Cerita dari Laut: Melihat Lebih Dekat Evakuasi Sriwijaya Air SJY 182

Melihat puing dan menghirup aroma amir menggetarkan mental

Jakarta, IDN Times - Gemuruh klakson menandakan Kapal Rumah Sakit KRI Semarang 594 meninggalkan dermaga Jakarta International Container Terminal (JICT), Senin (11/1/2021) pagi. Setelah berlabuh selama tiga jam, kapal produksi PT PAL Indonesia ini akhirnya bertolak ke lokasi jatuhnya pesawat Sriwijaya SJY 182 di sekitar Pulau Laki dan Pulau Lancang. 
 
Kapal yang memiliki bobot 7.200 ton ini akan difungsikan sebagai markas dan pusat koordinasi, pada operasi evakuasi korban serta pengangkatan puing-puing pesawat berjenis Boeing 737-500 yang jatuh setelah beberapa menit lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Sabtu (9/1/2021).
 
Terik matahari pukul 10.30 WIB melepas keberangkatan kapal TNI Angkatan Laut (AL) yang membawa sekitar 38 awak media. Sebelum menaiki kapal yang sempat menjadi lokasi karantina pasien COVID-19 di awal pandemik ini, kami harus menjalani tes swab antigen terlebih dahulu.
 
Selang beberapa menit setelah berlabuh, rekan-rekan pers dikumpulkan di tengah helipad yang berada di deck lantai tiga. Kami diberi arahan seputar peraturan yang berlaku di kapal ini, seperti pembagian ruang istirahat bagi pewarta laki-laki dan perempuan hingga penekanan protokol kesehatan. Butuh waktu tiga jam bagi kapal dengan kecepatan maksimal 16 knots ini tiba di tempat tujuan.
 
Kapal yang memiliki panjang 124 meter dan lebar 21,80 meter mampu menampung lebih dari 700 orang. KRI Semarang 594 juga dilengkapi dengan dua kapal Landing Craft Utilities (LCU) dan lapangan badminton yang kadang kala digunakan sebagai ruang serbaguna untuk kegiatan seni.
 
Semilir angin menerpa dari setiap sisi kapal. Gelombang ombak di sekitar Kepulauan Seribu tidak menggoyahkan kapal dengan dimensi yang sangat besar ini. Bagi saya yang sangat jarang menaiki moda laut, kapal ini cukup bersahabat karena tidak menyebabkan mual dan pusing. 
 
Sebelum tiba di titik operasi, saya membayangkan permukaan laut dalam radius beberapa ratus meter dari lokasi kecelakaan dipenuhi oleh puing-puing pesawat yang mengambang. Saya juga memperkirakan anomali air akibat tumpahan avtur akan terlihat sangat jelas. Namun, semua bayangan saya terbantahkan ketika tiba di lokasi kejadian.
 
Jika bukan karena sederet kapal KRI yang berada di lokasi dan kapal karet yang hilir mudik, maka saya tidak akan tahu di sanalah pesawat Sriwijaya yang mengangkut 62 orang telah “lepas landas” menuju pangkuan Sang Maha Kuasa. 

Baca Juga: Begini Perjuangan Penyelam TNI AL Menemukan Black Box Sriwijaya Air

1. Hari pertama tidak bisa mendekat ke titik penyelaman

Cerita dari Laut: Melihat Lebih Dekat Evakuasi Sriwijaya Air SJY 182Suasana pencarian Sriwijaya Air SJY 182 hari ketiga pada Senin (11/1/2021) (IDN Times/Aldila Muharma)

Jarum jam semakin dekat dengan pukul 15.00 WIB ketika KRI Semarang 594 menurunkan jangkar. Kapal telah berhenti. Aktivitas penyelaman terlihat dari jauh. Saking jauhnya, kapal KRI Rigel dengan tipe Multi-Purpose Research Vehicle (MPRV) terlihat bak titik di ujung lautan. Wajar saja, sebab kapal yang ditumpangi awak media difungsikan sebagai posko operasi, sehingga dilarang mendekat agar tidak mengganggu aktivitas evakuasi.
 
Semula, ketika berada di JICT, awak media dijanjikan bisa merapat ke titik penyelaman dengan kapal kecil. Tetapi, akibat ombak dan cuaca yang tidak bersahabat, rencana tersebut dibatalkan.
 
Kami melihat kapal Landing Craft Vehicle Personnel (LCVP) yang berangkat dari KRI Rigel mendekat ke KRI Semarang dengan membawa beberapa wartawan yang sudah bertugas sejak hari pertama kecelakaan. Kami sempat mengira LCVP tersebut akan digunakan untuk mengajak rekan media yang baru datang melihat aktivitas penyelaman. Nyatanya, kapal tersebut hanya mengantarkan pewarta untuk beristirahat di KRI Semarang.
 
Itu pun LCVP harus berputar dari sisi kanan kapal menuju sisi kiri kemudian kembali ke sisi awal supaya para reporter bisa menaiki tangga. Ombak yang sangat kencang menyebabkan permukaan laut tidak tenang, sehingga tidak aman bagi warga sipil untuk menaiki tangga yang penuh guncangan. Alhasil, butuh waktu hampir 20 menit supaya mereka bisa berpindah ke kapal markas.
 
Tidak lama berselang, kami kembali dikumpulkan di helipad. Personel TNI AL menyampaikan dua pengumuman. Pertama, tidak mungkin bagi kami untuk bertolak ke KRI Rigel dan melihat situasi penyelaman. Kedua, tidak ada kapal yang kembali ke JICT, sehingga kami harus bermalam di KRI Semarang. Beberapa aturan turut disampaikan, seperti waktu makan, larangan untuk merokok di tempat-tempat tertentu, dan tak lupa penegasan protokol kesehatan.
 
Harus diakui, pengumuman tersebut membuat saya dan awak media lainnya resah. Bukan saja karena tidak mendapat bahan peliputan, tapi juga kami harus menginap padahal tidak ada persiapan sebelumnya. Saya hanya membawa baju ganti yang dipersiapkan apabila hujan mengguyur pada Senin (11/1/2021) itu. Namun apa daya, karena tidak memiliki pilihan lain, mau tidak mau saya harus menikmati bermalam di salah satu kapal kebanggaan Indonesia.

Cerita dari Laut: Melihat Lebih Dekat Evakuasi Sriwijaya Air SJY 182Infografis Pesawat Sriwijaya Air (SJY 182) yang Jatuh pada Sabtu, 9 Januari 2021 (IDN Times/Arief Rahmat)H

2. Bermalam di KRI Semarang 594

Cerita dari Laut: Melihat Lebih Dekat Evakuasi Sriwijaya Air SJY 182KRI Rigel (IDN Times/Aldila Muharma)

Tidak ada kumandang azan di kapal. Kedatangan waktu salat disampaikan melalui pengeras suara. Ufuk mulai menggelap menandakan waktu Maghrib telah tiba. Sebagian anggota yang beragama Islam berganti pakaian bersiap untuk salat. Sebagian lagi merentangkan sajadah lipat berawarna hijau di ruang serbaguna.
 
Tuntas tiga rakaat salat maghrib, para anggota kemudian membuat lingkaran untuk membacakan Surat Yasin kepada para korban yang semula ingin pergi ke Pontianak. Mereka juga membacakan doa untuk rekan-rekan penyelam supaya segera menemukan black box guna mengungkap penyebab kecelakaan.
 
“Marilah kita membacakan Yasin untuk mendoakan korban, meminta kekuatan sehingga kita dapat menemukan black box,” ujar Ujar Komandan Satuan Tugas Laut (Dansatgasla) Operasi Sriwijaya, Laksamana Pertama TNI Yayan Sofyan
 
Dia menyambung, “hanya dengan kekuatan Tuhan, kekuatan Allah kita dapat melaksanakan tugas dengan baik. Agar bisa menemukan sejumlah barang bukti, jenazah, maupun barang-barang lainnya agar penyidikan berjalan lancar.”
 
Suasana ibadah berlangsung khidmat. Semuanya duduk melingkar melepaskan pangkat. Menyadari bahwa tidak ada satupun derajat manusia yang setara dengan kedudukan Tuhan, termasuk mereka yang mengenakan bintang di pundaknya. Ibadah malam itu ditutup dengan empat rakaat salat Isya.
 
Hiruk-pikuk di KRI Semarang 594 sebagai markas operasi tidak terlihat ripuh. Maklum, hari pertama dioptimalkan untuk berkoordinasi dengan 16 KRI yang disiagakan di lokasi. Suasana malam begitu tenang. Untuk sesaat bintang telihat jelas. Saya menghabiskan waktu bercengkrama dengan anggota muda. Kami terhanyut dalam cerita, mulai dari kejadian-kejadian mistis selama bekerja hingga kisah percintaan prajurit muda. 
 
Bulan yang bersembunyi di tengah deras hujan menjadi saksi bisu berakhirnya perbincangan kami. Terlihat anggota yang sudah melepas seragam bersiap untuk istirahat, ada pula yang berjaga di setiap sisi lorong kapal. Meski angin kencang menerpa, kapal ini didesain sedemikian rupa agar tidak mengganggu kualitas istirahat. Wajar saja, sebab fungsi utamanya adalah rumah sakit.
 
Saya menutup malam itu dalam dekapan selimut, ditemani sebilah bantal, dan melentang di atas kasur persegi pada ranjang tiga tingkat.

Baca Juga: Mengenal Sepak Terjang Kopaska, Pasukan Katak Pencari Sriwijaya Air

3. Melihat lebih dekat aktivitas penyelaman

Cerita dari Laut: Melihat Lebih Dekat Evakuasi Sriwijaya Air SJY 182Tim Penyelam yang ditugaskan untuk mencari bagian bodi pesawat Sriwijaya Air SJY 182 pada Selasa (12/1/2021) (IDN Times/Aldila Muharma)

Sang fajar terlihat malu menunjukkan diri di langit pada Selasa (12/1/2021). Kelabu awan menghalangi sinar kekuningan yang seharusnya tampak indah dari tengah laut. Beruntung, panorama pagi yang gagal saya nikmati ditukar oleh kabar baik, bahwa ombak permukaan tidak terlalu bergejolak sehingga awak media diperkenankan merapat ke titik penyelaman.
 
Keberangkatan menggunakan kapal LCVP terbagi menjadi dua gelombang. Kloter pertama diperuntukkan pewarta televisi untuk merapat ke KRI Rigel. Adapun kloter kedua mengangkut fotografer, videografer, dan para jurnalis untuk memutari titik penyelaman. Paling tidak perlu empat personel TNI untuk menurunkan rekan pers dari KRI Semarang. Dua anggota ditugaskan di LCVP untuk menjaga tangga gantung dan tali tambang agar tidak terlalu goyah, dua lainnya berada di KRI Semarang untuk menurunkan tangga.
 
Pada operasi kali ini, KRI Rigel memainkan andil penting karena memiliki sonar yang mampu mendeteksi sinyal black box. Sejak Senin, kapal penjelajah itu sebenarnya telah mengidentifikasi lokasi kotak hitam. Namun para penyelam menemui hambatan akibat tumpukan puing-puing pesawat di dasar laut. Oleh sebab itu, operasi evakuasi harus berjalan dengan sangat hati-hati supaya tidak mengganggu sinyal atau bahkan memindahkan lokasi black box.
 
Berdasarkan kontur kedalaman laut, Kepala Staf TNI AL Laksamana TNI Yudo Margono optimis operasi pencarian black box tidak memerlukan waktu lama. “Kedalamannya hanya sekitar 15-16 meter, mudah-mudahan bisa ditemukan (cepat). Karena Lion Air itu sudah di atas 30 meter (kedalamannya),” kata dia di KRI Rigel, Senin.
 
Setelah menapaki LCVP, kami menerjang ombak untuk lebih dekat dengan para penyelam. Hingga pukul 08.30 WIB langit masih berawan. Titik penyelaman yang kami tuju merupakan hasil penyempitan pada hari keempat operasi.
 
Tampak sekitar 16 perahu karet mengitari lokasi penyelaman, mengangkut para penyelam lengkap dengan alat-alatnya. Balon pelampung di permukaan menandakan aktivitas pencarian sedang berlangsung di bawahnya. LCVP yang saya tumpangi beberapa kali ditegur karena terlalu dekat dengan balon pelampung.
 
TNI AL mengerahkan 160 personel penyelam dari berbagai kesatuan, mulai dari Komando Pasukan Katak (Kopaska), Detasemen Jalamangkara (Denjaka), Marinir, Dinas Penyelamatan Bawah Air (Dislambair), dan Batalyon Intai Amfibi (Taifib). Prosedur penyelaman dilakukan sekitar 30 menit secara bergantian. Penyelaman dimulai dari pukul 07.00 WIB dan berakhir pada 17.00 WIB, tergantung kondisi cuaca dan ombak.
 
Kapal KRI TNI AL, Basarnas, dan Polairud diformasikan melingkar supaya nelayan tidak mendekati lokasi operasi. Maklum saja, sebab jarak antara lokasi pencarian dengan Pulau Lancang tidak begitu jauh. Saya bahkan melihat ada beberapa kapal nelayan di sekitar KRI.
 
Prioritas penyelam adalah mengangkat sebanyak-banyaknya barang, termasuk potongan tubuh, sebagai alat bukti. Puing-puing kecil dibawa langsung bersamaan dengan penyelam yang hendak ke permukaan. Sementara, untuk puing-puing besar, TNI AL telah menyiagakan KRI Cirebon dan Mentawai yang memiliki crane dengan kapasitas angkat hingga lima ton.
 
Selama satu setengah jam memutari penyelaman, terlihat beberapa penyelam yang mengangkat potongan badan pesawat, sabuk pengaman, dan pakaian. Saya tidak bisa membayangkan, seberapa hebat benturan pesawat yang jatuh dari  ketinggian sekitar 11 ribu kaki menghantam permukaan air, sehingga badan pesawat yang terbuat dari logam hancur berkeping-keping.
 
Patut disayangkan, kami tidak bisa menjajaki KRI Rigel karena sejumlah alasan. Padahal, di kapal itulah semua barang dari dasar laut dikumpulkan. Di sana pula para penyelam mengisi ulang tabung oksigen.

4. Kembali ke darat bersama KRI Tenggiri

Cerita dari Laut: Melihat Lebih Dekat Evakuasi Sriwijaya Air SJY 182Penemuan bagian bodi Pesawat Sriwijaya Air SJY182 pada Selasa (12/1/2021) (IDN Times/Aldila Muharma)

Setelah bermalam dan melihat lebih dekat aktivitas penyelaman, kami akhirnya bisa kembali ke JICT bersama KRI Tenggiri. Kapal yang digunakan untuk patroli laut ini membutuhkan waktu dua jam untuk tiba di kawasan dermaga Tanjung Priok.
 
Bau amis menyambut kedatangan tepat ketika kami menapaki KRI Tenggiri. Aroma tidak sedap itu berasal dari kantong oranye berada di bagian belakang kapal. Sembari menunggu keberangkatan, perahu karet dari titik operasi mendekat dengan membawa kantong oranye yang berisi material padat dan kantong kuning yang berisi potongan tubuh. Prosedur evakuasi mewajibkan pemisahan antara puing-puing pesawat dengan anggota tubuh.  
 
Saat itulah saya mengingat perbincangan dengan ketua tim bantuan penyelam yang siaga di KRI Semarang Sersan Mayor Nurkholis Serma. Dia mengatakan, penyelam profesional harus mengingat empat hal, yaitu mengetahui kemampuan diri sendiri, mengenali alat selam dengan baik, menguasai alat bantu kerja yang digunakan, dan sadar situasi lingkungan pekerjaan.
 
Kadang kala, melihat puing-puing pesawat yang hancur lebur dan potongan tubuh secara langsung di dasar laut mengganggu psikologis penyelam. Dalam kondisi seperti itu, mereka harus jujur dengan dirinya sendiri. Harus tahu kapan mengundurkan diri atau menunda partisipasi penyelaman karena rentan mengalami dekompresi.
 
Untuk memberikan dukungan moril dan psikologis, para penyelam selalu memanjatkan doa kepada Tuhan sebelum melakukan operasi. Di KRI Semarang juga terdapat Mobile Diving Chamber (MDC), alat untuk menangani dekompresi dalam golden period agar penyakit tidak memperparah kondisi penyelam.
 
“Dalam beberapa event SAR yang melibatkan penyelam, selalu (MDC) ini mendampingi para personel untuk memberikan support, untuk memberikan dukungan moril. Jadi penyelam secara psikologis lebih tenang, kalau terjadi dekompresi mereka bisa ditangani secara cepat,” ulas Nurkholis di KRI Semarang.
 
Kami mendarat di JICT sekitar pukul 14.30 WIB. Tampak anggota TNI telah bersiaga untuk memindahkan enam kantong yang berada di KRI Tenggiri ke area konferensi pers, untuk diserahkan kepada tim Disaster Victim Identification (DVI) dari Polda Metro Jaya. 
 
Melihat lebih dekat aktivitas penyelaman tentu bukan pengalaman menyenangkan. Saya harus membiasakan diri melihat puing-puing pesawat yang hancur lebur atau bahkan dipaksa menghirup aroma amis. Paling tidak, pengalaman dua hari itu membuat saya memahami operasi evakuasi adalah kegiatan yang sangat menguras fisik dan mental.

https://www.youtube.com/embed/v8RVl4rLfGE

Baca Juga: Cerita Investigator KNKT yang Memeriksa Pesawat Sriwijaya Air SJY 182 

Topik:

  • Anata Siregar
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya