Fakta-fakta Orasi Ilmiah Arif Satria, Guru Besar Ekologi-Politik IPB

Arif menawarkan pendekatan baru stabilitas lingkungan

Bogor, IDN Times - Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria resmi menyandang gelar guru besar atau profesor bidang ekologi politik. Dalam prosesi pengukuhan yang berlangsung di Kampus IPB Dermaga, Bogor, Sabtu (11/1), Arif menyampaikan orasi ilmiah berjudul Modernisasi Ekologi dan Ekologi Politik: Perspektif Baru Analisis Tata Kelola Sumber Daya Alam (SDA).

Orasi ilmiah ini bermula dari potensi Indonesia menjadi negara maju pada 2045. Hanya saja, ia mengakui tantangan terbesarnya adalah strategi pembangunan yang bersahabat dengan kesejahteraan masyarakat, serta keberlangsungan lingkungan.

1. Arif membeberkan sejumlah hambatan di bidang lingkungan

Fakta-fakta Orasi Ilmiah Arif Satria, Guru Besar Ekologi-Politik IPB(instagram.com/arifsatria10)

Secara lebih terperinci, pria kelahiran Pekalongan, 17 September 1971 ini membeberkan pekerjaan besar pemerintah Indonesia di bidang lingkungan, guna merealisasikan cita-cita mulai 2045.

Krisis lingkungan yang ia maksud, pertama Indonesia berada di peringkat kedua setelah Tiongkok sebagai negara penyumbang sampah plastik yang mengalir ke laut.

Kedua, pada 2019, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan, sekitar 35 juta hektare dari 125 juta hektare kawasan hutan dalam kondisi rusak berat.

Ketiga, berdasarkan Food Sustainability Index (FSI) 2018, Indonesia memperolah sekor 59,1 perihal ketahanan pangan. Tertinggal 68,5 dari perolehan skor Ethiopia yang pernah dikenal sebagai negara paling menderita akibat kelaparan.

“Indeks ketahanan pangan global 2019, Indonesia berada di urutan 62 dunia, kelima di Asia Tenggara, namun Food Loss and Waste (kehilangan dan pemborosan pangan) Indonesia tergolong tinggi, yaitu 300 kg per kapita per tahun, atau nomor dua di dunia,” kata Arif.

Dia menambahkan, “krisis lingkungan dan sumber daya alam sebagaimana di atas adalah krisis tata kelola. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan tata kelola dengan dua perspektif baru, modernisasi ekologi (ecological modernization) dan ekologi politik (political ecology) untuk membedah serta memberikan solusi.”

2. Dua konsep dasar dalam perspektif tata kelola lingkungan baru

Fakta-fakta Orasi Ilmiah Arif Satria, Guru Besar Ekologi-Politik IPB(instagram.com/arifsatria10)

Orasi ilmiah Arif merupakan sebuah solusi untuk menghadapi krisis tata kelola lingkungan. Gagasannya bertolak dari dua konsep, yaitu modernisasi ekologi dan ekologi politik.

Modernisasi ekologi yang dimaksud adalah pertama kali digunakan Joseph Huber dengan teori greening of industry, perbaikan lingkungan secara fundamental melalui berbagai inovasi dan teknologi, untuk menciptakan penggunaan sumber daya alam yang efisien bagi ekologi serta lingkungan.

“Sehingga kegiatan produksi dan konsumsi dapat memberikan manfaat bagi ekonomi sekaligus ekologi. Asumsi utama modernisasi ekologi adalah pertumbuhan ekonomi dapat direkonsiliasikan dengan kelestarian ekologi,” kata dia.

Ada tiga strategi yang bisa diwujudkan untuk merealisasikan hal tersebut. Antara lain ekologisasi produksi, seperti produksi bersih tanpa limbah yang merusak perbaikan kerangka regulasi dan pasar untuk pro-ekologis menghijaukan nilai sosial dan korporat beserta praktiknya. Ragam gerakan sosial seperti car free day atau earth hour campaign.

Kemudian, pendekatan ekologi politik yang tumbuh sebagai dinamika keterlibatan ilmuwan sosial ke dalam isu-isu ekologi. Asumsi utamanya adalah perubahan lingkungan tidak bersifat netral dan teknis, melainkan merupakan bentuk politicized environment.

“Artinya, persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi, di mana masalah itu muncul melibatkan aktor-aktor pada tingkat lokal, regional, maupun global,” kata Arif.

Baca Juga: Guru Besar IPB Apresiasi Penerapan Teknologi Pertanian Kementan

3. Krisis tata kelola ekologi harus dihadapi dari berbagai level

Fakta-fakta Orasi Ilmiah Arif Satria, Guru Besar Ekologi-Politik IPB(IDN Times/Lazuardi Putra)

Akademisi yang pernah mengampu studi di Jepang dan Kanada itu menekankan pentingnya tata kelola lingkungan multilevel. Dia menyebut ada beberapa aktor yang terlibat, yaitu negara, pasar, dan masyarakat.

Terkait negara, kata Arif, modernisasi ekologi menempatkan negara sebagai solusi krisis lingkungan. Negara berperan besar dalam dua hal, yaitu kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup dan mendirikan lembaga-lembaga pemerintah yang bergerak dalam tata kelola lingkungan hidup, baik nasional maupun daerah.

Sementara, perspektif ekologi politik melihat adanya kontestasi negara dan masyarakat ataupun institusi di dalamnya, lantaran negara memiliki dua fungsi sekaligus, yakni aktor pengguna dan aktor pelindung sumber daya alam (SDA).

“Sebagai contoh terjadinya konflik kepentingan ketika di dalam kawasan konservasi juga terdapat kandungan mineral, atau minyak dan gas bumi, yang layak secara finansial dan ekonomi untuk ditambang,” tutur Arif.

Mengenai pasar, Arif merinci menjadi tiga tipe, yaitu swasta yang tidak peduli lingkungan, swasta yang mengakomodasi lingkungan, dan swasta yang mengembangkan green business dengan pemanfaatan teknologi karbon rendah.

“Secara ekologi politik, swasta tipe pertama banyak disorot karena banyak menyebabkan kerusakan lingkungan, yang pada akhirnya memarjinalisasi masyarakat. Hal ini merupakan wujud operasi kapitalisme masa lalu,” kata dia.

Terakhir, peraih Yamamoto Award 2008 ini menekankan bahwa masyarakat adalah aktor di akar rumput terlemah dalam politisasi lingkungan, dibandingkan negara dan swasta. Masyarakat selalu menjadi pihak yang dirugikan akibat degradasi lingkungan.

“Dalam pengelolaan SDA, masyarakat juga tidak diperankan secara optimal. Padahal, laporan FAO 2018 menyebutkan 2030 perubahan iklim akan menambah jumlah orang miskin hingga seratus juta jiwa, dan harga pangan melambung hingga 12 persen, padahal 60 persen pengeluaran orang miskin akibat pangan,” kata Arif.

4. Tiga aktor harus saling bersinergi demi tata kelola lingkungan

Fakta-fakta Orasi Ilmiah Arif Satria, Guru Besar Ekologi-Politik IPBIlustrasi (Dok. IDN Times/Humas Setkab PPU)

Dalam pemaparannya, pakar kebijakan kelautan dan perikanan ini menekankan pentingnya sinergi antara tiga aktor di atas dari dua perspektif mendasar. Sebab, masing-masing aktor memiliki banyak kelemahan sekaligus perannya sudah dioptimalkan.

“Modernisasi ekologi mengusung pendekatan negara dan pasar, namun keduanya banyak kelemahan. Ekologi politik mencoba mengangkat peran masyarakat, namun juga banyak keterbatasan. Pendekatan serba negara, pendekatan pasar murni, pendekatan self-governance masyarakat tidak menjamin terciptanya keberlanjutan. Karena itu perlu tata kelola baru yang memadukan antara pendekatan modernisasi ekologi dan ekologi politik” kata Arif.

Tata kelola baru yang dimaksud Arif terbagi menjadi tiga aspek, basis normatif, saintifik-teknokratik, dan basis regulatif. Secara normatif, regulasi telah mengatur bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.

“Narasi dikuasai negara menunjukkan bahwa negara diberi amanah untuk mengelola SDA, agar dapat mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Relasi negara-masyarakat dan pasar-masyarakat haruslah berisi muatan keadilan,” kata dia.

Sementara, basis saintifik-teknokratik mengusung pendekatan konstruktivisme. Kelemahan tata kelola lama adalah terlalu kuatnya pendekatan apriori terhadap konsep ilmu lingkungan, dengan dominasi rasionalitas ekologi yang positivistik.

“Pemisahan antara prinsip politik dan ekologi akan sama-sama bermasalah. Kalau bertumpu pada prinsip politik semata, maka kebijakan lingkungan tidak akan mampu menyentuh faktor biofisik sehingga tidak akurat. Kalau terlalu bertumpu pada prinsip lingkungan semata, maka yang muncul adalah ketidakadilan,” kata Arif.

Ketiga, lanjut dia, basis regulatif tentang keadilan akses, mengatur bagaimana interaksi antara negara, pasar, dan masyarakat. Belajar dari kegagalan dalam tata kelola SDA, maka diperlukan formula baru yakni berbentuk tata kelola jejaring-adaptif.

“Contoh formula tata kelola baru konservasi laut adalah adanya kerja sama negara dan masyarakat, seperti KKD dan Sasi yang harmonis di Raja Ampat serta Eco-Trust di Gili Trawangan yang merupakan kolaborasi masyarakat lokal dengan pengusaha wisata bahari,” ujar Arif.

5. Kolaborasi adalah keniscayaan

Fakta-fakta Orasi Ilmiah Arif Satria, Guru Besar Ekologi-Politik IPBIlustrasi (IDN Times/Sunariyah)

Arif mengakui, ciri jejaring-adaptif tidak mudah diwujudkan, terlebih Indonesia masih dalam transisi demokrasi dan kesetaraan antar-aktor belum seimbang. Namun, demokrasi memberikan ruang agar titik temu dapat terjadi yang dapat diperankan masyarakat sipil, seperti akadmisi, media, atau LSM.

“Hal ini harus dipahami sebagai penguatan demokratisasi tata kelola SDA. Oleh karena itu, upaya memadukan modernisasi ekologi dan ekologi politik dalam tata kelola sumber daya alam menjadi keniscayaan. Hal ini karena negara, pasar, dan masyarakat tidak bisa lagi dipertentangkan. Sudah saatnya tata kelola baru SDA di Indonesia mencari titik temu dengan memadukan rasionalitas ekologi, ekonomi, moral, dan rasionalitas publik,” kata dia.

Baca Juga: 5 Pesan Rektor IPB University di HUT ke-56, Apa Saja?

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya