[CEK FAKTA] Jokowi Paparkan Data 7 Bulan Tangani COVID-19

Data penting tidak dibahas Jokowi

Jakarta, IDN Times- Presiden Republik Indonesia, Joko “Jokowi” Widodo, duduk sembari melepas masker. Di tengah ruang gelap, cahaya hanya menyoroti Jokowi yang kala itu mengenakan kemeja putih dengan jas biru tua. Tampilan visual dibuat sedemikian rupa agar mata penonton tertuju padanya. Fokus.
 
“Assalammua’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” buka Jokowi dengan salam. Artikulasinya sangat tenang. Bukan tipikal orator.
 
Dalam video berdurasi 7 menit 55 detik itu, presiden menyampaikan perkembangan dan pencapaian Indonesia di tengah pandemik. Video itu bertajuk “Presiden Jokowi: Keseimbangan dan Optimisme, Strategi Penanganan COVID-19”.
 
“Tujuh bulan sudah kita bersama-sama menghadapi pandemik ini, saya paham masih banyak tantangan, namun tidak sedikit yang telah kita kerjakan,” tuturnya.
 
Dia menyambung, “Hasilnya bagaimana? Ini yang terpenting. Mari kita menilai berdasarkan fakta dan data, dan bukan berdasarkan kira-kira. Saya bisa mengatakan, penanganan COVID-19 di Indonesia tidak buruk.”
 
Benarkah data dan fakta yang disampaikan Jokowi itu?  Berikut cek fakta yang kami lakukan.

1. Persentase kesembuhan Indonesia terendah di Asia Tenggara

[CEK FAKTA] Jokowi Paparkan Data 7 Bulan Tangani COVID-19Tangkapan layar persentase kesembuhan nasional [YouTube/Sekretariat Presiden)

Di awal, Jokowi memaparkan tentang persentase kesembuhan nasional berbanding global. Data yang digunakan per 2 Oktober 2020 menunjukkan, 74,9 persen pasien corona di Indonesia berhasil sembuh, lebih tinggi sedikit dari rata-rata global yaitu 74,43 persen. Menempatkan Indonesia sebagai 20 besar negara dengan kesembuhan terbesar versi World O Meters.  Di sini, data Jokowi benar, per saat video ditayangkan pada tanggal 4 Oktober 2020.
 
Sebelumnya, dalam  kesempatan lain, mantan gubernur DKI Jakarta itu membandingkan penanganan pandemik di Indonesia jauh lebih baik dari Amerika Serikat (AS), India, dan Brasil. Indikatornya adalah jumlah kasus. Namun, Jokowi mengabaikan fakta bahwa Brasil dan India merupakan negara dengan persentase kesembuhan terbesar di dunia.
 
Dilansir dari sumber yang sama, tertanggal 3 Oktober 2020, rata-rata kesembuhan di Brasil adalah 86 persen dan India 84 persen. Hanya AS yang berada di bawah Indonesia, yaitu 63 persen.
 
Fakta yang patut disayangkan adalah Jokowi terlalu jauh untuk mengambil contoh. Jika perbandingannya adalah negara-negara Asia Tenggara, maka angka yang dibanggakan Jokowi tidak berarti apa-apa. Persentase kesembuhan Indonesia hanya lebih unggul daripada Myanmar (29 persen). Sisanya? Singapura (99 persen), Kamboja (98 persen), Brunei Darussalam (97 persen), Laos (95 persen), Thailand (94 persen), Vietnam (93 persen), Malaysia (85 persen), dan Filipina (80 persen).
 
Menanggapi data di atas, sosiolog Nanyang Technological University (NTU) Sulfikar Amir menyayangkan pendekatan yang digunakan pemerintah adalah kuratif alih-alih preventif. Tingkat kesembuhan lebih bergantung pada sejauh mana individu mampu bertahan dari SARS-CoV-2 yang bersarang di tubuhnya, daripada peran pemerintah.
 
“Tingkat kesembuhan ini tidak ada urusannya dengan upaya pemerintah. Ketika bicara pandemik, angka yang harusnya dilihat bukan yang sembuh, tapi yang kena. Tidak bisa dijadikan indikator kalau situasi pandemik di Indonesia relatif baik hanya dengan melihat kesembuhan,” kata dia melalui akun YouTube SOCIOTALKING, Senin (5/10/2020).

Baca Juga: [UPDATE] 1 Juta Lebih Warga Dunia Meninggal Dunia Akibat COVID-19

2. Bisakah Indonesia bangga dengan rendahnya jumlah kasus dan kematian?

[CEK FAKTA] Jokowi Paparkan Data 7 Bulan Tangani COVID-19Tangkapan layar data COVID-19 [YouTube/Sekretariat Presiden)

Jokowi kemudian membanggakan fakta bahwa Indonesia menempati peringkat ke-23 sebagai negara dengan jumlah kasus corona terbanyak, yaitu 295.499 kasus. Menurut dia, untuk mendapatkan gambaran utuh situasi COVID-19 di Indonesia, harus dibandingkan dengan negara besar lainnya.

“Indonesia jauh lebih baik ketimbang negara-negara lain dengan jumlah penduduk besar. Kalau Indonesia dibandingkan dengan negara kecil yang penduduknya sedikit, tentu perbandingan seperti itu tidak bisa menggambarkan keadaan yang sebenarnya,” kata Jokowi.
 
Pada saat yang sama, terlihat lima negara dengan kasus terbanyak, ditambah Indonesia, yaitu AS (7.495.136 kasus), India (6.397.896 kasus), Brasil (4.849.229 kasus), Rusia (1.194.643 kasus), dan Indonesia (295.499 kasus).
 
Begitu pula dengan angka kematian, Indonesia menempati peringkat ke-23 dengan 10.972 kasus. Negara pembandingnya relatif sama, yaitu AS (212.665 kematian), Brasil (144.767 kematian), India (99.833 kematian), Meksiko (78.078 kematian), dan Inggris (42.202).
 
Epidemiolog Universitas Griffith, Dicky Budiman mengingatkan, menilai jumlah kasus dan kematian corona di suatu negara harus berdampingan dengan kapasitas testing-nya. “Kapasitas testing-nya belum mumpuni di sini (Indonesia),” kata Dicky kepada IDN Times.
 
Harus dilihat pula bagaimana kebijakan penetapan kasus kematian corona. “Di AS oleh CDC (Pusat Pecegahan dan Pengendalian Penyakit) bila meninggal namun probable case (terduga) tetap dimasukkan karena COVID-19,” tambah dia.
 
Dari sumber yang sama, ternyata Indonesia berada di peringkat ke-24 sebagai negara dengan jumlah tes terbanyak. Bagaimana dengan empat negara yang disebutkan Jokowi? Sangat jauh, AS peringkat dua (110.526.283 tes), India peringkat tiga (77.850.403 tes), Rusia peringkat empat (47.247.274 tes), Inggris peringkat lima (25.048.560 tes) dan Brasil peringkat enam (17.900.000 tes). Indonesia hanya lebih baik dari Meksiko yang berada di peringkat 40 dengan 1.983.157 tes.
 
Sebaliknya, jika yang dijadikan parameter adalah jumlah tes per satu juta penduduk, maka Indonesia berada di peringkat ke-158 dengan 12.584 jumlah tes per satu juta penduduk.
 
Fakta lain yang tidak Jokowi paparkan adalah jumlah lab yang beroperasi belum optimal. Data per 2 Oktober menunjukkan, dari 343 lab se-Indonesia, hanya 255 lab yang menyerahkan hasil pemeriksaan PCR. Di hari berikutnya adalah 256 lab (3 Oktober) dan 240 lab (4 Oktober).
 
Berdasarkan data di atas, angka total kasus dan kematian yang dipaparkan mantan Wali Kota Solo itu menjadi kurang akurat berdasarkan kondisi saat diumumkan. Kesenjangan masih tinggi, karena lambat hasil tes dan belum semua lab serahkan hasil bersamaan.

3. Tanpa lockdown, ekonomi Indonesia harusnya lebih baik

[CEK FAKTA] Jokowi Paparkan Data 7 Bulan Tangani COVID-19Tangkapan layar data COVID-19 [YouTube/Sekretariat Presiden)

Terkait kondisi ekonomi, Jokowi menyampaikan kalau situasi Indonesia jauh lebih baik dari negara lain. Dalam video juga tersaji data pertumbuhan ekonomi versi Kementerian Keuangan RI pada kuartal II 2020.
 
Data Indonesia menunjukkan angka -5,3 persen, jauh lebih baik daripada AS (-9,6 persen), Jepang (-9,9 persen), Spanyol (-22,1 persen), dan India (-23,9 persen). Lebih spesifik lagi, Jokowi sempat membandingkannya dengan kondisi ekonomi di Asia Tenggara, seperti Thailand (-12,2 persen), Singapura (-12,2 persen), Filipina (-16,5 persen), dan Malaysia (-17,1 persen). Sayangnya, Jokowi mengabaikan fakta bahwa ekonomi Vietnam tumbuh 0,36 persen pada Q2 2020.
 
“Ekonomi kita menurun iya, betul, itu fakta. Tapi mana ada negara yang tidak menurun ekonominya? Bahkan ada banyak negara lain yang harus memikul beban ekonomi yang jauh lebih parah. Dibandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara lainnya, kinerja ekonomi kita masih lebih baik,” kata kepala negara yang pernah menjanjikan ekonomi Indonesia akan meroket.
 
Menurut Sulfikar, kesalahan fatal pada data Jokowi adalah membandingkan dengan negara-negara yang menerapkan lockdown di Asia Tenggara, sedangkan Indonesia hanya pengetatan mobilisasi.
 
“Jadi dia membandingkan dengan negara-negara yang melakukan lockdown, dan mereka memang ekonominya turun karena lockdown. Nah Indonesia itu wajar saja penurunan ekonominya relatif kecil, karena tidak lockdown,” kata dia.

4. Keseimbangan antara ekonomi dan kesehatan, apa iya?

[CEK FAKTA] Jokowi Paparkan Data 7 Bulan Tangani COVID-19Ilustrasi virus corona (IDN Times/Arief Rahmat)

Jokowi berkali-kali menekankan strategi pemerintah dalam penanganan COVID-19, yaitu mencari titik keseimbangan antara kesehatan dengan ekonomi. Menurut dia, dua hal itu adalah prioritas yang tidak bisa dikorbankan salah satunya.
 
“Memprioritaskan kesehatan bukan berarti mengorbankan ekonomi, karena itu sama saja mengorbankan kehidupan puluhan juta orang,” ujar ayah dari Gibran, calon walikota Solo itu.
 
Pertanyaannya, apa indikator keseimbangan yang dimaksud Jokowi?
 
Jika indikatornya adalah alokasi anggaran, maka sangat jelas fokus pemerintah adalah ekonomi. Pada Juni 2020, Kementerian Keuangan memastikan bahwa anggaran penanganan pandemik adalah Rp695 triliun.
 
Bagaimana alokasinya? Biaya kesehatan hanya Rp87,55 triliun atau hanya 12,5 persen dari Rp695 triliun. Sisanya untuk menyelamatkan ekonomi, antara lain perlindungan sosial Rp203,9 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, bantuan UMKM Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp537,57 triliun, dan sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah Rp106,11 triliun.
 
Spesifik untuk biaya kesehatan, rinciannya adalah belanja penanganan COVID-19 Rp65,8 triliun, insentif tenaga medis Rp5,9 triliun, santunan kematian Rp300 miliar, bantuan iuran JKN Rp3 triliun, Satgas Penanganan COVID-19 Rp3,5 triliun, dan insentif perpajakan di bidang kesehatan Rp9,05 triliun.
 
Sayangnya, melalui video yang diunggah pada Minggu (4/10/2020) itu, Jokowi hanya membeberkan pencapaian pemerintah pada bidang ekonomi dan sosial, seperti kartu prakerja hingga program subsidi. Data itu kemudian dijustifikasi oleh ketidakpuasan Jokowi.
 
“Banyak yang telah pemerintah lakukan. Kendati demikian, saya juga belum puas. Saya ingin menteri-menteri lebih baik lagi dalam bekerja mencari program yang tepat sasaran,” tambah dia.
 
Beberapa waktu lalu, IDN Times mengelilingi Puskesmas di Jabodetabek untuk melihat bagaimana upaya pelacakan (tracing) pada unit Kesehatan terkecil. Apa yang kami dapati? Tidak semua Puskesmas menyediakan tes usap (swab). Bahkan untuk masyarakat yang mengaku telah melakukan kontak erat dengan pasien corona. Sekalipun ada, syaratnya berbelit dan waktu tunggu hasilnya bisa sampai dua minggu.
 
Salah petugas, kami rahasiakan identitasnya, di Puskesmas Ciputat, Tangerang Selatan, bercerita bahwa mereka tidak memiliki anggaran untuk membeli alat tes COVID-19, baik swab ataupun rapid test. “Ya kami menyediakan tes kalau ada sponsor atau permintaan dari atas saja,” kata dia. 
 
Alasan seperti itu tidak sepatutnya terjadi kalau pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan lebih besar. Jadi, tepatkah untuk mengatakan bahwa strategi pemerintah adalah menyeimbangkan ekonomi dan kesehatan?

5. Tidak mendukung lockdown, tapi mendukung mini-lockdown

[CEK FAKTA] Jokowi Paparkan Data 7 Bulan Tangani COVID-19Ilustrasi PSBB. IDN Times/Mia Amalia

“Tidak perlu sok-sokan, akan me-lockdown provinsi, me-lockdown kota atau me-lockdown kabupaten, karena akan mengorbankan kehidupan masyarakat,” kata Jokowi. 
 
Menyindir siapa? Yang jelas tidak ada penerapan lockdown di Indonesia.  Pemerintah sejak awal memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pilihan yang ada di Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Pilihan lain yang tidak diambil adalah karantina wilayah, yang bisa diartikan mirip dengan lockdown.
 
Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Doni Monardo pernah melapor kepada presiden soal efektivitas PSBB DKI Jakarta. Setelah 40 hari menerapkan PSBB, tren kasus cenderung menurun, seperti pada 11-20 April (1.209 kasus), 21-30 April (859 kasus), 1-10 Mei (857 kasus), dan 11-20 Mei (991 kasus).
 
“DKI pada 5 April, kasus konfirmasi positif adalah 50 persen dari nasional. Setelah dilakukan PSBB pada 5 Mei lalu, terjadi penurunan konfirmasi jadi 39 persen dari nasional,” kata Doni yang juga ketua BNPB, Senin (11/5/2020).
 
Tren positif juga terlihat pada Laporan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sekitar 60 persen warga #DiRumahAja karena imbauan PSBB. Alhasil, indeks penularan kasus di DKI yang awalnya 4, artinya setiap penderita corona akan menularkan kepada 4 orang, setelah PSBB hingga 17 Mei, indeksnya menjadi 1,11 yang berarti setiap penderita corona hanya menularkan kepada satu orang.
 
Sebenarnya, efektivitas lockdown telah terbukti di banyak negara, yang paling signifikan adalah Selandia Baru dan Tiongkok. Tapi, Jokowi selalu mengatakan resep penanganan COVID-19 di satu negara belum tentu efektif di negara lain. Terkait Indonesia, Jokowi mendukung istilah mini-lockdown, atau karantina wilayah pada tingkat RT/RW atau kelurahan/desa.
 
“Banyak yang bisa kita pelajari dari wabah ini, misalnya pembatasan sosial. Saya kira harus kita sesuaikan, untuk itu saya menekankan pentingnya pembatasan sosial skala micro atau mini-lockdown. Kita buat lebih terarah, spesifik, fokus, tajam, untuk mengatasi masalah COVID,” kata dia.
 
Mini-lockdown sebenarnya sudah diterapkan jauh-jauh hari di banyak tempat, salah satunya di Kampung Tongkol, Jakarta Utara. Ini bentuk kesadaran komunitas dalam menangani pandemik. Tapi, yang mungkin Jokowi lupa, tanpa PSBB skala besar atau lockdown, maka klaster-klaster baru akan terus bermunculan. Seperti data Satgas COVID-19 per 23 September 2020, klaster perkantoran menyumbang 8,31 persen dari total kasus positif COVID-19.

6. Indonesia termasuk negara dengan kematian tenaga kesehatan tertinggi

[CEK FAKTA] Jokowi Paparkan Data 7 Bulan Tangani COVID-19Dua orang dokter berdiri di depan salah satu ruang modular di Rumah Sakit Pertamina Jaya, Cempaka Putih, Jakarta, Senin (6/4/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Pada bagian akhir, Jokowi menyampaikan apresiasi kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan COVID-19, mulai dari tenaga kesehatan (nakes), TNI, Polri, ASN, dan juga para relawan.
 
Patut disayangkan, tidak terbesit satu pun kata yang menunjukkan belasungkawa terhadap nakes yang gugur. Data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) per 3 Oktober 2020, tercatat sudah ada 130 dokter yang meninggal akibat corona, atau secara total 231 nakes.
 
Laporan Amnesty International pada awal September menunjukkan bahwa Indonesia masuk 10 besar dunia sebagai negara dengan kasus kematian nakes terbanyak. Urutannya sebagai berikut:
 
1.     Meksiko (1.320 nakes)
2.     AS (1.077 nakes)
3.     Inggris (649 nakes)
4.     Brasil (634 nakes)
5.     Rusia (631 nakes)
6.     India (573 nakes)
7.     Afrika Selatan (240 nakes)
8.     Italia (188 nakes)
9.     Peru (183 nakes)
10.  Indonesia (181 nakes)
 
“Kesimpulannya, tidak akan banyak perubahan yang terjadi dari aspek kebijakan pemerintah, dan Indonesia akan terus melihat jumlah kasus yang terus naik. Dan mungkin nanti kita tunggu video berikutnya satu tahun COVID-19 di Indonesia,” kata Sulfikar.

https://www.youtube.com/embed/YZr9bXDvdJc

Baca Juga: Data Lengkap COVID-19 di Indonesia per Selasa 6 Oktober, Cek di Sini!

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya