menyetujui pengajuan hutan adat dari suku Paser. Dalam situasi seperti itu, mereka juga harus berhadapan dengan perusahaan besar yang berusaha mencaplok lahan demi lahan hingga pelataran rumah.

“Pemerintah daerah mulai memasukkan muatan lokal bahasa Paser di sekolah. Kemudian Perda bangunan dengan ornamen khas Paser. Selebihnya, untuk hak-hak masyarakat adat sendiri, kami merasa belum tersentuh sama sekali. Masih banyak juga sengketa lahan masyarakat adat dengan perusahaan HGU (hak guna usaha) yang bahkan mencaplok sampai kolong rumah,” tutur Helena.

Baca Juga: Nasib Suku Paser, Penjaga Tradisi di Calon Ibu Kota Negara

3. Alih-alih menjaga, pemerintah dianggap menjagal masyarakat adat

Bukannya Menjaga, Pemerintah Justru Menjagal Masyarakat Adat

Menurut Rukka, satu-satunya solusi di tengah kisruh masyarakat adat adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. Meski pemerintah kerap bersikap kontradiktif, pernyataan tidak sesuai dengan kebijakan, RUU Masyarakat Adat bisa mencegah negara agar tidak berbuat sewenang-wenang.

Semula, sosok Jokowi dengan enam poin Nawacita dikira mampu menghadirkan keberpihakan negara terhadap masyarakat adat. Termasuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang mandek selama lebih dari 15 tahun. Janji Jokowi tinggal janji.

“Satu-satunya angka Presiden Jokowi adalah 30 ribu hektare lebih hutan adat yang sudah diadministrasi KLHK. Itu kecil dibanding 10 juta hektare wilayah adat yang sudah ada di tangan pemerintah,” kata Rukka.

Belum lama ini, pemerintah kembali berurusan dengan masyarakat adat setelah menangkap Effendi Buhing. Dia dituduh melakukan pencurian dan pemerasan terhadap PT Sawit Mandiri Lestari.

Jauh sebelum itu, Rukka sudah mengingatkan bahwa apa yang mereka lakukan adalah mempertahankan wilayah adat yang “direnggut secara sistematis” oleh korporasi besar atas “restu” negara.

“Masyarakat adat tidak ingin berkonflik tetapi terpaksa harus berhadap-hadapan di tengah-tengah ketiadaan perlindungan hukum. Perusahaan besar datang menggunakan kekuatan aparat dan buldoser dengan janji-janji pembangunan,” kata dia.

Celakanya, bahkan di saat pandemik virus corona, pemerintah justru sibuk membahas RUU Cipta Lapangan Kerja, popular disebut Omnibus Law, yang poin-poinnya malah menjagal eksistensi masyarakat adat. Omnibus Law menjadi senjata pemerintah untuk mengiming-imingi masyarakat adat supaya menukar hutannya dengan segudang infrastruktur yang apik.

Secara tegas, Rukka mengatakan bahwa janji-janji pembangunan itu adalah bagian dari janji kosong yang kerap dilontarkan Jokowi.

“Di dalam proses itu (pembangunan) lingkungan rusak, yang ada masyarakat adat menjadi miskin, ada yang terpaksa pergi dari kampung, jadi pengemis di kota, paling maksimal jadi pekerja kasar, jadi buruh. Omnibus Law ini menjagal Indonesia. Tanpa Omnibus Law saja perampasan dan kekerasan sudah banyak terjadi,” paparnya.

4. AMAN: saat pandemik, terbukti masyarakat adat jadi solusi

Bukannya Menjaga, Pemerintah Justru Menjagal Masyarakat AdatMasyarakat Adat Bius Motung menortor saat peresmian Sopo Parguruan, Rabu (11/12)

Rukka mengingatkan, di tengah pandemik COVID-19, masyarakat adat berhasil membuktikan bahwa alam adalah solusi dari segala permasalahan. Mereka tidak mengeluh sekalipun pemerintah melakukan lockdown. Sebab, dari alam, mereka bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Berbanding terbalik dengan perusahaan-perusahaan besar yang justru meminta bantuan dari pemerintah.

“Artinya, perusahaan-perusahaan ini tidak benar-benar mendatangkan kesejahteraan. Mereka malah minta dianakemaskan oleh pemerintah, tapi masyarakat yang justru terancam hidupnya,” ujar dia.

Rukka juga membahas peran masyarakat adat sejak era perjuangan melawan penjajahan. Menghormati masyarakat adat bagian dari menjaga Indonesia. Eksistensinya sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Banyak dari mereka yang bahkan ikut berperang melawan penjajah. Di samping itu, mereka adalah penjaga hutan terakhir. Jika mereka tumbang apalagi punah, kata Rukka, maka jangan mengeluh kalau kita tidak bisa menikmati udara segar.

“Masyarakat adat bukan hanya tentang keberagaman budaya dan hayati. Justru masa depan itu bergantung di masyarakat adat. Publik harus marah karena tidak bisa menikmati udara bersih, karena masyarakat adat yang mencoba menjaga udara bersih diambil haknya,” kata Rukka.

Dia menambahkan, “pandemik ini bukan krisis terakhir. Krisis ini bersamaan dengan krisis buatan manusia, yaitu krisis iklim yang juga akan terjadi di masa depan. Artinya, kita ini sedang berhadapan dengan krisis yang lebih besar. Peran masyarakat adat di mana? Justru merekalah yang menjadi penyangga kita semua, khususnya yang ada di kota.”

5. Nicholas Saputra: kita perlu belajar dari masyarakat adat

Bukannya Menjaga, Pemerintah Justru Menjagal Masyarakat AdatInstagram.com/nicsastr

Publik figur Indonesia, Nicholas Saputra, menilai pandemik COVID-19 sebagai momen tepat untuk mengenal kembali masyarakat adat. Sebab, mereka yang berpegang teguh pada nilai-nilai leluhur terbukti berhasil melewati tantangan yang bahkan sulit dihadapi orang-orang dengan gelimangan harta.

Sayangnya, momentum tersebut berbenturan dengan sulitnya memperoleh informasi yang sahih mengenai masyarakat adat. Tak heran, banyak orang yang menilai masyarakat adat tidak berurusan dengan corona hanya karena mereka berada di pedalaman hutan.

“Masyarakat adat Indonesia besar, banyak, beda-beda gitu ya. Jadi saya rasa bukan gak peduli, cuma kekurangan informasi. Yang paling penting justru bagaimana masyarakat mendapat akses tentang apa itu masyarakat adat, bagaimana adat bekerja menjaga society dan komunitasnya, dan membuatnya menjadi resilient and sustainable,” kata Nicho, aktor yang populer dengan perannya di film Ada Apa Dengan Cinta.

Perjumpaan Nicho dengan masyarakat adat bermula ketika dirinya sibuk menjelajahi belantara Indonesia. Dia menemukan banyak hal yang tidak bisa ditemukan di kota-kota besar. Dari situ, dia menyatakan bahwa masyarakat adat hanya butuh dua hal, pengakuan dan penghormatan.

Masyarakat adat butuh pengakuan karena mereka adalah bagian dari warga negara Indonesia. Artinya, kebijakan negara akan berdampak terhadap kehidupan mereka. Oleh sebab itu, eksistensi masyarakat adat harus menjadi pertimbangan dalam mempertimbangkan suatu kebijakan.

“Kalau buat saya sebenarnya, gak diganggu saja itu sudah cukup. Biarkan masyarakat adat bekerja dengan alamnya sendiri, dengan hukumnya sendiri, dengan tata caranya sendiri. Masyarakat adat punya kedaulatannya sendiri,” tuturnya.

Adapun penghormatan yang dimaksud adalah belajar dari masyarakat adat tentang bagaimana cara mereka bertahan hidup dengan kesederhanaan. Penghormatan bisa dilakukan dengan cara hadir di tengah kehidupan mereka.

Baca Juga: Kemerdekaan Masyarakat Adat, Nicholas Saputra: Turis Jangan Cuma Foto

6. Pariwisata yang bersentuhan dengan masyarakat adat harus mendahulukan kualitas

Bukannya Menjaga, Pemerintah Justru Menjagal Masyarakat AdatWebinar Eps. 8 #MenjagaIndonesia by IDN Times dengan tema "75 Tahun Merdeka, Bagaimana Nasib Masyarakat Adat?" (IDN Times/Besse Fadhilah)

Nicholas Saputra mengharapkan paradigma pariwisata yang bersinggungan dengan masyarakat adat harus diubah. Pariwisata budaya harus mengedepankan kualitas melalui perjumpaan-perjumpaan, bukan kuantitas dengan menggenjot pengunjung sebanyak-banyaknya.

“Tourism ini kebanyakan arahnya berbasis angka, ujung-ujungnya jadi mass tourism. Padahal tidak semua tempat itu punya kapasitas untuk menampung orang. Kalau kita datang ke masyarakat adat cuma foto-foto, tidak ada maknanya. Esensi antara turis dengan masyarakat adat terjadi ketika ada pertukaran informasi, saling belajar dan mengikuti kegiatan,” kata Nicho.

Sependapat dengan Nicho, menurut Rukka sudah saatnya belajar dari masyarakat adat. Terutama generasi muda. Sebagai penerus bangsa, mereka harus sadar bahwa menggali jejak leluhur dan meneladani khazanah budaya adalah bagian dari menjaga Indonesia.

“Indonesia kan gak merdeka dengan membawa tanah dan langit. Itu semua tanah-tanah adat. Indonesia ini dideklarasikan sebagai Republik terus tanahnya dari mana? Wilayah adat kan? Banyak persoalan karena konsepsi-konsepsi Belanda langsung dinasionalisasi dan itu masih bermasalah sampai hari ini,” kata Rukka.

https://www.youtube.com/embed/OWyiKdPmPbM

Baca Juga: Tok! RUU Masyarakat Adat Siap Diparipurnakan sebagai Usulan DPR

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya