Dikira Sempalan Syiah dan Ajaran Sesat, Ini 5 Fakta Agama Baha’i

Ada sekitar 5000 penganut Baha'i di Indonesia

Jakarta, IDN Times - Kilas balik 2014 silam, masyarakat Indonesia sempat gaduh lantaran cuitan mantan Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin, mengenai eksistensi agama Baha’i di Indonesia. Dia menegaskan, Baha’i merupakan agama yang berdiri sendiri dan bukan sempalan atau sekte dari Islam.
 
Melalui kultwit tertanggal 24 Juli 2014, Lukman meminta supaya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memberikan pelayanan administratif kepada penganut Baha’i selayaknya pelayanan kepada enam agama besar lainnya. Sebab, penganut Baha’i merupakan warga negara yang hak beragamanya dijamin oleh konstitusi.
 
“Berdasar UU 1/PNPS/1965 dinyatakan agama Baha'i merupakan agama di luar Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu yg mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Saya berpendapat umat Baha'i sebagai warga negara Indonesia berhak mendapat pelayanan kependudukan, hukum, dll dari Pemerintah,” katanya melalui akun @lukmansaifuddin.  

Sebaliknya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru menekan supaya Kemenag tidak mengakui Baha’i sebagai agama resmi di Indonesia. MUI menilai Baha’i sebagai ajaran sesat yang menyeleweng dari koridor Islam.
 
“Baha’i merupakan perpanjangan tangan dari sekte yang masih memiliki hubungan historis dengan Islam. Jadi, sangat tidak setuju jika Baha’i diakui sebagai agama baru oleh pemerintah. MUI mendesak Menag Lukman Hakim untuk bersikap bijak agar tidak terulang kembali Ahmadiyah jilid kedua,” kata Ketua Dewan Pimpinan MUI saat itu, Muhyidin Djunaidi, sebagaimana dikutip dari Republika.
 
Anggota humas dan Pemerintahan Baha’i Indonesia, Rina Tjua Leena, menyangkal bila ajaran yang dianutnya dianggap sebagai sempalan Islam. Menurutnya banyak orang salah paham karena tidak bisa membedakan budaya Arab dengan praktik keislaman.
 
“Memang Bahá'u'lláh (pembawa ajaran Baha’i) keluarganya berlatar belakang Islam. Jadi tidak heran secara kultur, cara berpakaiannya terlihat seperti Islam, tapi sebenarnya itu middle east culture yang tidak melekat pada agama tertentu. Yang perlu ditegaskan, Bahá'u'lláh itu membawa iman yang beda. Jadi kami sepenuhnya berbeda dengan Islam,” kata Rina kepada IDN Times.
 
Lantas apa sebenarnya agama Baha’i itu? Apa saja inti-inti ajarannya? Serta, ada berapa penganut Baha’i di Indonesia? Nah, untuk memahami Baha’i secara komprehensif, yuk simak fakta-fakta Baha’i di bawah ini.

1. Muncul di Iran pada abad 19

Dikira Sempalan Syiah dan Ajaran Sesat, Ini 5 Fakta Agama Baha’i(Instagram/@bahai)

Pada 1844, ketika Iran dilanda dekadensi moral, Sayyid ‘Ali Muhammad, dikenal sebagai “Sang Bab”, hadir dengan pesan-pesan perdamaian. Pemuda asal Shiraz itu mengaku sebagai rasul yang membawa misi mempersiapkan jalan bagi kehadiran “Perwujudan Tuhan”. Sosok itulah yang nantinya membawa perdamaian dan menyerukan nilai-nilai keadilan universal.
 
Ajaran Sang Bab menuai kontroversi. Banyak masyarakat yang mengikuti Sang Bab karena ajarannya menyerukan penolakan terhadap diskriminasi. Tapi, pejabat dan pemuka agama Iran khawatir akan kehilangan kekuasaannya seiring meningkatnya pengikut Sang Bab. Alhasil, seruan Sang Bab dianggap sebagai ajaran sesat.
 
Resistensi dari elite Iran menyeret Sang Bab ke sejumlah pengasingan di pegunungan Azerbaijan. Namun, semangat Sang Bab untuk membumikan ajarannya tidak pupus. Alih-alih menyerah di tengah tekanan, kehadiran Sang Bab justru disambut ramah oleh para tahanan. Mereka malah menjadi pengikut Sang Bab.
 
Salah satu sosok yang menjawab seruan Sang Bab adalah Mírzá Husayn 'Alí yang bermukim di Tehran. Mírzá merupakan keturunan raja dengan kemampuan intelektual dan jiwa empati yang luar biasa. Bukannya hidup dalam gelimangan harta, Mírzá justru mendarmakan hartanya untuk orang-orang yang tidak mampu. Karena itulah dia dijuluki sebagai “ayah dari pada fakir miskin”.

Baca Juga: Setumpuk Harapan Pengungsi Syiah Sampang untuk Jokowi-Ma'ruf Amin

2. Mirza adalah sosok Bahá’u’lláh yang dinantikan

Dikira Sempalan Syiah dan Ajaran Sesat, Ini 5 Fakta Agama Baha’iIlustrasi rumah ibadah umat Baha'i (Instagram/@bahai)

Pada usia 27 tahun, Mírzá mengamini seruan Sang Bab setelah menerima teks-teks sucinya yang tersebar ke seantero Iran. Sebagai penganut yang taat, dia juga ikut menyebarkan paham tersebut. Alhasil, Mírzá juga dijebloskan ke Síyáh-Chál atau penjara gelap yang berada di Teheran.
 
Dalam pengasingan itulah, Mírzá merasakan Tuhan menggetarkan jiwa-jiwanya. Kejadian tersebut dia maknai sebagai perintah Tuhan kepadanya untuk meneruskan ajaran Sang Bab. Dia kemudian bergelar Bahá’u’lláh, yaitu sosok yang kehadirannya telah dinanti oleh Sang Bab. Selama 40 tahun, setelah keluar dari Síyáh-Chál, Bahá’u’lláh menyebarkan ajarannya sembari diasingkan dari satu penjara ke penjara lain.
 
Dalam keadaan sakit, Bahá’u’lláh tetap menyerukan kebaikan melalui tulisannya yang disebar ke berbagai negara. Buku karangannya menjadi kitab suci bagi agama Baha’i yang dinamakan Kitáb-i-Aqdas. Hingga akhir hayatnya, Bahá’u’lláh yang meninggal di Akká tidak pernah bertemu dengan Sang Bab yang dimakamkan di Bukit Karmel. Adapun tempat bersemayam Sang Bab menjadi kiblat bagi umat Baha’i ketika beribadah.
 
Setelah kematian dua tokoh Baha’i, tugas Bahá’u’lláh dilanjutkan oleh Abdu’l-Bahá yang merupakan putra pertamanya. Dialah satu-satunya juru tafsir agama Baha’i. Di akhir hayatnya, Abdu’l-Bahá menunjuk cucu tertuanya, Shogi Effendi, yang berjuluk “wali agama Tuhan” sebagai penerusnya. Effendi memiliki peran besar dalam menerjemahkan banyak tulisan suci Baha’i dan menyebarkannya ke berbagai negara.

3. Tiga prinsip dasar agama Baha’i

Dikira Sempalan Syiah dan Ajaran Sesat, Ini 5 Fakta Agama Baha’iIlustrasi penganut agama Baha'i (Instagram/@bahai)

Ada tiga prinsip dasar agama Baha’i, yaitu keesaan Tuhan, kesatuan sumber surgawi dari semua agama, dan kesatuan umat manusia. Tiga pilar itu disebut sebagai “kesatuan dalam keanekaragaman”.
 
“Ajaran pokok Bahá’u’lláh mengajarkan bahwa Tuhan itu Esa, walaupun manusia menyebutnya dengan istilah yang berbeda. Dalam Baha’i, Tuhan kamu dan Tuhan saya itu sama,” papar Rina.
 
Terkait pilar kedua, Rina menjelaskan bahwa Tuhan menurunkan ajaran-Nya secara bertahap. Sosok yang bertugas untuk memperkenalkan ajaran Tuhan di bumi adalah para nabi dan Rasul. Baha’i meyakini rasul-rasul seperti Ibrahim, Isa, Muhammad, Zoroaster, Buddha, Sang Bab, dan Bahá’u’lláh merupakan utusan Tuhan yang sama.  
 
“Kami juga meyakini rasul-rasul yang ada di bumi dari zaman ke zaman itu membawa misi Tuhan Yang Satu, mereka sama-sama mengajarkan manusia untuk lebih beradab. Mereka turun secara bertahap sesuai dengan perkembangan zamannya. Berdasarkan paham itulah, Bahá’u’lláh meyakini tidak ada pertentangan antara satu rasul dengan rasul lain,” lanjut Rina.
 
Pilar yang terakhir, Bahá’u’lláh menyatakan bahwa semua manusia adalah satu dan setara di hadapan Tuhan. Oleh sebab itu, praktik diskriminasi berbasis ras dan agama merupakan tindakan yang melanggar ajaran Tuhan.
 
“Pada hakikatnya, Tuhan tidak membedakan manusia berdasarkan status sosialnya, bahkan dalam Baha’i tidak ada istilah satu orang lebih beriman dari orang lain. Kami juga tidak merasa lebih tinggi dan lebih rendah dari penganut agama lain. Makanya Bahá’u’lláh akan tiba suatu masa di mana umat manusia hidup sejahtera, tidak ada perang dan perbedaan,” kata Rina.
 
Bagi Rina, tiga pilar inilah yang menyebabkan Baha’i mudah diterima oleh masyarakat pada awal kemunculannya di Iran. Sebab, Baha’i menolak sistem diskriminatif yang dilanggengkan oleh penguasa.
 
“Prinsip agama Baha’i itu universal dan tidak membedakan agama manapun, tidak mendukung kekerasan, diminta hidup rukun. Dan itu persis yang terjadi di Iran, kenapa penganut Baha’i sampai dibunuh? Karena heboh saat itu orang mau jadi penganut Baha’i. Pemerintah yang dikuasai ulama ketakutan kehilangan kekuasaan di sana,” ungkapnya.  

4. Masuknya agama Baha’i ke Indonesia

Dikira Sempalan Syiah dan Ajaran Sesat, Ini 5 Fakta Agama Baha’iJalur masuknya Baha'i ke Indonesia (www.bahai.id)

Agama Baha’i telah masuk ke Indonesia sejak Bahá’u’lláh masih hidup. Kala itu, dia menunjuk Jamal Effendi untuk menyiarkan agama Baha’i ke wilayah Asia Timur, seperti India, Sri Lanka, dan Bangladesh. Bersama rekannya Sayyid Mustafa Rumi, mereka juga mengunjungi Myanmar pada 1878 dan Penang pada 1883.

Pelayaran mereka berlanjut hingga Singapura. Dari sana, mereka mengantongi izin dari Belanda untuk memasuki Pulau Jawa melalui Batavia. Setibanya di Jakarta, mereka bermukim di perkampungan Arab, Pakhojan, yang saat ini berada di Tangerang. Mereka hanya diizinkan Belanda untuk mengunjungi kota-kota pelabuhan.
 
Mereka sempat mendatangi Surabaya, Bali, Lombok, hingga Sulawesi. Pemberhentian mereka di Makassar rupanya disambut oleh Raja Fatta yang tertarik dengan agama baru ini. Pendakwah Baha’i ini juga disambut di Kerajaan Bone. Oleh raja setempat, Sayyid Mustafa diminta membuat untuk membuat buku panduan seputar ajaran Baha’i.  
 
“Baha’i masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan, karena waktu itu India dan Iran aktif melakukan perdagangan internasional,” tutur Rina.
 
Rita memaparkan, jumlah penganut Baha’i pada periode awal kemerdekaan mencapai ratusan ribu. Namun, jumlahnya terus menurun seiring aturan-aturan diskriminatif, seperti Keppres 264/1962 yang dikeluarkan Sukarno. Presiden pertama itu melarang eksistensi Baha’i dan Freemansonry di Indonesia. Begitu pula pada era Soeharto, dia juga melarang organisasi keagamaan Baha’i sebagaimana larangan terhadap organisasi Konghucu.
 
Penganut Baha’i perlahan menunjukkan eksistensinya setelah Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Keppres 264/1962 dengan Keppres 69/2000. Presiden berjuluk “Bapak Toleransi” menegaskan kembali konstitusi Indonesia bahwa seluruh masyarakat bebas memeluk agama apapun.
 
“Setelah Gus Dur memberikan kebebasan kepada seluruh agama berkembang, termasuk Bahai, kami kembali menata organisasi dan konsolidasi teman-teman yang tersisa. Saat ini jumlah resminya ada sekitar 5 ribu di 28 provinsi. Jumlahnya memang drop setelah 30 tahun dilarang,” ungkap Rita.

Baca Juga: Secuil Pesan Kematian Gus Dur Sebelum Meninggal pada Pemuka Konghucu

5. Ekspresi beragama yang terkungkung

Dikira Sempalan Syiah dan Ajaran Sesat, Ini 5 Fakta Agama Baha’iIlustrasi rumah ibadah umat Baha'i (Instagram/@bahai)

Sebagaimana problematika agama minoritas lainnya, umat Baha’i tidak bebas mengekspresikan ajarannya. Kendati kekerasan fisik sudah tidak terjadi dalam beberapa tahun terakhir, tapi miskonsepsi perihal Baha’i sebagai ajaran sesat masih berseliweran di masyarakat.
 
Begitu pula dengan pencatatan sipil. Penganut Baha’i biasanya memilih untuk mengosongkan kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP). Karena belum ada regulasi yang jelas mengenai pencatatan sipil di luar enam agama yang “diakui”, tidak jarang penganut Baha’i dianggap sebagai penghayat kepercayaan.
 
Tidak dianggapnya agama Baha’i berdampak terhadap keterbatasan pelayanan. Di sekolah-sekolah negeri, mereka tidak disediakan guru agama yang memumpuni untuk mengajarkan Baha’I. Keterbatasan pelayanan juga terjadi untuk pencatatan pernikahan dan kematian.
 
“Akhirnya perjuangannya case by case, ada yang kelahirannya ditulis Baha’i, tapi mostly ditulis kepercayaan. Itu jadi masalah baru lagi, padahal di 200 negara lainnya Baha’i diakui sebagai agama sendiri,” tutur Rina.  
 
Umat Baha’i di Indonesia juga tidak memiliki rumah ibadah. Karena prinsip Baha’i adalah keesaan Tuhan, maka rumah ibadah harus dibangun atas gotong-royong umat beragama.
 
“Rumah ibadah Baha’i baru bisa didirikan kalau masyarakat setempat secara budaya sudah bisa menerima dan hidup rukun, sehingga pembangunannya gotong-royong. Selain untuk tempat ibadah Baha’i, agama lain juga boleh bermeditasi dan berdoa di sana. Tapi ya karena budaya kita belum kondusif, makanya belum bisa mendirikan rumah ibadah di Indonesia,” ungkapnya.
 
Meski menghadapai segala keterbatasan, Baha’i menolak untuk menyalahkan negara. Hal itu dianggap hanya mempersulit kehidupan umatnya. Di samping itu, perdamaian antar-umat beragama tidak akan terwujud jika budaya saling menyalahkan terus dilanggengkan.
 
“Masyarakat dan pemerintah adalah satu kesatuan. Kita juga memiliki tugas untuk membentuk pemerintahan yang lebih baik. Jadi kalau pemerintah jelek, ada salah kita juga dong. Makannya semangatnya harus kolaboratif dan konstruktif supaya bangsa bisa hidup sejahtera,” tutup Rina.

Baca Juga: [WANSUS] Zionisme, Yahudi, Israel dan Miskonsepsi di Indonesia

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya